Bab 9. Dijemput Kevin

1527 Kata
Sementara itu di tempat lain, Dinda baru saja berangkat ke kampus. Ia tidak memiliki kelas pagi dan datang setelah waktu makan siang. Ia agak bingung ketika hendak berangkat tadi karena motor bututnya ada di rumah sang nenek. Ia belum sempat ke sana sejak ia tinggal di rumah Mahendra. Dan kini, ia juga telah tinggal di rumah Kevin. Tak mungkin motor jelek itu ia bawa ke rumah semegah ini. Jadi, dengan motor yang ada di garasi Kevin akhirnya ia pun tiba di kampus. Ia memarkir motor itu dengan baik karena ia takut akan membuatnya lecet. Lalu, ia mulai berjalan menuju lobi utama. "Din! Dinda!" Dinda menoleh pada Vivi yang menyusul langkahnya. "Eh, iya, Vi!" Ia tersenyum lebar seraya menunggu temannya. "Aku perhatiin kamu dari tadi, mau aku panggil tapi aku ragu," ujar Vivi seraya menatap Dinda dari atas hingga ke bawah. "Hah? Emangnya kenapa?" tanya Dinda bingung. "Ya, ada yang beda aja!" jawab Vivi gemas. Ia mencubit pipi Dinda. "Ini kamu dandan. Baju kamu juga cakep, rapi, terus tadi kamu pakai motor baru." Ia menarik totebag Dinda. "Ini juga lucu banget." Dinda meringis. Karena ia adalah gadis miskin, selama ini ia berpenampilan biasa saja. "Bisa aja kamu. Kita ke kelas, yuk." "Iya, ini mau ke kelas. Tapi, aku masih penasaran, Din. Gimana ceritanya kamu bisa mendadak jadi kayak putri gini?" tanya Vivi. Dinda mengangkat bahunya. Ia memang tak menceritakan semuanya pada siapa pun karena ia sendiri malu. Entah apa kata orang jika ia ternyata adalah putri orang kaya dan ia telah menikah. "Jangan-jangan selama ini kamu adalah putri yang terbuang, ya?" tanya Vivi dengan nada bercanda. Dinda ikut tertawa karena tebakan temannya yang memang benar. Dan ia memutuskan untuk mengangguk. "Anggap aja kayak gitu. Eh, aku mau mampir ke ATM dulu bentar." "Oke! Aku tunggu di sini." Dinda mengangguk. Ada mesin ATM di dekat lobi. Ia penasaran dengan uang kiriman Alan untuknya tadi. Ia membuang napas panjang usai memasukkan kartunya lalu menekan nomor pin. Ia menunggu proses pengecekan saldo lalu membelalakkan mata. 250 juta rupiah! "Ya, Tuhan!" Dinda menutup bibirnya dengan telapak tangan. Ia merasa tertekan seketika. Ia memiliki tugas untuk tidur dengan Kevin lalu ia harus hamil. Alan bilang, itu bahkan baru uang muka. Sebenarnya seberharga apa calon bayi yang harus ia lahirkan. "Din, kamu kok bengong?" Vivi mengetuk pintu mesin ATM karena Dinda sangat lama di dalam. Dinda buru-buru menekan tombol cancel. Ia menarik kartunya dan dengan gemetar menyimpannya. Kepala Dinda berputar. Itu uang yang sangat banyak. Baru uang muka. Ia akan mendapatkan lebih banyak jika ia hamil dengan Kevin. "Kamu kok pucet gini, Din?" tanya Vivi lagi. Yah, Dinda merasa pusing. Daniel juga ingin menanamkan benih di rahimnya. Itu mengerikan. Apakah kedua bersaudara itu bersaing untuk membuat keturunan dengannya hanya untuk mengincar posisi tertinggi di perusahaan? "Din?" panggil Vivi. "Aku nggak apa-apa. Kita ke kelas aja," ajak Dinda. Ia memaksakan senyuman pada temannya itu. *** Hari sudah hampir sore ketika Kevin mendapatkan laporan dari Satya. Asistennya itu masuk ke ruangan dengan bibir nyengir. "Tuan, saya udah mengumpulkan beberapa informasi tentang hubungan nona Dinda dengan tuan Daniel." Kevin mengangguk. Ia sudah penasaran sejak Dinda bertanya mengenai Daniel tadi malam. Ia mengibaskan tangannya sebagai tanda agar Satya segera melaporkan. "Jadi ... benar, tampaknya mereka pernah pacaran," ujar Satya. Kevin mengerutkan keningnya. Ia semakin penasaran. Bagaimana Dinda bisa berpacaran dengan Daniel. Ia tahu Daniel sering memacari gadis-gadis cantik yang kaya. Dinda seharusnya tidak masuk kriteria Daniel jika Dinda tadinya hidup miskin. Ataukah Daniel tahu bahwa Dinda sebenarnya adalah putri keluarga kaya? "Setahun yang lalu setelah nona Dinda lulus SMA, beliau bekerja di sini, Tuan. Di kantin maksud saya, dia bekerja sambilan." Satya melanjutkan laporannya. "Saya tak tahu bagaimana tuan Daniel berkenalan dengan nona Dinda, yang jelas mungkin gara-gara itu mereka akhirnya saling mengenal dan berpacaran." "Apa mereka telah putus?" tanya Kevin dengan isyarat. "Ya. Mereka putus sebelum kalian menikah, Tuan. Dari berbagai sumber, ternyata tuan Daniel tidak hanya memacari nona Dinda ketika itu." "Apa mereka pernah bertemu berdua saja setelah Dinda menikah denganku?" Kevin kembali bertanya. "Sebelum kalian menikah, di hari pernikahan Anda, tuan Daniel ternyata mengunjungi ruang pengantin, Tuan. Saya tak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka," kata Satya. Ia meletakkan beberapa lembar foto di meja Kevin. Kevin menarik ujung bibirnya membentuk seringaian. Ia semakin penasaran. Apakah Dinda adalah gadis baik atau sebaliknya? Apakah di Dinda bisa dipercaya? "Pagi ini ... apa mereka benar-benar bertemu?" tanya Kevin. Ia tak bisa melupakan kata-kata Daniel bahwa adiknya itu telah berciuman dengan Dinda. Andai itu benar, ia tak akan menerimanya. Ia tak ingin Daniel mengusik apa yang menjadi miliknya. Daniel mengincar posisi tertinggi di perusahaan, sama seperti dirinya. Dan ia tahu, Daniel adalah pria licik. "Itu, saya kurang tahu, Tuan. Tapi pagi ini memang nona Dinda diminta menghadap ayah Anda," jawab Satya. "Bisa saja mereka bertemu di rumah papa," batin Kevin. Ia mengusap dagunya dengan telunjuk dan jempolnya. "Tapi jika mereka bertemu di sana, seharusnya mereka tidak bisa berciuman. Apa mereka bertemu di kamar?" "Selain itu, apa ada hal lain tentang mereka?" Kevin membuat isyarat kali ini. "Tidak, Tuan. Saya yakin nona Dinda sudah tak memiliki hubungan dengan tuan Daniel," ujar Satya. Ia tersenyum. "Nona Dinda terlihat polos dan baik, Tuan. Saya yakin beliau bahkan tidak tahu sepenting apa pengaruh beliau bagi posisi Anda saat ini." Kevin mengangguk. "Tapi aku cemas dengan Daniel. Awasi dia, laporkan sama aku kalau dia benar-benar mendekati Dinda. Dan aku harus tahu bagaimana perasaan Dinda yang sebenarnya." Kevin tertawa tanpa suara. "Kenapa, Tuan?" tanya Satya. "Aku nggak bisa percaya sama gadis itu," jawab Kevin. Satya mengangguk pelan. "Percaya atau tidak percaya, Tuan, akan lebih baik jika Anda menjaga apa yang telah menjadi milik Anda. Jangan sampai tuan Daniel bersikap kurang ajar dan merebut nona Dinda. Itu bisa menjadi tamat bagi Anda. Anda sudah bekerja keras selama ini." "Aku tahu itu. Aku mau ke kampus Dinda." Kevin membuka file di ponselnya. Ia sudah tahu jadwal Dinda dan ia yakin gadis itu sebentar lagi akan pulang. "Aku mau jemput Dinda pulang." "Ya, Tuan." Kevin meninggalkan perusahaan dengan mobilnya. Ia masih menyimpan rasa penasaran di hatinya. Ia ingin bertanya langsung pada Dinda, tetapi bagaimana caranya ia bertanya. Akankah gadis itu jujur padanya? Semalam saja Dinda sudah berbohong. Ia tak bisa mempercayai Dinda kecuali gadis itu jujur padanya. Mobil Kevin berhenti di dekat lobi utama. Ia melirik jam tangannya. Ia tentu belum pernah ke sini dan ia bahkan tak tahu apakah Dinda sudah keluar dari kelas atau malah sudah pulang. Jadi, ia segera mengetik di ponselnya. Ia mengirimkan pesan singkat pada Dinda. Mas Kevin: Aku di depan. Pakai mobil kuning. Kita pulang bareng. Dinda yang baru saja keluar dari lobi langsung menghentikan langkahnya ketika ia membaca pesan dari Kevin. Ini tidak masuk akal. Tak mungkin Kevin menjemputnya! "Kamu kenapa, Din?" tanya Vivi. "Ehm, aku ...." Kedua mata Dinda mengedar. Ia lalu kembali melangkah untuk bisa melihat luar dengan lebih jelas. Mobil kuning! Kevin bersandar di body mobil dengan satu kaki tertekuk. Ia langsung melotot. Kevin benar-benar menjemputnya! "Kamu mau pulang nggak?" tanya Vivi. "Iya, tapi aku dijemput," ujar Dinda seraya menunjuk ke arah mobil Kevin. Ia bertemu tatap dengan Kevin. Pria itu tak tersenyum, dingin, tetapi tetap tampan seperti biasa. "Wah! Ganteng, Din!" Vivi meringis. Ia memeluk lengan Dinda lalu menariknya. "Kalau ada gebetan baru, kenalin dong." "Hah?" Dinda terperangah karena ia sudah tertarik ke arah Kevin dengan Vivi memeluk lengannya. Kevin menegakkan dirinya. Ia juga agak terkejut karena Dinda mendekat bersama temannya. "Aku bawa motor, Mas. Kenapa pakai jemput segala?" tanya Dinda. Ia melirik Vivi yang masih cengengesan di sebelahnya sambil menatap Kevin dan mobilnya yang keren. "Aku mau kita bareng dan kita harus bicara," kata Kevin dengan isyarat. Dinda mengangguk sementara Vivi ternganga. Ia sangat kaget karena Kevin tidak mengeluarkan suara. Ia langsung berdehem karena tak ingin Kevin tersinggung. Ia tahu Dinda mahir bahasa isyarat dan Kevin tampan, jadi itu tak masalah. "Tapi motornya gimana? Nggak mungkin aku tinggal," ujar Dinda. "Ada Satya." Kevin melambai usai membuka pintu mobil agar Dinda segera masuk. Ia melempar senyum pada Vivi hanya untuk basa-basi lalu memutari mobil. Vivi masih nyengir. Ia melambaikan tangan pada Dinda yang kini telah duduk di mobil. "Aku pulang dulu, Vi. Sampai jumpa besok!" ujar Dinda dari mobil. "Ya! Aku seneng kamu udah dapat gantinya si Daniel kampret itu!" seru Vivi. Dinda melebarkan matanya sementara Kevin langsung melirik Vivi. Dengan tak enak, Dinda mengibaskan tangannya agar Vivi tak bicara lagi. "Jagain Dinda, ya, Mas. Temen aku belum lama patah hati gara-gara mantannya yang jahat," kata Vivi. Kali ini pada Kevin. Melihat tadi Dinda tak membalas ucapan Kevin dengan bahasa isyarat membuat Vivi yakin bahwa Kevin bisa mendengar ucapannya. Dinda membuang napas panjang. Ia menatap Vivi baru saja berjalan menjauh lalu ia menoleh pada Kevin yang memberinya tatapan menusuk. "Jadi, benar kamu pacaran sama Daniel?" tanya Kevin. Dinda menelan keras. Ia ketahuan. Seharusnya ia jujur saja tadi malam. Itu mungkin akan lebih mudah dibandingkan kini ia harus dipelototi seperti ini. "Jawab!" "Ya. Tapi aku udah putus sama Daniel, Mas." Dinda menjawab. Kevin tersenyum miring. Ia mengulurkan tangannya ke rahang Dinda kini lalu ia membelai bibir Dinda selama beberapa detik. Ia melepaskan Dinda yang jantungnya masih melompat-lompat akibat aksi mendadak Kevin. "Apa Daniel mencium bibir kamu tadi pagi?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN