Dinda tak tahu berapa lama ia tertidur—pingsan—dan ia tak tahu ke mana ia dibawa. Hingga akhirnya ia mendengar beberapa suara. Ia mengernyit, matanya membuka sedikit. Dinda bisa melihat langit-langit kamar yang putih bersih dengan lampu gantung yang indah.
"Kamu udah bangun ternyata."
Dinda menggeleng pelan karena kepalanya yang pusing. Ia mencoba mengingat, semalam ia masih di rumah neneknya lalu ia bertemu pria yang mengaku bernama Adrian. Pria itu menculiknya! Bagaimana jika ia terbangun di sarang para rentenir? Bagaimana jika mereka telah menyentuh tubuhnya?
Dinda mendudukkan dirinya dengan cepat—terlalu cepat—hingga ia merasa lebih pusing. Tangannya tertarik ke plipis lalu memijat di sana.
"Jangan takut, kamu ada di tempat yang aman, Din," kata suara asing itu lagi.
Dinda pun menoleh ke pemilik suara. Seorang pria setengah baya berdiri tersenyum padanya. Dinda langsung menegang karena ia tak mengenali si pria. Begitu juga dengan wanita cantik di sebelahnya. Berbeda dengan pria itu, si wanita terlihat masam dan angkuh. Kedua lengan wanita itu terlipat di kaku di depan dadanya.
"Di mana saya?" tanya Dinda. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ia bersyukur ia masih berpakaian lengkap. Namun, selimut itu mengundang rasa penasaran Dinda. Itu adalah selimut paling lembut yang pernah ia sentuh. Di sini, ia juga bisa melihat benda-benda mewah yang mahal.
"Kamu ada di rumahku," kata si pria lagi.
Aku menatapnya. "Siapa kalian?"
"Aku adalah papa kamu."
Andai Dinda sedang makan, ia pasti langsung tersedak. Ia terbatuk, tetapi batuknya langsung berubah menjadi tawa. "Saya nggak punya ayah ataupun papa."
Pria itu mendesahkan napas panjang. Ia lalu mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Dinda. "Kamu bisa lihat ini kalau kamu nggak percaya."
Dinda menerima amplop itu dengan ragu. Ia lalu membuka amplop itu dan membaca berkas yang ada di dalamnya. Kedua mata Dinda membelalak ketika tahu itu adalah hasil tes DNA. Ada namanya dan nama pria itu. Mahendra Sutarjo. Dan hasil tes mengatakan bahwa ia adalah anak biologis dari Mahendra.
Dinda menatap Mahendra dengan ekspresi mencemooh. Ia sangat marah. Ia tak peduli kapan tes ini diambil. Namun, ia benar-benar murka. Selama hampir 20 tahun, ia percaya ia tak memiliki ayah. Atau mungkin ia punya, tetapi pria itu telah menelantarkannya. Dan pria itu kini berdiri di sebelahnya.
"Kamu adalah putriku, Dinda," kata Mahendra.
"Apa ini lelucon?" Dinda berdiri. Ia melemparkan berkas itu ke arah Mahendra, ia ingin menyerang Mahendra sebagai luapan rasa amarahnya.
"Jangan begini!"
"Kurang ajar!" Si wanita yang Dinda tebak adalah istri Mahendra baru saja mengumpat. "Duduk kamu! Seharusnya kamu berterima kasih sudah dibawa ke sini!"
Dinda bernapas naik-turun. Mahendra baru saja menyentuh bahunya. Ia menepis. "Jangan sentuh saya!"
"Duduk dulu, kita bicara baik-baik," ujar Mahendra tenang.
Dinda masih melotot ketika ia kembali duduk. Andai kepalanya tak pusing, ia pasti tak mau menurut. "Gimana bisa? Gimana bisa Anda menelantarkan saya selama ini?"
Mahendra mengangkat bahunya. "Sebenarnya, Papa sama sekali nggak tahu kalau kamu ada di dunia ini. Ibu kamu dulu pelayan di sini. Dia kabur dengan membawa benih papa. Andai aja nenek kamu nggak ngasih tahu sebelum dia meninggal dunia, Papa juga nggak akan tahu kalau Papa punya anak dengan mantan pelayan itu."
"Anda pasti bohong!" teriak Dinda.
"Sama sekali nggak," ujar Mahendra. Ia tersenyum, tetapi itu adalah jenis senyum yang tidak ramah. Dinda tahu itu adalah senyum yang licik. "Yang penting kamu udah di sini dan Papa janji hidup kamu akan berubah setelah ini."
"Anda bahkan nggak ngerasa bersalah?" tanya Dinda.
Mahendra tampak membuang napas panjang sementara istrinya melotot pada Dinda. "Kita bicara pada intinya saja. Papa butuh bantuan kamu. Jadi Papa jemput kamu ke sini."
Dinda tertawa mencela. Jadi, ia dibawa ke sini karena ada niat di balik semua itu.
"Papa bakal lunasin utang nenek kamu. Rumah nenek kamu juga nggak akan disita. Dan biaya kuliah serta biaya hidup kamu akan terjamin. Kamu nggak akan hidup miskin lagi," kata Mahendra dengan nada meyakinkan.
Kedua mata Dinda yang semula dipenuhi nyala kebencian langsung bergetar. Ia membenci Mahendra yang baru muncul setelah bertahun-tahun seperti ini. Namun, ia juga membutuhkan uang. Ia lelah dihina. Mungkin, jika ia hidup sebagai anak orang sekaya Mahendra, ia bisa membalas orang-orang seperti Daniel. Ia juga akan hidup dengan tenang tanpa kejaran rentenir.
"Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan semua itu?" tanya Dinda berdebar.
Mahendra menepuk bahu Dinda. Dinda menatap tangan pria itu dengan sengit, tetapi Mahendra tak peduli. Ia meremas bahu kecil Dinda. "Kamu harus menikah."
"Apa?" Dinda sepenuhnya kaget. "Saya baru 19 tahun dan saya masih kuliah."
"Itu bukan masalah. Nanti malam, kamu harus bertemu dengan calon suami kamu. Kamu istirahat aja di sini dan makan serta mandi." Mahendra berdiri.
"Tapi ...."
"Pria itu putra konglomerat dan pengusaha sukses, kamu nggak akan kekurangan setelah ini. Dia juga ... tampan." Mahendra tersenyum ketika wajah Dinda melunak meskipun masih terlihat bingung. "Kamu istirahat aja, nanti Papa minta pelayan ke sini untuk mengurus kamu."
***
Malam hari pun tiba. Dinda masih tak bisa menebak pria seperti apa yang akan dijodohkan dengannya. Pria kaya, putra konglomerat. Ia takut jika pria itu sudah tua dan berperut buncit, atau malah pria itu sangat m***m! Dinda merasa ingin kabur ketika ia didandani dan dipakaikan gaun yang sangat indah.
"Tamu kita udah datang, Din," ujar Mahendra yang terlihat puas dengan riasan Dinda. Ia menatap Dinda dari atas ke bawah. "Kamu harus panggil Papa dengan benar di depan mereka. Dan panggil mama untuk istri papa. Kita bicara santai saja."
Dinda mengangguk. Ia sudah sepakat dan tak ada waktu lagi untuk kabur. Ia merasa lemas dan berdebar, tetapi ia memaksakan diri untuk berjalan di sebelah Mahendra. Sepatu berhak tinggi di kakinya membuat ia merasa harus berjalan dengan sangat hati-hati karena ia juga tak terbiasa.
"Ini Dinda, putri kedua saya," kata Mahendra yang bergabung dengan Esti, istrinya. Mereka berdiri di depan para tamu.
Dinda menunduk, ia tak berani menatap para tamu. Namun, Mahendra baru saja meremas bahunya. Jadi, ia mengangkat sedikit dagunya. Ia melihat ada pria tampan dengan jas hitam dan sepasang pria wanita di sebelahnya. Pria itu pasti calon suaminya dan kedua orang itu adalah orang tuanya. Dinda menelan keras. Ia berdebar. Pria itu sangat tampan dan dingin!
"Dinda cantik sekali," ujar ayah si pria. "Kamu kenalan dulu, Vin."
Pria bernama Kevin itu maju selangkah. Ia mengangkat tangannya dan Dinda hendak menyambut karena mengira pria itu hendak menjabat tangannya. Namun, Dinda dibuat terperangah karena pria itu justru bicara dengan isyarat.
"Namaku Kevin, senang bertemu dengan kamu."
Dinda masih ternganga. Ia menurunkan tangannya karena merasa malu dan tak enak. Di sebelahnya Mahendra berdehem. Ia sengaja tak memberitahu Dinda karena takut Dinda akan menolak perjodohan ini. Yah, sebenarnya ia ingin menjodohkan putrinya dengan Esti, Irish, tetapi Irish langsung kabur dri rumah ketika tahu Kevin adalah pria bisu.
Kevin yang melihat kekegetan di wajah Dinda langsung menarik ujung bibirnya membentuk seringaian. Ia sudah menduga bahwa gadis di depannya akan bersikap seperti itu karena tahu ia cacat.
"Maaf, putri saya ...." Mahendra menatap Dinda penuh harap.
Dinda mengangguk. "Maaf." Ia bergumam lalu membuat isyarat untuk merespons Kevin. "Namaku Dinda. Senang bertemu dengan kamu juga. Kamu kelihatan lebih dewasa dibandingkan aku, aku harus memanggil kamu apa?"
Semua orang tampak takjub, begitu juga dengan Kevin yang tak menyangka Dinda bisa bahasa isyarat tanpa mengeluarkan suara dari bibirnya. Ia masih menatap Dinda yang terlihat memerah. Senyum tipis terlihat di wajah cantik gadis itu.
"Nenekku tuli." Dinda menambahkan dengan isyarat.
Kevin tak merespons. Ini masih mengejutkan baginya. Baru kali ini ia bertemu dengan gadis yang bisa bicara dengannya.
Pertemuan itu mendadak diinterupsi dengan kedatangan seorang pelayan bersama seorang pria yang juga mengenakan setelan hitam rapi. "Silakan, Tuan."
Dinda menoleh pada tamu terakhir yang baru datang. Ia membelalak karena sadar itu adalah Daniel. Daniel menyeruak di antara ayah dan ibunya. Dinda bisa mendengar Daniel bicara.
"Maaf aku telat, Ma, Pa," ujar Daniel sebelum ia bertemu tatap dengan Dinda. Awalnya Daniel terlihat biasa saja, hingga Dinda yakin riasannya telah berhasil mengubah ia menjadi secantik putri. Daniel tampak tak mengenalinya. Namun, tiba-tiba Daniel mengerutkan kening.
"Ini Dinda," ujar ayah Kevin tersenyum pada Daniel. "Dia yang akan menikah dengan kakak kamu."
Baik Dinda maupun Daniel sama-sama melotot. Daniel baru menyadari bahwa gadis cantik di depannya adalah Dinda sementara Dinda sangat kaget karena Daniel ternyata adalah adik dari Kevin, calon suaminya.