Bab 1. Dijemput Pria Asing

1368 Kata
"Kamu miskin, Dinda. Makanya aku mau kita putus." Kata-kata Daniel membuat hati Dinda remuk. "Kamu emang cantik, tapi kita nggak setara. Kamu jangan salahkan aku kalau aku akhirnya selingkuh. Yang kemarin ... anggap aja kita cuma bersenang-senang." Dinda mengepalkan tangannya mendengar permintaan putus Daniel, pria yang telah ia pacari selama setahun. Awalnya, ia memang tak tahu bahwa Daniel adalah putra keluarga kaya-raya. Ia lalu melirik ke arah gadis cantik yang memeluk lengan Daniel. Amarah menguasai hati Dinda. "Kita udah setahun pacaran, Dan. Kita udah ngobrol banyak, kamu juga janji bakal nikahin aku suatu hari nanti," kata Dinda. Tatapan tajam ia arahkan pada Daniel yang justru tertawa. "Siapa yang mau nikah sama gadis yatim-piatu kayak kamu, Din?" Daniel berhenti tertawa, ia menggeleng seolah ini adalah hal yang konyol. "Kamu miskin dan kamu nggak bisa diharapkan. Orang tua aku nggak akan setuju kalau aku nikah sama kamu. Mereka takut kalau orang miskin kayak kamu akhirnya cuma bakal menggerogoti karta keluarga kami." Dinda mengetatkan kepalan tangannya. Ia tak percaya dengan ucapan Daniel. Ia bahkan belum mengenal orang tua Daniel, tetapi mereka sudah menilainya seburuk itu. Jelas, meskipun ia miskin ia sama sekali tidak haus harta. "Kamu pikir aku cewek matre?" tanya Dinda lantang. "Aku nggak pernah minta apa-apa dari kamu selama ini. Dan sekarang, kamu justru menyakiti aku dan berselingkuh!" "Udahlah, Din. Ini adalah akhir dari kisah kita," kata Daniel. Ia tersenyum pada Tamara, pacar barunya. "Kamu jangan ngarep lagi sama aku. Aku udah dapat gadis yang jauh lebih baik daripada kamu." Dinda merasa semakin hancur. Baru sebulan sejak neneknya meninggal dunia. Ia berharap Daniel bisa menjadi sandaran dan pelipur lara baginya. Sayang, Daniel sering menghilang dan hari ini ia ketahuan tengah berselingkuh. "Kamu bakal nyesel udah selingkuh dari aku!" teriak Dinda. "Apa? Nyesel?" Daniel kembali tertawa bersama pacar barunya. "Apa yang perlu disesali, Din, dari kamu? Nggak ada!" "Kamu udah salah pilih cewek!" gertak Dinda. "Tamara cantik, dia juga anak dari keluarga kaya. Nggak kayak kamu. Aku nggak bakal nyesel pilih Tamara," ujar Daniel. "Aku pastikan kamu menyesal suatu hari nanti!" teriak Dinda sia-sia. Sebab, Daniel dan Tamara baru saja menjauh darinya. Dinda membuang napas panjang. Tak ada yang beres dalam hidup Dinda, itulah yang dipikirkan gadis 19 tahun itu. Ia mengusap pipinya seraya menahan rasa sakit. "Jangan nangis, Din. Cowok kayak gitu nggak pantes kamu tangisi." Dinda meyakinkan dirinya bahwa ini tak akan membuatnya lemah. Ia hanya tertipu dengan kebaikan Daniel selama ini. Yang Daniel sukai darinya mungkin hanyalah parasnya yang cantik hingga tak memalukan untuk dipamerkan pada orang lain. Sayang, ia dan Daniel ternyata bagaikan langit dan bumi. *** Dinda pulang ke rumah dengan usai kuliah. Ia menoleh ke kanan-kiri ketika memasukkan anak kunci ke lubangnya. Ia selalu panik karena beberapa rentenir belakangan ini selalu datang untuk menagih utang ratusan juta milik neneknya. Mereka tak berutang sebanyak itu, tetapi karena bunga yang ditimpakan setiap bulan sangat tinggi, jumlah utang mereka akhirnya membengkak. Dinda segera menutup pintu. Ia menatap kursi kosong di mana dulu neneknya sering duduk di sana sambil merajut apa saja. "Aku pulang, Nek." Dinda menggerakkan tangannya untuk membuat isyarat. Yah, nenek Dinda tuli. Mereka selalu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Meskipun neneknya telah meninggal dunia, ia sering merasa bahwa neneknya masih ada di sini. "Aku udah putus, Nek." Dinda kembali membuat isyarat. Ia membayangkan neneknya berdiri dari kursi lalu tergopoh-gopoh mendekat untuk memberikan pelukan hangat. Sayang, itu hanya imajinasi Dinda. Hanya ada kesunyian di rumah ini. Dinda menyeka pipinya yang basah. Ia memutuskan untuk mandi sore lalu membuat mie instan untuk makan malam. Dinda masih waswas, apalagi malam tiba dengan cepat. Rumah ini terasa tak nyaman untuknya. Ia mengatur napas. Ia harus belajar. Jadi, ia mulai membuka bukunya sambil menikmati mi goreng. Ia juga menyetel MP3 dari ponselnya untuk menemaninya. Ia mencoba belajar, tetapi yang ada di benak Dinda justru hal lain. "Gimana caranya aku bayar utang? Aku juga harus bayar biaya kuliah." Dinda meremas kepalanya yang pusing. Ia tak menemukan solusi apa pun. Ia sudah mencoba bekerja paruh waktu, tetapi itu hanya cukup untuk bensin dan jajan. "Permisi! Buka pintunya!" Dinda masih berpikir keras ketika tiba-tiba ia mendengar gedoran di pintu. Ia langsung meremang. Ia menebak itu adalah para rentenir keji yang hendak menagih utang. Mereka datang dua hari lalu dan mengancam dengan senjata tajam. Mereka bahkan berkata akan melakukan hal tak senonoh pada Dinda untuk menebus utangnya. "Adinda Saraswati! Cepat buka pintu." Suara di luar terdengar melembut, tetapi ia tak ingin tertipu dengan para rentenir. Dinda semakin gemetar. Ia ingin berpura-pura bahwa ia tak ada di sini, tetapi suara musik dari ponselnya tak bisa menipu. "Aku harus gimana, ya, Tuhan!" Gedoran di luar semakin keras hingga Dinda yakin pintu reyot itu akan jebol sebentar lagi. Mereka memang liar dan kasar. Dinda tak ingin mereka melakukan itu, jadi ia segera membuka pintu kamar. Ia meraih gagang sapu dan bersiap untuk melawan mereka. Apa pun yang terjadi, ia tak ingin kalah. Dinda mengambil posisi memukul tepat ketika pintu terbuka dari luar. Ia memekik seraya mengayunkan gagang kayu itu ke arah pria yang masuk. "Pergi! Pergi dari sini! Tolong!" "Nona, jangan begini!" Pria itu meringis karena terkena pukulan gagang sapu. Dan dengan kuat ia menariknya. Dinda terkesiap. Ia menunggu pria itu maju untuk mendorong tubuh kecilnya atau mungkin mencekik lehernya. Namun, itu tak terjadi. Sapu itu terlempar di lantai dengan keras. Lebih banyak pria masuk ke ruangan. Dinda mundur, dan pria yang terkena pukulan itu maju selangkah. "Aku bilang, sebulan lagi kalian bisa datang!" teriak Dinda frustrasi. "Jangan kayak gini." Para pria saling bertatapan penuh tanya. Sementara pria yane kena pukul mengusap keningnya. "Kami bukan rentenir itu, Nona. Anda hanya harus ikut dengan kami." Anda. Nona. Itu adalah panggilan yang tak pernah Dinda dengar sebelumnya. Ia mendadak bingung. Pria-pria di depannya memang berbeda dengan para rentenir yang datang dua hari lalu. Alih-alih serampangan, mereka terlihat sangat rapi dengan setelan jas hitam. Namun, Dinda tetap waswas. Bukankah anggota gangster juga berpakaian seperti ini? Dinda menggeleng. "Tolong, jangan begini. Pergi dari rumah ini. Bulan depan ... aku bakal kasih cicilan." Pria yang kena pukul itu berdecak jengkel. "Kami bukan rentenir yang ingin menagih utang, Nona. Kami diutus ke sini oleh ayah kandung Anda untuk membawa Anda pulang." "Apa?" Dinda ternganga. Ia tak punya ayah. Sejak lahir, ia tak pernah bertemu dengan ayahnya. "Anda tidak tuli, Nona. Jadi saya nggak perlu mengulang-ulang lagi ucapan saya. Nama saya Adrian. Anda bisa percaya dengan saya dan silakan ikut kami secara baik-baik," kata Adrian. "Jangan konyol, aku sama sekali nggak punya ayah," ujarku tak percaya. Adrian mendekat. "Tentu saja Anda punya. Anda hanya tidak pernah bertemu dengan ayah Anda. Jangan takut, percaya dengan saya. Kami ke sini bukan untuk menyakiti Anda." Dinda masih tak percaya. Ia justru takut jika mereka adalah komplotan para rentenir yang menginginkan tubuhnya. Bagaimana jika ia dibawa paksa lalu diperkosa di suatu tempat? Dinda tak ingin menyerah. "Jangan bohong! Aku tahu kalian ke sini untuk mendapatkan tubuh aku. Itu nggak akan terjadi! Aku nggak punya ayah!" teriak Dinda. Ia menoleh lalu mengambil apa saja yang ada di dekatnya. Vas bunga, alat rajut neneknya dan juga buku melayang dari tangannya. Para pria mendengkus, mereka menepis barang-barang Dinda dengan mudah lalu segera mendekat. "Ingat, tuan berpesan agar nona Dinda harus dibawa ke kediaman tuan apa pun yang terjadi." "Nggak! Aku nggak mau ikut kalian!" Entah siapa orang sinting yang mengaku-ngaku sebagai ayahnya, Dinda tak akan percaya. Ia kembali melemparkan apa saja hingga tiba-tiba seorang pria memiting tubuhnya dari belakang. Ia menjerit. "Maaf, kami harus kasar," ujar pria itu seraya membungkam bibir dan hidung Dinda dengan sapu tangan. Dinda menendang, kepalanya terasa pusing akibat aroma mengerikan sapu tangan itu. Ia ingin berteriak bahwa ia benar-benar tak punya ayah. Ia juga tak ingin ikut dengan mereka. "Ayah Anda menunggu di rumah dan ingin bicara penting dengan Anda. Jadi, jangan takut. Kami terpaksa harus melakukan ini." Dinda mendengar suara samar Adrian. Lalu tubuhnya terangkat. Dinda mencoba membuka mata, tetapi itu sia-sia karena kepalanya ia sangat mengantuk. Tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali. Dan kini, ia merasa baru saja didudukkan. Seseorang lalu duduk di sebelahnya. Dinda menebak ia berada di dalam mobil yang sangat dingin dan wangi. "Aku nggak punya ayah." Dinda hanya membatin sebelum akhirnya mobil itu meluncur dan ia tak sadar lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN