Some people don’t believe in heroes, but they haven’t met my dads!
***
“Assalammu’alaikum, brother!”
Eldra terkekeh lebih dulu. Ia sudah jadi putranya Dirga sejak usia sembilan tahun. Berarti, sudah enam belas tahun berjalan. Dan setiap kali ayahnya itu menghubungi, mendengar sapaan yang tak pernah berubah, entah kenapa El tak bisa tak tertawa.
“Wa’alaikumsalam. What’s up, bro?”
Begitulah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi, memiliki orangtua yang rasanya seperti sahabat terbaik, itu memang menyenangkan bukan?
“Kami mau makan. Abang nyusul ya?”
“Kata Sofi sudah pulang, Pa?”
“Sudah ngga di makam. Tadinya mau pulang, tapi pada minta jalan.”
“Papa ngga kerja?”
“Apa itu kerja?”
Eldra kembali tergelak. “Mau makan di mana, Pa?” tanyanya kemudian.
“Biasa, tuh double A masih hunting tempat.”
“Paling ujung-ujungnya di tempat yang itu-itu lagi, Pa.”
“Kayaknya sih setengah jam kemudian keputusannya bakalan begitu. Kan yang doyan banget ke sana mereka berdua. Ini lagi nungguin Uni dan Teteh beli minuman, baru lanjut jalan. Abang mau dipesanin apa nanti?”
“Abang masih di parkiran coffee shop lho, Pa. Baru mau ke makam,” tanggap Eldra.
“Kalau Abang lama kan bisa dibungkusin,” timpal Dirga.
Mana tega El tak hadir ke acara makan bersama itu? Bagi keluarganya, duduk bersama di waktu makan adalah saat yang tak tergantikan. Di meja makan, gelak tawa bercampur cerita tentang hari yang telah dilalui, menjadi pengingat bahwa, meski kesibukan sering memisahkan mereka, kasih sayang di antara anggota keluarga selalu menyatukan.
Dulu, Devan pun mewajibkan hal yang sama. Setidaknya saat makan malam. Dan ternyata, Dirga pun punya aturan yang serupa. Eldra tau betul tradisi itu bukan sekadar rutinitas. Dirga selalu bilang jika meja makan adalah tempat semua perbedaan dan masalah mencair, tempat keluarga saling mendengar dan saling memahami. Dirga akan selalu menanyakan kabar anak-anaknya satu persatu, sebelum ia menyusulkan kisahnya hari itu, pun menghidupkan suasana dengan lelucon atau nasehat-nasehat ringan. Tak perlu heran jika makan bersama versi mereka bisa berlangsung cukup lama.
“Abang bawa River dan Farzan boleh, Pa?”
“Boleh dong.”
“Ya sudah, nanti Abang inshaaAllah nyusul.”
“Menantuuu!” seru Dirga pada Sofi.
“Iya, Pa?” sahut Sofi seraya terkekeh.
“Ingetin Eldra, inshaaAllah itu janji lho.”
“Siap, Pa! Nanti Sofi yang paksa nyusul kalau tiba-tiba El lupa,” ujar Sofi.
“Oke. Nanti info aja ke Mama ya mau diorderin apa, biar begitu sampai langsung makan.”
“Papa telponin Papi ya?”
“Ish, nanti dia nyusul. Resek dah!”
Sofi semakin tergelak. “Daripada nanti menantu kesayangan Papa ngga datang?”
“Oh iya bener juga.”
“Mama ketawa aja.”
“Emang. Bahagia banget Mama hidup sama Papa. Ada aja yang diketawain.”
“Bagus dong, Pa. Kalau nangis mulu baru bingung.”
“Jangan dong, Kak,” tanggap Dirga. “Ya sudah. Tuh Cantika sudah balik. Mau lanjut jalan nih.”
“Oke, Pa. Sip.”
“See you, menantuuu! Bang? See ya, brother!”
“Bye, bro! Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Jemari Sofi lembut mengusap surai Eldra saat ia meletakkan ponselnya di wireless charging pad. “Kenapa, baby?" tanya Eldra.
"Beneran ngga mau disetirin?”
“Aku aja. Aman kok.”
“Oke. Let’s go!”
***
“Assalammu’alaikum, Pa.”
Suara Eldra terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang tertelan angin. Ia duduk bersimpuh di sisi makam Devan. Jemarinya sibuk mengusap lembut sang ayah, meski tak ada debu atau kotoran yang menempel, keluarganya pasti yang membersihkan lebih dulu tadi.
Sofi, River, Farzan dan Reina meninggalkannya sendiri setelah mengaji bersama tadi, menunggu Eldra di sebuah warung kecil di depan pintu keluar area makam. Di sekeliling Eldra, deretan makam berjajar di bawah naungan pepohonan tua yang daun-daunnya terdengar gemerisik karena tertiup angin. Suara merdu yang beradu dengan samar cuitan burung di kejauhan. Matahari siang bersinar terik, menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan acak di permukaan rerumputan. Topi yang ia kenakan terasa hangat di kepala, namun Eldra tak berniat melepasnya.
Ia menarik napas panjang, membiarkan udara memenuhi paru-parunya. Namun, sesak itu tetap tak mau pergi.
“Papa masih ngawasin Abang, kan?” bisiknya. “Abang kangen, Pa.”
Di kejauhan, samar terdengar suara doa dari peziarah lain, bergema terbawa angin. Eldra menoleh sekilas, melihat seorang ibu paruh baya tengah menabur bunga di makam yang letaknya tak begitu jauh dari tempatnya duduk. Bau tanah basah dan bunga melati yang baru ditaburkan memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu dari pohon-pohon rindang.
Eldra kembali menunduk, menatap nama yang terukir di batu nisan di depannya. Nama yang dulu begitu sering ia panggil dengan tawa dan rengekan, kini hanya bisa ia ucapkan dalam doa.
“Abang datang belakangan lagi, Pa. As usual,” lanjut Eldra. Jemarinya berhenti menyeka nisan, berganti mengusap sudut matanya yang mulai terasa basah. Ada perasaan berat yang tak bisa ia jelaskan. Bukan karena El hanya datang di waktu-waktu tertentu, namun karena rasa takut yang selalu membayanginya setiap kali harus berada di sini — di depan pusara seseorang yang kepergiannya menyisakan begitu banyak pertanyaan.
Angin berembus lebih kencang, membuat dedaunan kering beterbangan dan jatuh di atas nisan. Eldra perlahan merapikannya, mengusapnya pergi dengan telapak tangan.
“Sekarang tuh … tahun kedua Abang di Baskara Tech. So far, menyenangkan sih. Tapi, Abang belum pernah bersinggungan sama orang-orang di Luxora Tech, Pa.”
Yang barusan Eldra sebutkan adalah nama perusahaan di mana Devan meniti karir sebelum kepergiannya. Eldra menghela napas panjang, menengadah sejenak, membiarkan cahaya matahari menyilaukan matanya. Seberkas cahaya jatuh tepat di nisan Devan, membuat ukiran namanya tampak berkilau.
“Abang tuh seringkali mikir, kepingin minta tolong ke Papa Ga. Tapi, Abang takut Papa Ga justru sakit hati karena ternyata Abang belum bisa ikhlasin alasan kepergian Papa. Kayak takut Papa Ga malah salah paham ke Abang gitu, Pa. Tapi, Abang juga ngga bisa diam aja, ngebiarin orang yang sudah menyusahkan dan memfitnah Papa, sampai akhirnya Papa sakit dan pergi ninggalin kami.” Ia terkekeh pelan, getir. “Papa ngerti kan perasaan Abang? Apa Abang yang terlalu overthinking ya, Pa?”
Daun kering jatuh di pangkuannya, terbawa angin. Eldra menatapnya lama, sebelum akhirnya hembusan angin membawa daun itu terbang lagi.
“Papa cerita ngga sih ke Mama? Pasti ngga ya, Pa? Papa khawatir Mama sedih atau ketakutan, bukan? Atau jangan-jangan Mama ngga tau juga kalau Papa dipecat dari Luxora Tech? Dikambing hitamkan? Seperti yang Papa ceritain ke Abang waktu Papa kira Abang sudah tidur. Bahkan sampai sekarang Abang juga belum tau atas dasar apa Papa diperlakukan seperti itu. Abang paham, meski Abang berusaha mencari tau, dan akhirnya nanti kisah itu terbuka, semuanya ngga akan bisa mengembalikan Papa. Tapi, Abang tetap perlu tau alasannya, Pa.”
Eldra terdiam. Hanya suara alam yang menjadi teman bicaranya. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah deretan nisan, pepohonan tua, dan beberapa orang petugas makam yang tengah melakukan pekerjaannya. Langit mulai dipenuhi awan tipis, seakan ikut menyelimuti kegelisahan di d**a Eldra.
Tak lama, ponselnya bergetar di saku celana. Ia menghela napas, ragu menelisik notifikasi yang masuk, malas jika ternyata pengecut tadi berusaha mengganggunya lagi. Namun, saat layar menyala, Eldra mendapati chat singkat dari River.
River: Bro, gue udah habis pisang goreng lima potong nih.
River: Perlukah gue nambah kopi lagi?
Eldra terkekeh.
Eldra: Kenyang lo, nanti makan cuma dikit.
River: Tenanglah, ruangan di perut gue banyak!
Eldra: Sudah selesai kok. Gue pamit dulu sama Papa.
River: Oke! Pisang goreng mau dibungkusin?
Eldra: Ketannya ada?
River: Ada. Berapa?
Eldra: Ketannya sebungkus aja. Pisangnya tiga.
River: Oke, brother.
Eldra tersenyum kecil. Setidaknya ia tidak sendiri hari ini. Ia menatap nisan Devan untuk terakhir kalinya hari itu.
“Sofi, River, Farzan, dan Reina sudah nunggu Abang. Pamit dulu ya, Pa. Nanti Abang cerita lagi. Abang belum ngasih tau Papa lho kalau ada yang tau alter ego Abang. Masih wait and see nih, Pa … perlu atau ngga Abang cari tau lebih lanjut,” bisiknya pelan. Ia bersimpuh, mengecup nama sang ayah yang terukir di nisan sebelum berdiri, merapikan celana yang sedikit berdebu, lalu kembali menyentuhkan ujung jarinya di nisan Devan. Sentuhan singkat, namun penuh makna. “I love you, Pa. Infinity. Jangan lupa, terus awasi Eldra dan adik-adik.”
Saat Eldra melangkah pergi, angin berembus lembut di belakangnya. Seolah ada yang mengantarkan kepergiannya. Meski langkahnya meninggalkan makam, pikirannya masih tertinggal di sana, bergelayut di antara keraguan dan tekad untuk lebih gigih mencari tau ketidakadilan yang dialami sang ayah di masa lalu.