Masih dalam suasana malam yang terasa dingin di luar, namun hangat di dalam. Untuk pertama kalinya, Bara dan Andara bisa merasakan yang namanya debar-debar cinta.
Padahal bahasan itu sering mereka dengarkan dari mulut teman-teman sekelas yang mulai bermain dengan cinta yang biasa digelari 'cinta monyet.'
Ternyata teman-teman mereka benar, perasaan itu bisa mengganggu ketenangan hati dan pikiran.
Bukan hanya itu saja, bahkan rasanya seperti sedang tersengat arus listrik manja yang berhasil menghidupkan burung yang mati, itu menurut Bara.
Sedangkan bagi Andara, debaran itu berhasil membawanya melupakan semua rasa sedih dan luka.
Hebatnya lagi, bagian miliknya yang sensitif dapat merasakan keinginan yang berbeda dari biasanya. Hati seakan berteriak, 'tolong sentuh aku!'
"Apa yang kamu rasakan, Andara?"
"Saya ... ini ... ."
"Apa?" bisik Bara yang semakin penasaran. Andara mengatur dadanya yang naik turun dan tampak jelas oleh Bara. "Kamu bisa bersandar kepada saya, jika mau."
Andara melakukan apa yang Bara ucapkan, mereka pun menikmati udara malam serta suasana yang semakin terasa romantis. Bara pun merasa semakin tidak kuasa untuk meninggalkan Andara.
Selama ini mereka memang menjalani hubungan tanpa status. Mereka hanya saling melengkapi serta menjaga satu dengan yang lainnya.
Namun malam ini, setelah semua perasaan terungkap dengan jelas, keduanya merasa sangat sulit untuk berpisah.
Bara memang biasa berkumpul dengan para wanita, berbeda dengan Andara yang tertutup. Tapi menurut Bara, kebersamaannya dengan Andara sangat lain.
Perasaan Bara begitu spesial dan istimewa jika sedang bersama Andara, berbeda sekali ketika dirinya tengah bersama gadis lain.
Ia semakin mengeratkan lingkaran tangannya di perut Andara. Sedangkan Andara semakin sulit menahan kegelisahannya dan ia sangat ingin disentuh lebih dalam lagi, namun tidak berani untuk memintanya.
Terkadang, tanpa sengaja Bara menyentuhkan ujung bibirnya pada cuping telinga Andara dan hal itu membuat darah gadis tersebut mendidih, bahkan sesekali tubuhnya meriang.
Ini adalah api cinta rasa salju, sehingga dalam satu serangan, bisa menghasilkan aura panas dan dingin secara bersamaan.
Pantas saja banyak orang yang mati karena cinta, kata Andara di dalam hatinya dan ia memutuskan untuk memeluk tangan Bara yang berada di perutnya untuk menguatkan hati.
"Andara, bisakah kamu menunggu saya? Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa dan seterusnya. Tapi saya berusaha keras untuk selalu membawa kamu kemanapun saya pergi dan menjaga hati ini hanya untuk kamu."
"Heeemh."
"Sekarang, bisakah kamu berjanji untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang akan saya lakukan?" tanya Bara sambil menyandarkan dagu di pundak kanan Andara dan menatap bagian kanan wajah gadis tersebut.
"Kamu tidak perlu meragukan saya, Bara! Karena saya adalah gadis yang kuat dan ... ." Andara menahan ucapannya
"Dan apa?" tanya Bara terus penasaran.
Andara memberanikan diri untuk menoleh ke arah Bara dan menatapnya lebih lama untuk mengatakan tentang isi hatinya. "Dan saya benar-benar mencintai kamu, Bara."
Setelah mendengarkan ucapan tersebut, hati Bara langsung bergetar dan ia pun terus menolehkan wajahnya untuk menatap Andara.
Saat mata mereka bertemu dalam pelukan yang manis, bibir Bara pun menyapa bibir Andara dengan lembut.
Kecupan terjadi cukup lama, sepertinya Bara dan Andara sangat sulit untuk melepaskan sapuan bibir mereka yang mampu menggetarkan jiwa.
Bukan hanya napas mereka saja yang berantakan, tapi juga hati, pikiran, dan seluruh tubuh mereka.
"Andara," sapa Bara dengan suaranya yang terdengar sangat berbeda. Sepertinya ia hampir berada pada puncak hilang kesadaran akibat asmara
"Eeemh ... ."
"Tolong tunggu saya ya! Dan percayalah kepada saya!"
"Iya."
"Andara."
"Ya, apa?"
"Saya punya sesuatu untuk kamu. Tunggu sebentar ya!?" Andara menganggukkan kepalanya dan melepaskan tangan Bara.
Andara menatap langit yang luas. Disana ada bulan dan bintang yang selalu menyinari bumi tanpa lelah.
Andara berharap, semoga dirinya bisa mempunyai hati yang luas seperti langit dalam menunggu Bara. Selain itu, ia juga berdoa, semoga Bara bisa terus menjadi bintang dan penerang di dalam hatinya.
"Andara."
"Ya."
"Kemarilah!" Bara menarik tangan Andara mendekati kap mobil. Disanalah sebelumnya Bara meletakkan makanan dan minuman untuk cemilan malam ini.
"Ada apa?"
"Eeemh, nanti saja sesuatunya ya. Sekarang, kita makan dulu aja yuk! Kamu mau rasa apa?"
"Apa saja yang penting manis."
"Ha ha ha ha ha, tidak ada yang manis selain saya."
"Dasar usil." Andara mencubit pipi kanan Bara yang sudah duduk santai sambil menyandarkan bokonnya di atas kap mobil.
"Seres aja."
"Saya suapin mau? Biar tambah manis."
"Malu."
"Malu sama siapa?"
"Eeemh."
"Jangan bilang, mau suapan saja harus nikah dulu?!"
"Ha ha ha ha ha. Kamu tuh ya, usil."
"Tapi kamu suka, 'kan?"
"Sedikit?"
"Apa?"
"Sedikit suka, lebih banyak cintanya."
"Benarkah?"
"Mungkin. Soalnya, saya baru pertama kali merasakannya. Jadi belum tahu pasti, itu cinta atau hanya sebatas suka."
"Hmmm, kejam. Padahal saya sudah berharap."
Andara hanya tersenyum sambil mengunyah donat pilihannya. "Apa kamu yakin kalau tahun depan bisa pulang? Biasanya, tahun pertama adalah masa yang sulit."
"Eeemh, gimana ya? Sebenarnya kalau diturutkan keinginan hati, saya ingin sekali pulang sebulan sekali. Tapi rasanya tidak pantas. Di rumah, saya adalah contoh untuk adik."
"Kamu tidak perlu melakukan semua itu, Bara. Untuk apa coba?"
"Untuk apa? Bahkan rasanya, saya sudah sangat sulit untuk meninggalkan kamu sedetik saja."
"Heeemh."
"Andara."
"Ya."
"Saya sudah jatuh cinta kepadamu dan tidak ingin bangkit lagi." Andara terdiam dan merasa donat yang ia makan sulit untuk ditelan. "Satu-satunya jalan adalah membangun rumah dan tinggal di sana dengan aman. Saya butuh bantuan kamu untuk itu, Andara."
Bara menatap Andara dalam-dalam dan penuh harap. Ia terlihat tidak main-main dengan hati dan perkataannya. Bagitu pun sebaliknya, Andara juga percaya akan semua ucapan Bara.
"Saya menyanggupinya, Bara." Bara kembali tersenyum.
Puas bercakap-cakap, Bara mengajak Andara untuk pulang. Bukan tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, tapi Bara sangat sulit menahan dirinya.
Setiap berada di dekat Andara, sinyal hidupnya sangat kuat dan untuk menjauhi Andara, itu terasa mustahil.
"Kita pulang yuk! Sudah malam." Bara melihat jam di tangan kirinya, pukul 21.15 WIB.
Sebenarnya belum terlalu malam untuk cinta. Tapi miliknya sudah berdiri tanpa henti sejak dua jam yang lalu dan semakin mengeras setiap detiknya.
"Baiklah, kamu juga harus menyiapkan segalanya untuk besok."
Andara menghela napas panjang. Seakan ia masih ingin bersama Bara, namun ia tahu itu hal yang tidak boleh ia utarakan.
Bara membuka pintu mobil dan mempersilahkan Andara untuk masuk. Setelah Bara juga masuk ke dalam mobil, keraguan datang menyelimutinya.
"Sebaiknya kita berkeliling dulu saja, baru pulang. Bagaimana, Andara?"
"Baiklah."
"Oh iya. Sebelumnya, ada yang ingin saya berikan untukmu." Bara mengeluarkan kotak ukuran sedang yang sudah dibungkus rapi.
"Apa ini?"
"Bukanya nanti saja! Setelah tiba di rumah."
"Kenapa kamu jadi repot begini, Bara?"
"Tidak ada yang repot, Andara. Ini semua juga demi diri saya sendiri."
"Maksudnya?"
"Nothing."
"Hemh."
"Andara."
"Ya?"
"Apa saya boleh meminta kecupan seperti tadi, sekaliii saja?"
Andara tersenyum sambil menganggukkan kepala. Bara yang sudah mendapat sinyal, langsung menikmati permainan bibir seperti sebelumnya.
Sekali lagi, Bara melakukannya dengan sangat rakus. Namun bukan hanya Bara saja yang menikmatinya, Andara pun larut dalam permainan bibir Bara yang menyenangkan.
Bersambung.