Perjalanan malam berakhir dengan senyum. Saat itu, Jo pun merasa sudah cukup tenang karena tuan muda tidak lagi tampak kesal terhadap dirinya.
Sepertinya, malam ini Jo bisa tidur nyenyak dan kembali bekerja keras esok hari.
"Tuan, terima kasih."
"Untuk apa, Jo? Kamu sudah membuat waktu saya berwarna. Walaupun agak aneh juga rasanya, ketika melihat seorang wanita merengek dan memohon permainan malam yang hangat."
"Itu semua pasti karena sejak dulu, Anda memang terlahir dari keluarga yang istimewa, Tuan. Jadi, Anda tidak suka mempermainkan wanita."
"Benarkah?"
"Iya, Tuan."
"Sebelum saya rehat, satu hal yang ingin saya ketahui."
"Silahkan, Tuan."
"Apakah saya ini manusia yang baik?"
"Tentu saja, Tuan. Meskipun Anda memiliki segalanya, tapi Anda tidak pernah sombong dan selalu suka bergaul dengan siapa saja."
"Mau mereka dari kalangan atas ataupun bawah. Semua itu bukan hal yang penting bagi Anda. Pada umumnya, teman-teman begitu suka pada tabiat Anda."
"Heeem, begitu ya?"
"Iya, Tuan."
"Baiklah. Kalau begitu, selamat malam, Jo."
"Selamat malam, Tuan."
Jo meninggalkan Bara di rumah mewah tersebut bersama empat orang pelayan dan dua orang satpam yang baru saja Jo ambil setelah pelatihan kemahiran khusus.
Jo berharap, mereka bisa menjaga Bara dengan baik. Apalagi rumah tersebut dipenuhi CCTV disetiap sudutnya.
Bara kembali membersihkan diri. Ia memilih baju kaos oblong berwarna putih, dikawinkan dengan boxer berwarna hitam, untuk menemani tidur malamnya.
Hanya satu yang Bara inginkan saat ini, yaitu ia bisa terlelap tanpa gangguan dari mimpi buruk yang selalu menghampiri tidurnya.
Tiga puluh menit berada di atas kasur yang empuk dan berukuran besar, Bara belum juga dapat memejamkan mata.
Tatapannya lurus ke atas, menatap langit-langit kamar yang sudah di desain sedemian rupa apiknya.
Tidak ada yang ia pikirkan. Hanya saja, setelah kecelakaan maut itu terjadi, Bara memang sulit untuk tidur, apalagi nyenyak.
Terkadang, ia harus mengkonsumsi obat tidur atau obat penenang dosis tinggi hanya untuk terlelap.
Pukul 23.15 WIB, setelah meneguk segelas air mineral bersama obat penenang, 40 menit yang lalu, akhirnya Bara dapat memejamkan mata. Namun, waktu istirahat itu 'tak banyak dapat dinikmatinya.
Tiba-tiba saja, memori tentang seluruh anggota keluarga, proses kecelakaan yang terjadi, hingga darah yang mengalir serta berlinang membentuk kolam kecil di sisi wajahnya, tampak jelas dan kembali membangunkannya.
Bara terduduk, ia terkejut dalam kesedihan dan ketakutan.
Wajah dan tubuhnya dibanjiri peluh sebesar biji jagung. Ia pun tersentak secara tiba-tiba, dengan napas yang sudah terengah-engah. Bara tampak sangat menderita dengan wajah yang pucat.
"Ya Tuhan, kenapa semua ini terjadi kepada saya? Harusnya, Engkau ambil juga nyawa ini," ratap Bara sembari menekuk kedua kaki dan memegang lutut, bersama dahi yang ia satukan dengan lututnya.
Tubuhnya bergetar bersama air mata yang berhasil membasahi sebagian atas kakinya. Ia tidak mengetahui tujuan Tuhan kepada dirinya. Yang jelas, ia sangat menderita.
Bara berusaha terlelap dalam posisi duduk. Besok, akan ada acara besar di kantor. Itu semua sudah disusun Jo untuk menyambut kedatangannya kembali sebagai pemimpin, sekaligus pemilik perusahaan ekspor impor perhiasan dan tambang emas.
Sementara di tempat lainnya. Tepatnya, di hotel bintang lima yang memiliki pemandangan indah dan pelayanan yang memuaskan.
Dimas Basil, tengah menikmati suasana malam bersama istri tercintanya yang tampak molek dengan lapisan lingerie tipis berwarna merah muda, yang memperlihatkan bentuk tubuh proporsional miliknya.
"Dia sudah kembali. Sekarang, apa rencana kita selanjutnya?"
"Tentu saja kita harus membiarkan anak itu bekerja keras bagai kuda. Kemudian, kita tinggal menikmati hasilnya saja."
"Lalu bagaimana dengan wanitanya, Mas?"
"Aman, Sayang. Aku tengah mengajarkan Isabela banyak hal untuk mendapatkan hati Bara. Putra Basil yang kaya raya, namun masih sangat lugu dan bodoh. Dia belum tahu permainan dunia, Sayang."
"Jangan berisik gitu dong, Mas! Turunkan volume suaramu! Takut kedengaran orang loh."
"Memangnya, siapa yang akan mendengarkan kita? Lagipula, Bara pasti lebih percaya kepada omnya sendiri, daripada orang lain."
"Kita hanya perlu menyuguhkannya kasih sayang palsu, seperti yang biasa kita berikan untuknya selama ini."
"Kamu memang pintar, Mas."
"Oh ya? Tapi kenapa papa dan mama lebih memilih kakakku Basil, sebagai pemegang utama warisan keluarga kami dan perusahaan itu?"
"Ha ha ha ha ha. Aku tahu jawabannya, Mas."
"Apa, Sania? Jangan membuatku penasaran!"
"Karena mereka tahu, kalau kamu itu sangat jahat dan tamak, Sayang," bisik Sania sambil membuka pakaiannya untuk menikmati malam bersama suaminya yang memang licik dan kejam.
"Tapi tidak kepadamu, Sania."
"Benarkah?"
"Tentu saja." Dimas memberikan kecupan di leher Sania. "Heeemh, saya hampir lupa. Coba lihat ini, Sania!"
Sania melihat ponsel milik Dimas sambil tersenyum dan menggeser layar handphone mahal dan berkelas tersebut.
Ia berusaha menutupi tawa dengan tangan kanannya dan saat itu ternyata mereka tengah melihat foto hasil editan yang tampak begitu nyata, tentang Bara ketika masih remaja bersama Isabela yang sebenarnya tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
"Foto-foto ini tampak begitu nyata, Mas. Saya yakin sekali, Bara tidak akan pernah mengetahui bahwa semua ini hanyalah hasil editan atau rekayasa semata."
"Iya, Sania. Dengan menyuguhkan foto ini sebagai bukti kepada Bara, maka kita akan mendapatkan jiwa dan raganya. Saya akan segera meminta Bara untuk menikah Isabel."
"Lalu?" lanjut Sania semakin ingin tahu rencana suaminya.
"Kita akan memelihara gadis itu seperti boneka hidup untuk mengalihkan dan mendapatkan harta kekayaan milik Bara Basil."
"Ha ha ha ha ha. Otak kamu memang encer Mas dan saya suka," timpal Sania sambil memberikan kecupan bertubi-tubi kepada suaminya yang selama ini telah memberikannya keleluasaan dalam menghabiskan uang untuk berfoya-foya.
"Tentu saja, Sayang. Kalau tidak seperti itu, mana mungkin kamu menjadi milik saya," tukasnya pada perempuan yang sejak awal merupakan kekasih dari sahabatnya sendiri.
Setelah selesai memikirkan rencana untuk menundukkan Bara, Dimas dan Sania menghabiskan malam mereka dengan percintaan yang panas.
Di dalam hubungan mereka, yang terpenting adalah kenikmatan dunia. Itu sebabnya, pasangan ini sejak awal tidak ingin memiliki anak karena memang Dimas tidak bersedia menjadi seorang ayah.
Selain itu, ia juga tidak ingin melihat bentuk tubuh istrinya berubah menjadi buruk dan gendut akibat hamil dan melahirkan.
Bagi Dimas dan Sania, kesenangan adalah cara mereka hidup berbahagia di atas dunia ini.
Meskipun hubungan tersebut tidak pernah membuahkan hasil yang merupakan buah cinta dan bukti perasaan diantara keduanya.
"Malam ini, berikan saya servis yang memuaskan, Sayang! Karena besok sore menjelang malam, kita akan ke rumah mewah itu dan mulai mempermainkan Bara seperti kucing di dalam kerangkeng.
"Itu terdengar lucu dan seru," jawab Sania. "Baiklah, Mas. Aku juga setuju dengan semua permintaan kamu karena aku juga sudah terbakar akibat kepiawaianmu."
"Kamu memang hebat, Sania. Itu makanya saya begitu mencintai kamu. Apalagi, selama ini kamu selalu mengikuti semua ucapan saya. Istri yang cerdas."
"Cerdas? Benarkah?"
"Tentu saja, Sania. Mari bercinta!"
Sania memulai dengan tarian nakalnya yang manja. Ini adalah pemanasan yang paling Dimas sukai.
Bagi Sania, apa pun akan ia lakukan demi kepuasan Dimas Basil. Termasuk, memperlihatkan dirinya seperti seorang pelaacur.
Bersambung.