“Kenapa kamu begitu pesimis, Da? Kenapa kamu enggak berpikir gimana kalau pada akhirnya kita saling jatuh cinta dan hidup bahagia?” Entah kenapa, kalimat Mas Hanif siang itu terus terngiang-ngiang di ingatanku. Aku belum juga menerima usulnya untuk serius, tetapi kami masih sering jalan keluar sekadar untuk validasi orang sekitar. Mas Hanif tidak bohong soal Bu Lala yang tak menyerah. Ternyata, cewek centil itu memang masih mendekatinya sekalipun sudah tahu kalau dia punya calon. Pernah sekali, aku memberanikan diri datang ke ruang dosen fisika untuk mengantar bekal. Saat itu Bu Lala juga sedang ada di sana. Bu Ami dan Bu Luluk langsung menyenggolku dan mereka memberi tahu kalau Bu Lala masih saja menemui Mas Hanif, hanya memang sudah tidak separah sebelumnya. Mereka berdua bahkan menya