Hari ini aku jadi diajak Mas Hanif datang ke rumahnya untuk bertemu Ibunya. Meski hubungan kami hanya sandiwara, tetapi aku tetap berusaha untuk tampil baik. Bagaimanapun, orang luar tahunya kami sungguhan. Termasuk itu masing-masing orang tua kami. “Padahal kamu enggak perlu repot,” ucap Mas Hanif begitu aku masuk mobilnya sembari membawa buah tangan. “Enggak repot. Namanya sopan santun aja. Masa datang dengan tangan kosong? Mas Hanif aja waktu itu juga bawa buah tangan.” “Untuk orang yang minta putus, ini agak enggak singkron—” “Ya udah, batal aja. Aku mau turun—” “Da, tunggu!” Mas Hanif menahan tanganku. “Mas hanya bercanda.” “Enggak lucu, tahu. Ini karena syarat sebelum aku minta putus, makanya aku iyain.” “Itu kalau tetap jadi. Kalau enggak gimana?” “Ya lihat aja nanti. Pede b