Happy Reading
***
Viola tidak menyangka bahwa yang menghubunginya itu adalah pria yang baru ia kenal di Tinder. Ia masih speechlees karena baru berkenalan, pria itu langsung menelfonnya. Biasanya habis dari tinder, langsung beralih ke chat w******p jika cocok. Tidak langsung menelfon seperti ini.
Ia tahu tipe-tipe pria di aplikasi online seperti apa. Pria-pria di sana ada yang suka short relationship, yang hanya ingin one night stand ada juga yang malas basa-basi. Padahal ia tahu bahwa dating app ini diisi dengan orang-orang yang cuma mau have s*x.
Baginya keamanan dan kenyamanan tetaplah yang utama. Menurutnya si Jeff ini salah satu tipe pemaksa baru saja sapa di chatroom, kini lalu sudah menelfon. Meminta nomor WA, nanti pasti minta akun social media. Lalu berlanjut melakukan sesuatu yang lebih dari ini, misalnya hanya ingin having s*x.
Come on, mereka hanyalah orang asing yang berupaya untuk saling mengenal. Tapi sudah bar-bar seperti ini. Apakah pria ini penipu? Akhir-akhir ini banyak sekali kasus penipuan dari mulai dari crypto, arisan maupun media online seperti ini. Apakah ia harus mengakhiri ini demi keamanan dirinya. Namun ia masih penasaran.
“Sarah …” ucap Jeff.
“Iya,” ucap Viola, ia menegguk air mineral dari botol.
“Bagaimana kerjaan kamu?” Tanya Jeff lagi.
“Baik, lancar. Kamu bagaimana?” Tidak sopan rasanya jika ia tidak balik bertanya.
“Baik juga,” ucap Jeff, ia menyesap kopinya.
“Maaf ya, saya langsung menghubungi kamu, kebetulan tadi saya iseng download aplikasi ini , karena dia berseliweran di branda google saya.”
“Ah, nggak apa-apa kok, saya juga iseng,” Viola terkekeh.
“Sama dong kalau begitu.”
“Sepertinya begitu.”
Jeff menarik nafas, “Kamu punya restoran apa?” Tanya Jeff penasaran, ia bersandar di sisi kursi, ia melihat OB masuk ke dalam ruangannya.
“Saya punya restoran cepat saji, Jeff.”
Jeff memandang OB masuk ke ruangannya, membawa paperbag berwarna coklat yang berisi makanannya.
“Pak, ini pesanan bapak.”
“Terima kasih,” ucap Jeff, ia memandang OB sudah menjauhinya dan menghilang dari balik pintu.
“Maaf, ya tadi ada OB saya, ngantarin makan.”
Otak Viola mulai berpikir, apa benar dia memiliki OB? Atau hanya acting agar ia percaya? Viola masih yakin bahwa pria itu bukan founder Tokopedio. Logika saja, mana ada pria kaya raya bermain dating app, apa dia tidak punya kerjaan? Apa wanita di luar sana tidak ada yang menyukainya? Itu rasanya sangat mustahil. Pria-pria yang berada di dating app, tidak lebih hanya karyawan biasa yang kesulitan mendapatkan kekasih. Fix’s ini adalah sebuah penipuan.
Viola lalu mengetik nama Jeff Tokopedio. Lalu di keluar dihalaman beranda google, ia membaca profil itu. Ia tahu pria itu bernama Jeff, apakah dia benaran Jeff yang ada di beranda google. Masalahnya banyak sekali sekarang mengaku-ngaku. Wajah itu memangg sama dengan yang ada di profil dating app.
Jeff Bastian lahir 11 Oktober, merupakan seorang pengusaha Indonesia yang juga merupakan pendiri Tokopedio, sebuah situs web perdagangan elektronik yang penggunaanya untuk membeli barang secara daring. Dikenal karena pendiri sekaligus CEO Tokopedio. Almamater Stanford University.
Viola lalu mulai berpikir, apa pria yang ia searching ini yang menelfonnya. Namun rasanya sangat tidak mungkin, pria itu pasti sangat berbohong, mana ada seorang CEO bermain tinder, kecuali CEO gadungan seperti di film The Tinder Swindler.
“Ah, nggak apa-apa kok,” ucap Viola.
“Saya lihat di bio kamu, lulusan Harvard?” Tanya Jeff.
Viola menelan ludah, sebenarnya isi sembarang saja menulis bahwa ia lulusan Harvard. ia mengubah semua data di bionya. Ia bukan lulusan universitas top dunia itu melainkan hanya lulusan Universitas Negri Jakarta. Oh Tuhan, kuliah di sana hanya mimpi untuknya.
“Iya,” ucap Viola terkekeh.
“Good, berarti cocok sama saya. Saya di Standford dulu.”
Viola menyungging senyum, ia mengisi itu tidak sengaja membaca artikel Maudy Ayunda yang bingung memilih Stanford apa Harvard. Karena semua orang mengelu-elukan anak bangsa yang diterima di universitas terbaik di dunia, sesuatu banget pokoknya. Maudy itu berasal dari keluarga berada, sekolah di sekolah Internasional, kemungkinan dia buat masuk Ivy league itu besar.
Ivy League itu asosiasi yang terdiri dari 8 universitas top Amerika Serikat, istilah ivy Leaugue mempunya konotasi kesempurnaan akademis dan elitism akademis. Anggotanya disebut Ancient Eight. Masuk ke sana untuk yang cerdas dan pekerja keras menurutnya. Di luar semua privilege yang di punya, dia terus berusaha bisa masuk. That's why she deserves it.
“Oiya, bisa bertemu?” Tanya Jeff.
Alis Viola terangkat mendengar Jeff ingin bertemu dengannya. OMG! Secepat itukah pria itu ingin meet up.
“Soalnya lebih enak kalau ngobrol langsung,” ucap Jeff.
Viola menarik nafas, ia melirik Emi yang sedang mengerjakan laporannya.
“Iya benar, jam pulang kerja saja bagaimana?” Ucap Viola menyetujui ajakan Jeff, lagian ketika pulang kerja ia tidak memiliki kesibukan apapun.
“Kita ketemu di Sofia at The Gunawarman.”
”Iya, boleh,” Viola mau tidak mau menyetuji ajakan pria itu. Baginya untuk bertemu seperti ini terkesan buru-buru untuk dating app.
“Terima kasih.”
“Oiya, saya lunch dulu Jeff. Nanti kasih tau kamu, kalau sudah sampai di sana.”
“Yaudah kalau begitu. Have nice day, Sarah.”
“Sama-sama Jeff.”
Viola mematikan sambungan telfonnya, ia memandang Emi. Ia tidak habis pikir kenapa pria itu ingin segera bertemu dengannya.
“Siapa?” Tanya Emi.
“Si Jeff yang dia bilang founder Tokopedio itu mau ketemu gue.”
Alis Emi terangkat, “Serius?”
“Iya serius lah, masa boongan.”
“Terus lo mau?”
“Mau.”
“Cuma gue masih ragu nih, tuh orang kayaknya kang tipu,” ucap Viola.
“Iya bener banget! Hari gini CEO nyari jodoh di Tinder, itu kan nggak banget,” Emi membenarkan.
“Nah itu pikiran gue. Tukang boong pasti.”
“Bener banget!”
“Lo mau ketemu di mana?” Tanya Emi penasaran.
“Dia bilang sih di Sofia.”
“Oke, sih kalau di Sofia. Setidaknya itu tempat umum, rame, lo aman kalau ada apa-apa. Asal jangan diajak staycation atau chek in aja.”
“Ya, nggak mungkin lah gue gitu. Gue juga penasaran si Jeff yang ngaku-ngaku jadi CEO nya Tokopedio. Kayaknya itu tuh aneh banget nggak sih. CEO gila mana yang main Tinder. Modelan kayak mereka mah, biasa nggak perlu nyari, cewek datang sendiri.”
“Bener banget.”
“Udahlah, palingan itu cowok gadungan ngaku-ngaku,” timpal Emi.
“Setuju sama lo!”
Emi beranjak dari kursinya, “Lunch yuk, gue pengen makan ramen deh di Sushi Tei.”
“Oke.”
***