Bab24: Salah Paham

1099 Kata
Brian mengikuti langkah Raisa memasuki lift, hingga saat ada orang lain yang akan ikut masuk Brian segera menekan tombol agar pintu segera tertutup. "Loh, itu orang mau masuk!" seru Raisa. Raisa mengerutkan keningnya dan menatap Brian "Kok di tutup?" Brian menekan tombol lantai paling atas, membuat Raisa semakin mengeryit, "Mau apa kamu?" "Kita harus bicara," ucap Brian. "Aku enggak." Raisa menekan tombol dimana ruangannya berada. "Sa, please." Brian memelas. Raisa memalingkan wajahnya kesal. "Aku tahu kamu marah, aku ngaku salah ... maaf, tapi Sa, andai itu orang lain aku akan tetap mencoba untuk menolongnya." Raisa menghela nafasnya lalu menatap Brian dengan tajam "Aku gak peduli ya, Bri. Tentang sifat penolong kamu, dan menunjukkan kalau kamu itu dermawan. Dan kamu pikir aku segitu jahatnya sampai aku akan mengabaikan orang yang kesusahan, bahkan kesakitan? tapi kata- kata kamu yang bilang akan 'menemani Mira' itu yang salah." Kali ini Brian yang mengerutkan kening mendengar ucapan Raisa. Pintu lift terbuka tepat di lantai paling atas dan Raisa segera keluar dan membuka pintu atap. "Apa maksud kamu?" Brian mengikuti Raisa, dan berdiri di depan wanita itu. "Ada banyak cara untuk menolong orang Bri, kamu sudah bawa dia ke klinik, tugas kamu selesai. Tapi, kamu mengantar dan menemaninya, sampai- sampai kamu mengingkari janji kamu sama pacar kamu. Orang lain pun akan salah paham, apalagi aku." kali ini nada bicara Raisa lebih tenang, setelah dia menghirup dan mengeluarkan nafas beberapa kali. "Aku memang mengantarnya, tapi aku gak bilang akan mengingkari janji, aku minta kamu menunggu kan?" "Kamu minta aku menunggu sedangkan kamu menemani dia, begitu?" Raisa membuka ponselnya lalu menekan pesan chatnya bersama Brian, lalu menunjukkannya pada Brian. "Lihat kan, dengan entengnya kamu bilang begitu setelah aku nunggu kamu selama satu jam?" Brian semakin bingung, dia tak pernah mengirimkan pesan itu pada Raisa, tapi dari foto profilnya itu benar- benar nomernya. Belum juga Brian selesai dengan pemikirannya, ucapan Raisa membuatnya tertegun. "Aku kira ini gak akan berhasil Brian. Ya, sikapku memang egois, mungkin karena aku pernah tersakiti di masa lalu, dan aku gak mau itu terjadi lagi sekarang, entah itu karena diriku, atau orang ketiga lainnya. Jadi lebih baik kita akhiri saja." Harusnya Raisa tak menaruh harapan dengan sebuah hubungan, sudah benar harusnya dia tak menerima Brian sejak awal. "Sa." Raisa berbalik dan hendak pergi, dia tak bisa melihat wajah Brian lebih lama, hatinya sakit. Namun baru satu langkah Raisa merasakan pelukan di punggungnya. "Jangan putus Sa, aku tahu aku salah, maaf. Tapi aku gak bisa kehilangan kamu." "Kamu masih muda Brian, usia kita bahkan berbeda, mungkin kamu masih labil dengan perasaan kamu, ini akan kamu lupakan dengan mudah." "Hanya dua tahun bukan perbedaan yang besar, ini hanya masalah kecil Sa, aku mohon." Brian membalik tubuh Raisa dan menangkup pipi Raisa "Aku akan perbaiki ini, aku janji." "Aku gak bisa Bri, aku gak sanggup kalau harus sakit hati lagi." Raisa melepaskan tangan Brian. "Ini hanya salah paham, Sa. Aku gak mau, Aku gak mau putus." tegasnya. "Oke, kita bisa Break sampai waktu yang kamu inginkan, dan aku akan buktikan kalau ini cuma salah paham, please," lirih Brian, pria itu memelas membuat Raisa memejamkan matanya tak tega. lagi pula siapa yang ingin putus saat hubungan mereka hanya baru beberapa hari saja, tapi Raisa hanya merasa takut, jika hatinya akan tersakiti lagi. Raisa tak bicara, dia hanya pergi meninggalkan Brian yang juga diam menatap punggung Raisa. **** Jam kerja Brian sudah usai, begitu pun beberapa karyawan lain. Jadi kini waktunya dia pulang. Brian sedang menunggu Raisa keluar agar mereka bisa pulang bersama saat Mira menghampiri dengan langkah terpincang "Mas Brian, bisa anterin aku pulang gak?" tanyanya tanpa rasa bersalah, padahal saat ini Brian ingin marah sebab Mira lah kesalah pahaman ini terjadi. Brian mengangkat alisnya "Maaf Mira, saya sedang menunggu Raisa." Brian bahkan tak perlu repot menoleh pada gadis itu dan hanya melihat pada pintu masuk. Mira tertegun "Ya sudah Mas, maaf. Aku cuma minta tolong." Mira berbalik hendak pergi, namun Brian kembali memanggilnya. "Mira." Mira tersenyum, dia tahu Brian tidak akan tega membiarkannya pulang sendiri, apalagi dengan kondisi kakinya yang sakit, dia dengar juga dari orang lain kalau Brian adalah pria yang baik. "Ya, Mas," ucapnya dengan senyuman. "Lain kali kalau sampai kamu lancang membuka hape saya, saya tidak akan segan." mata Mira membelalak dengan wajah pucat. "Yang kamu lakukan benar-benar membuat saya tidak respect sama kamu," ucapnya tegas. "Ma-ksud Mas Brian apa?" tanyanya gugup. "Sebaiknya hilangkan perasaan kamu dengan segera, jangan salah artikan sikap saya selama ini. Jika itu membuat kamu mengganggu hubungan saya dengan Raisa, maka saya tidak akan tinggal diam." Brian menatap Mira dengan tajam. "Kamu mengerti!" Mira memundurkan langkahnya karena terkejut melihat raut wajah Brian yang nampak tegas dan tajam tak seperti biasanya. Setelah Mira pergi Brian masih menunggu Raisa hingga hari mulai gelap, namun Raisa tak juga muncul. Brian mengusap wajahnya kasar, Raisa ... masih marah. Dari arah pintu Rendi muncul dengan seringaian di bibirnya "Nungguin Raisa?" "Bukan urusan Lo," sinis Brian. Rendi mengangguk, "Ya udah, Lo tungguin sampai bangkotan, Raisa gak akan muncul." "Maksud Lo?" "Raisa udah pulang sejak sejam yang lalu." Rendi berjalan ke arah mobilnya, "Masa Lo pacarnya gak tahu." Rendi terkekeh lalu memasuki mobil untuk segera memacu mobilnya. Brian menghela nafasnya, ternyata Raisa benar- benar masih marah. Jadi dengan lesu Brian pun melajukan motornya untuk pulang. Tiba di kontrakan, Brian langsung melihat ke arah rumah Raisa, namun melihat rumah Raisa yang masih gelap, Brian pun menyimpulkan kalau Raisa belum sampai di rumah. Brian membuka ponselnya untuk menghubungi Raisa, namun seperti sebelumnya Raisa tak menerima panggilannya. "Aku bisa gila," erang Brian kesal. dihadapkan dengan hubungan seperti sekarang, sungguh membuatnya kesal. Dia tahu dia salah, tapi tak bisakah Raisa memberinya kesempatan kedua mengingat ini bukan kesalahan yang fatal menurutnya, Raisa hanya salah paham karena pastinya pesan yang di kirim Mira, dan Raisa harus tahu jika dia tidak mengirim pesan tersebut. Tapi, bagaimana mau menjelaskan kalau Raisa sendiri tak mau mendengarkannya. Brian baru saja keluar dari kamar mandi saat terdengar suara mobil berhenti di depan kontrakannya, dengan handuk di kepalanya Brian mengintip dari jendela dan mengeryit saat melihat Raisa keluar dari sebuah taksi. Meletakan handuknya sembarang Brian bergegas keluar dan menghampiri Raisa "Sa," panggilnya. Raisa menoleh "Kamu dari mana, aku dari tadi nungguin kamu." "Ada apa?" "Sa." Brian mengeluh melihat tatapan Raisa padanya yang begitu acuh tak acuh. Brian menghela nafasnya berusaha untuk tetap tenang "Maaf, aku tahu, aku salah, tapi aku harap kamu ngasih aku kesempatan, aku janji gak akan ngelakuin itu lagi, dan aku beneran gak mengirimkan pesan itu sama kamu." Raisa mengangkat alisnya "Mungkin dia akan bertepuk tangan saat tahu kamu menjauh dariku, Sa, karena siasatnya sudah berhasil."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN