Bab 12: Rendi

1697 Kata
Bagaimana bisa? Raisa masih terpaku hingga beberapa saat, lalu memalingkan wajahnya, beberapa kali menghela nafas lalu berjalan ke arah Direktur baru yang katanya akan menggantikan posisi Pak Willi. "Selamat pagi, Pak, Mari," ucapnya sambil mempersilahkan pria itu duduk. Pria di depan Raisa juga nampak tertegun sesaat, ketika menyadari siapa wanita berpakaian formal yang menyapanya, lalu mengikuti Raisa ke meja dimana Pak Willi berada. Setelah tokoh utama di acara tersebut muncul, Pak Willi pun mulai memperkenalkan penerusnya. Semua orang di ruangan mendengarkan perkenalan Pak Willi, namun tidak dengan Raisa sebab dia tahu dengan detail siapa pria di depannya, kecuali jika Rendi adalah penerus Pak Willi, Rendi putra Pak Willi? Tanpa perlu perkenalan Raisa bahkan tahu kebiasaan kecil pria itu, makanan, minuman, hobi, Raisa tahu semuanya, bagaimana tidak tahu, secara pria di depan sana adalah pria yang dulu menyakitinya, tentu saja tidak akan pernah dia lupakan. Rendi Radjasa.. Tatapan Raisa mendatar saat Rendi sesekali menatapnya, pria itu tengah menyapa semua Dewan Direksi beserta karyawan lain yang ada di ruangan rapat yang telah di sulap menjadi aula penyambutan untuknya. Pria itu membungkuk hormat setelah memperkenalkan diri beserta mengatakan visi, dan misinya saat menjabat menjadi Direktur utama. Setelah perkenalan berakhir, seluruh karyawan memiliki kesempatan untuk menikmati jamuan yang di sediakan, tak hanya yang berada di ruangan, tapi karyawan lain juga mendapatkan makan siang gratis untuk hari ini. Pak Willi mengatakan ini sebagai ungkapan syukur dan rasa terimakasihnya pada seluruh karyawan yang selalu bekerja keras selama masa jabatannya. Raisa menghela nafasnya lalu berniat keluar dari ruang rapat, untuk sesaat tatapan Raisa dan Rendi beradu, hingga Raisa yang lebih dulu memalingkan wajahnya lalu melanjutkan niatnya untuk keluar dari ruang rapat. Raisa berjalan ke arah lift dan memasuki kotak besi itu lalu menekan tombol paling atas. Pikiran Raisa masih tertuju pada pria yang tidak pernah dia sangka akan dia temui lagi setelah 9 tahun terakhir perpisahan mereka. Rendi Radjasa, mantan pacarnya, pria yang dulu pernah menjadi cinta pertama, sekaligus lukanya, pria yang juga merenggut kesuciannya, awal dari semua bencana dalam hidup Raisa. Jika saja dulu dia tidak tenggelam dalam rayuan dan buaian pria itu, maka mungkin tidak akan ada Raisa hari ini, janda di hari pertama pernikahannya. Bukan sepenuhnya kesalahan Rendi, karena dirinya yang juga bodoh, hingga melakukannya tanpa ikatan pernikahan, namun Raisa dulu berharap pria itu adalah pertama dan terakhirnya, hingga dia bersedia menyerahkan segalanya, namun ternyata tetap saja dia tersakiti. Pria itu yang Raisa yakini adalah yang akan menjadi masa depannya mengkhianatinya. Raisa keluar dari lift di rooftop dan mendudukan dirinya di tempat terakhir kali dia mendatangi tempat itu bersama Brian. Ah, Brian ... sedang apa pria itu? apa sedang mengutuknya dan mengumpatinya wanita matre? Berkat Brian Raisa jadi tahu tempat sunyi ini, tempat menenangkan diri dari sepi dan dari hiruk pikuk pekerjaan. merasakan angin menerpa wajahnya, lalu memejamkan mata. Beberapa saat setelah merasa sedikit tenang, mata Raisa kembali terbuka, dan saat merasa hatinya lebih baik Raisa bangkit untuk kembali, namun saat berbalik Raisa menemukan Brian disana, di tangannya ada sebatang rokok yang sudah hampir habis, sepertinya pria itu sejak tadi ada disana, terlihat dari jejak rokoknya yang telah habis, tapi kenapa Raisa tidak menyadarinya? Andai Raisa tahu disana ada Brian, mungkin dia akan mengurungkan niatnya merenung disana. "Aku sudah selesai, kamu bisa tetap tinggal." Brian membuang dan menginjak puntung rokoknya hingga rokok tersebut mati dan hancur, lalu pria itu pergi meninggalkan Raisa yang tertegun. Punggung tegap Brian menghilang di balik pintu meninggalkan Raisa yang tiba- tiba merasakan sakit di hatinya. Tatapan pria itu sangat dingin seolah Raisa sangat menjijikan. "Ini inginmu, Isa," gumamnya pada diri sendiri, Raisa menipiskan bibirnya lalu melanjutkan langkahnya untuk kembali ke pekerjaannya, pekerjaan yang Raisa kira mulai sekarang tidak akan mudah, sebab ada masa lalunya disana. Satu harapan Raisa saat ini, semoga Rendi tak akan pernah mengungkit masa lalu itu dan membuat mereka lupa hubungan profesional mereka. Sembilan tahun tak bertemu Rendi, Raisa tak tahu perkembangan apa saja yang ada di hidup Rendi, namun mendengar desas desus penerus Pak Willi itu masih lajang, membuat Raisa sedikit takut, takut Rendi mengungkit yang tak seharusnya. .... Harapan Raisa, hanya sebuah Harapan, nyatanya masa lalu yang tak bisa ia hindari ada di depannya kini. Pria itu, Rendi, memanggilnya dengan alasan menanyakan pekerjaan, tapi, nyatanya Rendi tak membuang waktunya untuk bertanya. "Aku gak nyangka bisa ketemu kamu disini, apa kabar Sa?" Rendi bertanya dengan tatapan sendunya seolah menyimpan berjuta penyesalan di matanya. "Saya, Baik," jawab Raisa. Rendi mengangguk "Gak usah terlalu formal-" "Saya disini untuk bekerja, Pak." Raisa segera menghentikan ucapan Rendi. "Kalau tidak ada lagi yang di perlukan saya mohon undur diri, Pak." Raisa menunduk lalu berbalik, Raisa sungguh tak ingin berbasa- basi dengan atasannya ini, belum lagi respon tubuhnya yang tak nyaman saat ini. "Sa ..." Rendi menarik tangan Raisa sebelum dia benar- benar keluar dari ruangannya "Kamu masih marah?" Raisa menatap tajam tangan Rendi yang mencekalnya, hingga Rendi yang mengerti pun segera melepaskan tangannya "Maaf," Rendi mengangkat tangannya "Tapi Sa, itu masa lalu, gak bisa ya kamu lupain itu?" Raisa mendengus "Maaf, Pak. Tapi, karena saya sudah melupakan, maka itu saya tidak mau mengungkitnya lagi." "Lupakan, dan hubungan kita saat ini hanya sekedar atasan dan bawahan." tegas Raisa lagi. "Sa, aku nyesel, bisa gak kita kembali. Kita mulai dari awal. Maafin aku." Raisa kembali mendengus, lalu terkekeh merasa perkataan Rendi sangat lucu. "Permisi Pak, mau membicarakan masa lalu?" Raisa mengangguk "Tapi, saya harap setelah ini anda jangan mengungkitnya lagi." Raisa menarik nafasnya panjang menghalau rasa yang benar- benar tak nyaman di hatinya. Dia mulai merasa takut. "Pertama, yang meninggalkan saya dulu adalah anda." "Kedua, pengkhianatan itu? menurut anda, apakah aku pantas memaafkan?" Raisa kembali terkekeh "Mungkin menurut anda yang akan dengan mudah berhubungan ..." Raisa menggerakan jarinya meniru tanda kutip "Itu adalah hal biasa, tapi, bagi saya yang menyerahkan semuanya demi pria seperti anda, adalah kesakitan terdalam." Ya, pengkhianatan yang di lakukan Rendi bahkan menyakitinya hingga kini, penyebab kesakitan dan trauma yang di dapatnya dari Kemal. Kesakitan itu ... Tapi, sudahlah Raisa benar- benar tak ingin mengingat kesakitannya itu. Pria di depannya dengan mudah bercinta dan berhubungan badan dengan wanita lain, sementara bagi Raisa yang berharap Rendi adalah masa depan tentu saja tersakiti. "Aku menyesal," ucapnya sendu. "Penyesalan anda tidak akan merubah semuanya atau bahkan mengembalikan kesucian saya!" "Sa ..." wajah Rendi kembali penuh permohonan. "Aku mohon." "Saya tidak ingin mengungkitnya. Jadi sebaiknya anda jangan melanggar batasan yang seharusnya, melupakan bukan berarti memaafkan." Rendi tertegun. Raisa melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan Rendi. Memulai dari awal? Mimpi saja. Saat ini Raisa ragu, apakah dia disana akan baik- baik, atau bahkan bekerja dengan tenang. Bukan, karena rasa cintanya pada Rendi masih ada, Tidak! Raisa sudah tak memiliki perasaan apapun pada Rendi, tapi, Raisa takut Rendi akan mengusiknya karena masa lalunya. Raisa yang melamun di kejutkan dengan tepukan di pundaknya "Sa," panggil Sella. "Eh, ya?" "Dari tadi, gue panggil bengong aja," ucapnya kesal. "Sorry, apa ya?" Raisa meringis tak enak hati, apa dia terlalu larut dalam lamunannya? "Mas Brian dari tadi tanya Lo mau pesen apa? Terus dia bawa berkas yang mesti di tanda tangan," tunjuknya pada Brian yang kini berdiri di depan Raisa, sejak kapan pria itu ada disana? Kenapa lagi- lagi dia tak menyadarinya. Raisa membuka mulutnya, tapi kembali menutup karena ragu saat melihat wajah datar Brian. "Gak usah," katanya akhirnya. Brian mengangguk dan berlalu begitu saja. Raisa mengecurutkan bibirnya, rasa sedih dan sakit kembali melandanya, menatap punggung Brian yang menjauh dengan tatapan sendu. Sikap dingin Brian membuat hatinya tidak nyaman, bukannya tenang pria itu menjauh, dan tak mengganggunya lagi, tapi Raisa justru merasakan sakit. Sebenarnya Raisa ingin memesan kopi, pada Brian, tapi karena merasa tak enak hati melihat Brian, Raisa memilih diam. Padahal Raisa sangat membutuhkan kopi untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Raisa ingin kopi mahal dari Brian. Raisa mencoba fokus dengan pekerjaannya, tapi tetap saja masalah kedua pria itu memenuhi otak Raisa. Brian dan Rendi ... Hingga Raisa menyerah dan beranjak, beruntung jam pulang akan segera tiba hingga Raisa bisa segera pulang. Raisa mengumpulkan semua laporan yang datang padanya, lalu membawanya pada ruangan Rendi untuk di tanda tangani. Menyingkirkan seluruh ketakutannya dan kebenciannya Raisa kembali masuk ke ruangan Rendi, tentu saja setelah mengetuk pintu lebih dulu. Dia harus membiasakan diri jika masih membutuhkan pekerjaan ini. Bahkan meskipun tidak, Raisa masih terikat kontrak. Jadi, Raisa harus bertahan. "Hai, Sa." Raisa benar- benar ingin mendengus benci pada Rendi, tapi seperti katanya Raisa akan bersikap profesional. "Permisi, Pak. Ada berkas yang harus anda tanda tangani." karena hari ini hari pertama Rendi, tidak ada rapat penting untuk pria itu. Dan itu juga menjadi kebaikan untuk Raisa sebab dia bisa pulang tepat waktu. Rendi mengangguk lalu meraih berkas nya dan menanda tangani satu persatu. "Kamu langsung pulang Sa?" tanya Rendi basa- basi. Meski Rendi tahu Raisa mungkin akan tetap acuh padanya, tapi tidak ada salahnya kan dia mencoba. "Ya, Pak." "Mau makan malam bereng gak? Atau aku bisa antar kamu pulang," bujuknya lagi. "Tidak perlu Pak, terimakasih." Raisa memperhatikan gerakan Rendi yang terhenti, pria itu justru sibuk bicara padanya, bukannya dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Dan jangan lupakan wajah tampan itu tersenyum mencoba menggoda, tapi jangan harap Raisa akan tergoda, karena justru, rasa takutlah yang melanda hatinya kini. Raisa berdehem menyembunyikan ketakutannya "Permisi, Pak. Berkas itu di tunggu untuk segera di tindak lanjuti," ucapnya sambil menyembunyikan getaran dalam suaranya. Rendi mencebik "Kamu gak betah banget sih Sa, cuma ngobrol doang, kita kan bisa nostalgia sama kenangan- kenangan kita dulu." Raisa mengangkat alisnya. Kalau maksud Rendi adalah kenangan menyakitkan mungkin ada, tapi Raisa yakin Rendi juga tak ingin mendengarnya, begitu pun Raisa, sudah dia bilang dia tak ingin mengungkitnya. "Kalau begitu saya permisi Pak." satu detik setelah Rendi menyerahkan semua berkas yang dia tanda tangani Raisa segera pergi. Langkah Raisa bahkan terburu- buru hingga dia membuka pintu lalu menutupnya kembali. Raisa menghela nafasnya beberapa kali sambil menekan dadanya, matanya bahkan berkaca- kaca. "Kamu gak papa?" Raisa mendongak dan menemukan Brian. Bisa Raisa lihat tatapan Brian sangat khawatir hingga Raisa menggeleng, pria itu hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Brian mencoba acuh, dia bahkan menahan dirinya agar tidak menoleh ke belakang, Brian khawatir dengan trauma Raisa yang takut saat berdua saja dengan pria, dan Brian tahu Direktur baru itu juga pria yang tampan. ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN