Love is an illusion. Clouding our judgement. The perfect magic trick controlling our heart. ( Cinta adalah sebuah ilusi. Mengeruhkan penilaian kita. Trik sulap sempurna yang mengendalikan hari kita.) M.FireChild
Karakter, latar cerita, elemen sekitarnya dan lainnya di dalam cerita ini, murni lahir dari imajinasi dan bersifat fiksi. Kesamaan nama, tempat dan kejadian adalah murni ketidak sengajaan. Cerita mungkin berisi beberapa tema yang tergolong DEWASA (21+) seperti seks, bahasa kasar, dan triger depresi. Jangan lanjutkan jika Anda di bawah umur. Anda telah diperingati.
Karya ini dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. PLAGIARISME adalah tindak KEJAHATAN SERIUS, yang melanggar UUD yang akan diproses secara hukum. Dilarang keras MENCURI atau MENYALIN IDE atau BAGIAN DARI CERITA ini, baik sebagian atau seluruhnya. Dilarang keras menyebarkan cerita ini, baik sebagian atau seluruhnya, tanpa izin dari penulis.
© All right reserved
Novi Palacios C.
17 July 2020
_______________________________
PROLOGUntuk kamu yang pernah disakiti, ditinggalkan dalam begitu saja, tanpa kejelasan. Kamu tidak sendiri.
-Novi. C. Palacios
_______________________________
Daerah Istimewa Yogyakarta, Januari 2027
Tuk tuk tuk tuk…
Suara sepatu tumit tinggi menghantam lantai, cepat. Menggema memenuhi lorong-lorong tangga darurat yang sepi dan remang. Tidak ada cahaya matahari di sana. Bahkan tidak ada satupun jendela yang memungkinkan cahaya alami untuk masuk. Hanya cahaya lampu kuning redup, berputar melaju di sudut mataku. Menerangi kebaya putih berpayet dan kain batik keemasan yang kotor dan sobek. Kaki-kakiku berlari menyusuri anak tangga, lantai demi lantai. Terburu-buru. Noda maskara berlumuran di bawah mataku, bersama dengan air mataku yang menolak untuk berhenti mengalir. Nafas terputus-putus. Hampir seperti, ada sesuatu yang mengikat d*daku, kencang. Menekan d*daku, kuat. Membuatku kesulitan bernafas. Pandanganku kabur dan gelap, semua di sekelilingku melaju, melalui sudut mataku yang basah. Tidak ada banyak tenaga yang tersisa. Tapi kaki-kakiku tidak berhenti. Aku berlari, berlari, dan berlari, sampai ke lantai terakhir. Membuka pintu menuju atap, terburu-buru. Menghirup udara segar yang menerpaku. Dan dengan kasar menerobos keluar. Bebas. Mataku tertuju pada satu titik, pagar pembatas. Kakiku bergerak dengan sendirinya, berlari menuju tepi gedung, lalu berhenti di sana. Mencengkram pinggiran beton yang memisahkan lantai gedung ini, dengan udara kosong di sana, kuat. Memejamkan mataku dan menarik kepalaku ke belakang, dengan wajah ku menatap langit kelabu. Menarik nafas dalam, bergetar. Berharap angin yang berdesir kencang membawa tubuhku. Berharap tanah yang kuinjak terbuka, dan menelanku utuh.
Tidak peduli sekeras apapun aku berteriak. Rasa sakit di d*daku tidak kunjung pergi. Setiap tetes tenagaku, meninggalkan tubuhku. Terjatuh, berlutut di atas lantai beton yang dingin dan keras. Dengan kedua tanganku menutupi hidung dan mulutku, membentuk sebuah mangkuk kecil. Sakit. Yang bisa aku rasakan hanyalah rasa sakit yang semakin menjadi. Aku hanya ingin rasa sakit ini berhenti, di sini, dan sekarang juga. Bagaimanapun caranya. Tangisku pecah. Air mata hitam, mengalir di jari-jariku. Hatiku hancur mendengar suara raunganku sendiri. Pilu, hancur. Rongga d*daku berdenyut perih, terbakar, melepuh. Hampir seperti seseorang membelah d*daku, mematahkan rusukku, lalu memotong jantungku keluar. Dan entah bagaimana, aku masih tetap sadar. Menatap jantungku yang berdenyut di luar d*daku, dengan darah merah segar yang menetes ke lantai, perlahan menjadi gelap. Terbakar oleh cairan bening, berbau tajam.
‘Bagaimana bisa, dia melakukan ini?’
Aku tidak mengerti apa yang sudah aku lakukan, sehingga aku bisa berakhir di sini. Dosaku hanya mencintai laki-laki itu, sepenuh hati. Aku bahkan tidak menuntut banyak. Aku hanya ingin menjadi istrinya. Memulai keluarga kecilku sendiri. Melahirkan anak-anak dari laki-laki itu, dan melihat mereka tumbuh dewasa. Sementara aku tumbuh tua bersamanya. Aku sudah memberikan semua yang aku punya. Semua. Aku begitu setia kepada laki-laki itu, sampai-sampai aku mengkhianati diriku sendiri. Kehilangan diriku yang sebenarnya. Dan pelan-pelan menjadi seperti yang dia mau. Boneka pajangan. Dan sepertinya, masih tidak cukup untuk membuatnya mencintaiku seperti aku mencintainya.
Aku bodoh. Naif. Termakan semua janji manis tentang sebuah masa depan bersama. Tanpa rasa curiga. Aku dan dia bertemu, lalu membiarkannya menjadi bagian dari tubuhku. Siapa sangka dia akan melakukan ini padaku, meninggalkanku tanpa kata, tanpa penjelasan. Tanpa Selamat tinggal. Rasanya seperti kehilangan anggota tubuhku. ‘Duniaku, semuanya, hancur…’ butiran air mata hangat turun membasahi pipiku. Udara di sekitarku memberat. Dan untuk sesaat aku lupa caranya bernafas. ‘Tidak ada lagi yang tersisa untukku. Hanya perempuan rusak yang dibuang orang.’ Suara di telingaku berbisik. Hampir nyata. Aku mengangguk setuju. Sebelum kemudian merobek kain kebaya keemasan yang membungkus kakiku. Jantungku berdenyut di kepalaku. Sesuatu terasa mendesak di d*daku. Memaksaku untuk berteriak. Entah bagaimana caranya, detik berikutnya, aku berdiri di sisi lain dari pagar pembatas. Di atas beton pembatas selebar dua-puluh senti. Telapak kakiku dingin, berkeringat. Mataku awas, pupil mataku melebar. Pandanganku bergerak seperti lensa kamera yang sedang disesuaikan. Menjauh, kemudian mendekat, bergantian. Tanganku bergetar hebat, bersiap melepaskan pagar besi di belakangku. Suara-suara kecil di dalam kepalaku berpusar. Satu setelah yang lainnya. Bergantian. ‘Aku perempuan rusak.’ Aku memaki diriku sendiri.
‘Kamu pantas mendapatkannya. Dia tidak pernah mencintaimu. Siapa yang mau mencintai perempuan seperti kamu.’
‘Apa ini yang Benar-benar kamu inginkan? Mati? Dasar pengecut!’
‘Apa bedanya? Apa gunanya terus bernafas, kalau kamu sudah mati di dalam. you are death inside, you know that.’.
‘JANGAN! Apa kamu sudah gila?’
‘Aku mohon. Kamu masih punya banyak hal. Ibu, Ridho, Maya, Kinan, Sun, Lidya. Chika… kamu tidak sendiri. Kamu punya mereka.’
‘Apa mereka benar-benar ada untukmu? Apa mereka temanmu?’
‘Tentu saja.’
‘Apa kamu gila? Mereka pasti sedang menertawakan mu. Kamu tidak lebih dari sekedar lelucon sekarang.’
‘Tidak ada artinya. Ini sudah berakhir. Laki-laki yang paling kamu cintai di dunia ini, mengkhianati mu.’
‘Ini bukan salah mu.’
‘Tentu saja. semua karena kamu tidak pernah cukup.’
‘Do me a favor, and jump. Kamu mahluk menyedihkan.’
“BERHENTI!!!” Suaraku menggema dari dalam jiwaku yang meronta. Membungkam semua suara di dalam kepalaku. Hening. Disusul isakan tanpa suara. “Berhenti…” aku setengah memohon. Aku menutup mataku rapat. Membiarkan butiran air hangat, bercampur dengan noda hitam di ujung mataku. Turun mengalir di pipi ku. Kalau aku tahu, semua akan berakhir seperti ini. Aku tidak mau mencintai laki-laki itu lagi. Persetan dengan cinta. Persetan dengan semua.