Patah hati itu, seperti memiliki tulang rusuk yang patah. Tidak ada yang bisa melihat rasa sakitnya. Tapi tidak berarti, rasa itu tidak nyata. Ada rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan, setiap kali kamu bernapas. Dan setiap saat terjaga, seperti mimpi buruk yang tidak berakhir, bahkan setelah kamu membuka mata. -Anna-
___________________________
Daerah Istimewa Yogyakarta, September 2026
Aroma kopi segar yang baru saja di seduh mengisi seluruh ruangan. Bersamaan dengan cahaya matahari pagi yang lembut, mengintip dari jendela, di susul deringan panggilan masuk. Aku meraih ponsel ku di atas meja lampu di samping tempat tidur ku. Dengan mata yang masih mengantuk, membaca nama yang bersinar di layar benda pipih hitam di tanganku, Nikolas. Seperti di sihir, tanpa sadar bibirku mengembang penuh, tersenyum bodoh dengan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku. secarik rasa hangat menenangkan yang akrab mengisi seluruh tubuhku. 'Rumah'.
“Hai, good morning baby girl...” Wajah laki-laki favorit ku muncul di layar hitam pipih itu. Lengkap dengan senyumnya yang hangat dan akrab.
“Hai.” Sial! Suaraku terdengar lemah dan mengantuk! Aku melonggarkan tenggorokan ku. “Selamat pagi, sayang.” 'Nah, lebih baik'. Nikolas tertawa kecil, menggoda.
“Apa kamu sudah bangun?” aku mengerutkan bibir ku. Seperti anak bebek. “Aku masih mengantuk.” Protes ku.
“Sleepy head, ayo bangun, cantik…” Aku tidak bisa menahan diriku, untuk tidak menggigit bibirku, menahan rasa geli di dalam dadaku. Nikolas menatap wajah telanjangku, tanpa riasan apapun. Kulitku berkilat dilapisi minyak alami kulitku, dengan rambut tidak beraturan seperti benang kusut. Dan dia masih memanggilku cantik. “Nanti kamu bisa terlambat.” Lanjutnya. “Iya, iya, berisik.” Aku pura-pura kesal. mengeraskan rahangku. Berusaha keras untuk tidak tersenyum. Lalu berbaring di sisi kanan tubuhku. Sebelum akhirnya mendorong tubuh atasku, bangun dengan bantuan tanganku. “Ini sudah bangun.” Nikolas tersenyum, puas. “Itu baru gadisku.” Mengirimkan kecupan kecil virtual. Sebelum mengakhiri panggilannya. Bersamaan dengan memudarnya simpul tipis di wajahku. Hidup tidak bisa ditebak. Satu detik lalu, perutku di penuhi kupu-kupu, lalu kemudian diselimuti rasa hampa yang pekat. Dulu ini adalah rutinitasku di pagi hari.
Cara terbaik untuk memulai hari: obrolan manis kecil dengan orang kesayanganku, lalu secangkir kopi hitam segar.
Daerah Istimewa Yogyakarta, Febuari 2027
Sayangnya, aku tidak bisa bangun seperti itu hari ini. Tidak hari ini, tidak besok, tidak selamanya. Tanganku meraba sisi kanan ranjangku. Meraih ponselku dan mematikan alarm yang berdering sejak tadi. Lalu menghembuskan nafas dalam, berat. Mataku hampir basah, dan jantungku terasa seperti diremas tangan yang tidak terlihat. Dadaku terasa sesak dan sakit. Hampir seperti aku memiliki tulang rusuk yang patah. Tidak terlihat, tapi rasa sakit yang aku rasakan ada dan nyata. Seperti teriris, setiap kali aku bernafas. Dan setiap saat terjaga, seperti mimpi buruk yang tidak ada akhirnya, bahkan setelah aku membuka mata. Berbaring telentang menatap langit-langit. Kosong. Tidak ada yang berubah dari ruang ini. Semuanya masih tetap sama, tapi entah kenapa, terasa lebih hampa. Aku berguling, berbaring di sisi kanan tubuhku. Membawa lutut ku mendekat ke dadaku. Memeluk diriku sendiri. Bum… bum... bum… apa kamu mendengarnya? Bum… bum... bum… jantungku masih berdetak. Susah payah memompa darah dalam tubuhku. Menjaganya tetap hidup. Waktu laki-laki kepar*t itu mematahkan hatiku. Memotong nya keluar dan memaksaku untuk melihatnya. Berdenyut di luar tubuhku. Aku pikir aku akan mati. Aku sendiri terkejut, entah bagaimana caranya aku tidak mati. Tapi ini juga, tidak bisa dibilang hidup.
“Bangun sleepy head!” Jantungku melompat, jatuh ke perutku. Maya, housemate-ku menerobos masuk ke dalam kamarku. Menyingkap selimutku dari tubuhku dan berdiri di sana, melipat tangannya di depan dadanya, dengan tatapan itu. Tatapan yang sudah aku lihat seribu kali dalam beberapa minggu ini. 'Kasihan'. “Ayo, kamu harus siap-siap kerja.” Aku bergeming. Terlalu lelah untuk bergerak. “Mau sampai kapan kamu begini? Bahkan kamu mati pun, dia tidak akan peduli. But life must go on. Dengan, atau tanpa laki-laki brengs*k itu.” 'Benar'. Tapi tubuhku masih saja menolak untuk bergerak. Maya tidak menunggu jawabanku, atau reaksi ku. Entah bagaimana tubuhnya yang kecil itu, bisa memiliki tenaga sebanyak itu. Cukup banyak untuk menyeret ku, yang sedikit lebih besar darinya, keluar dari ranjang ku. Lalu memaksaku duduk di atas sebuah kursi kayu tua, di meja makan. “Makan.” Maya meletakkan secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi, di hadapanku, kasar. “Kita akan membuat laki-laki itu menyesal. Lihat saja, dia akan membayarnya. Laki-laki tidak tahu diri itu, sudah membuang kita begitu saja. Tapi pertama-tama.” Katanya sambil mengangkat jari telunjuk nya ke udara. “Kamu harus makan!”
______________________________
Yogyakarta. Siapa yang tidak pernah mendengar tentang Yogyakarta? Sebuah kota tua sederhana yang menyimpan sejuta kisah di setiap sudutnya. Saksi bisu dari tawa dan tangis anak manusia. Seperti kita berjalan bergandengan tangan, menyusuri keramaian malam di Malioboro, malam itu. Tersenyum canggung, saat tangan kita bersentuhan. Dengan sengatan listrik statis mengaliri kulitku saat itu. Atau saat kita sekedar mengagumi keindahan struktur lorong bebatuan tua di Borobudur, yang tidak lebih indah dari kamu. Dan sebuah pelukan hangat di Ratu Boko. Duduk berdampingan, memandangi langit senja di jogja. Semburat warna jingga kemerahan, bayangan indah pura batu berusia ribuan tahun, bersamaan dengan terbenamnya matahari sore, hembusan lembut angin dengan aroma rumput segar. Sihir mulai beterbangan ke udara. Membawamu semakin dekat kepadaku.
Semua ingatan itu masih terasa segar, sentuhan tanganmu di wajahku, tatapan matamu yang dalam dan hangat. Nafas pendek yang berat. Caramu membasahi bibirmu, lembut, saat tangan-tangan itu menyentuh pipiku, membawaku lebih dekat kepadamu. Hembusan nafas hangat, bau musk dan kayu cendana lembut dari kulitmu. Sentuhan bibirmu yang perlahan Melumat bibirku. Desahan nafas berat. Remasan-remasan penuh gairah di tubuhku saat kau menyentuhku. Semua ingatan segar masih berbekas di hatiku. Potongan-potongan kenangan manis yang terlalu sulit untuk dilupakan. Pada saat yang sama terlalu pahit untuk dikenang. Tersimpan rapi di setiap sudut kota ini. Kota yang sama, hanya saja sedikit lebih tidak berwarna sekarang. Jalan yang sama, hanya saja terasa berbeda tanpa kamu di sana.
'Bajing*n'. Aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus memanggilmu kalau bukan, Bajing*n. Meninggalkan aku begitu saja, dalam kegelapan. Jangankan penjelasan, selamat tinggal saja tidak ada. Lalu dengan tidak tahu malu nya, meninggalkan bayanganmu yang begitu nyata, di setiap sudut kota ini, menghantui ku kemanapun aku pergi. Hatiku terasa seperti hancur sekali lagi, setiap kali aku harus melewati semua tempat yang menyimpan bayanganmu. Lucu, dulu aku pikir, aku tidak pernah terganti. Aku pikir, aku juga, segalanya untukmu. Lalu kamu menghapus ku begitu saja dari hidupmu. Begitu cepat. Begitu mudah. Seolah aku tidak lebih dari pakaian kotor yang habis pakai lalu dibuang. Seperti aku adalah orang asing. Seperti kita tidak pernah ada.
Dan hampir seperti, kamu ingin memastikan, aku tahu, kamu dan pelac*r kotor itu, baik-baik saja, tanpa ku.
Mau tak mau aku bertanya-tanya. Apakah kamu pernah mencintai ku? Aku ingin tahu apakah kamu membawanya ke semua tempat spesial kita? Aku ingin tahu apakah kamu memperlakukannya seperti kamu memperlakukan aku? Aku ingin tahu apakah kamu memandangnya dan menyentuhnya, seperti yang kamu lakukan padaku? Aku ingin tahu, apakah kamu melihat ku dalam dirinya, saat dia mengerang di atas ranjang. Apa kamu memikirkan aku, sedikit saja. mungkin saat kamu mendorong tubuhmu masuk ke dalamnya. Tersenyum puas, mengetahui, aku di sini, sendiri, setengah hidup. Berusaha mengumpulkan kepingan ku, dan melanjutkan hidupku, tanpa kamu. Menyeret diriku sendiri melalui lorong putih panjang dengan sebuah gelas kertas putih di tanganku. Menuju sebuah cubical yang dibatasi dengan partisi biru terang.
“Ehm. Tidak biasa. Pagi sekali, Kamu hari ini Na?” Ida Ayu Kinan, atau Mbak Kay, begitu aku memanggilnya, tersenyum cerah, sambil mengatur ulang meja kerjanya, seperti biasanya. Kinan paling tidak tahan melihat tempat kerjanya berantakan. mengatur ulang sesuatu membantu kita mengatur masa lalu sehingga kita dapat berada di masa sekarang dan merencanakan masa depan. Ulangnya lagi dan lagi. Seperti yang dibacanya dari buku ‘The life changing magic of tidying up’, ala Marie Kondo. Karena itu, dia selalu datang lebih pagi dari pada siapa pun, lalu meluangkan waktu untuk mengatur ulang tumpukan naskah di atas mejanya dan merapikan foto-foto yang berjejer di sisi partisi nya. “Uh-huh.” Aku menarik ujung bibirku malas. “Kamu juga.” Lanjut ku sambil menyesap kopi ku yang sudah tidak lagi panas. Lalu mengambil sebuah kotak karton cokelat di bawah meja ku, dan mulai menata ulang meja kerjaku. Seperti saran Kinan beberapa hari lalu. Melepaskan semua benda sentimental yang menempel di sisi partisi ku. Foto kita berdua. Foto mu. Tiket masuk tempat-tempat yang kita kunjungi bersama. Boneka pemberianmu. Semua hadiah kecil darimu. Satu persatu. Aku meletakkannya di dalam kotak karton kusam, berharap dengan begitu, aku bisa memproses masa lalu ku, dan melupakan mu, sama seperti kamu melupakan ku.
Kinan berdiri di sana, menatapku dengan rasa kasihan yang hampir membakar punggungku. Tapi aku berterima kasih padanya untuk memilih tetap diam, dan bukannya mengatakan hal yang tidak perlu. 'Seperti kamu akan baik-baik saja. Kamu akan menemukan yang lebih baik, atau ini memang sudah jalannya Tuhan. Bla… bla… bla… Bullshit!' Aku baru saja menyesap tetesan terakhir kopi ku, saat aku meletakkan benda terakhir ke dalam kotak karton cokelat itu. Lalu melenggang, membawanya keluar. Ke tempatnya yang seharusnya. Tempat samp*h. Tidak yakin apakah, mengatur ruang pribadi, sebenarnya membantu mengatur perasaan ku, seperti yang dikatakan Marie Kondo. Tapi ketika aku meletakkan kotak itu. Sepotong beban dalam diriku, hilang. Tidak banyak, hanya sedikit. Tapi kemajuan adalah kemajuan. Sekecil apapun itu. Setidaknya aku bisa tersenyum sedikit lebih tulus. Ridho dan Maya, pasti akan senang sekali mendengarnya. Dengan perasaan bangga pada diriku sendiri, aku berjalan kembali ke dalam ruanganku. Mendapati beberapa orang wanita, dalam balutan pakaian kantor berdiri berkerumun di cubical-ku. Lydia, Siti Sundari, dan Jessica. Editor heboh Full team. 'Berapa lama aku pergi? ' Aku mengerutkan keningku. Menarik alisku bersamaan, membentuk 'uni-eyebrow'
“Bagaimana Anna, Mbak? Apa sudah lebih baik?” samar-samar aku mendengar suara Lidya yang penuh dengan kekhawatiran. Tulus. Aku harap. Tapi entah kenapa, aku tidak suka mendengarnya. “Aku harap perempuan itu, mendapat ganjaran yang setimpal, dari tuhan.” Timpa seseorang. Bersemangat, atau marah. Aku tidak tahu “Iya, benar. Karma itu ada, dan tuhan tidak pernah tidur!” seseorang yang lain terdengar bersemangat. Membara. Penuh amarah. Aku hampir bisa melihat kobaran api di dadanya. “Tapi, bukannya, Nikolas juga salah ya? Aku kira, Nikolas yang bajing*n. Bisa-bisanya dia me—” Tanpa sadar, aku membawa tanganku ke dadaku, memijatnya sekali lagi. Sesuatu yang tidak terlihat, terasa seperti meremas jantungku setiap kali aku mendengar nama itu. Udara di sekelilingku memberat. Dan Siti Sundari, atau Sun, membatu. Membiarkan kalimatnya menggantung di udara, saat mata kami bertemu. Dengan rahangnya yang jatuh ke lantai, dan jari-jarinya menyentuh bibirnya. Hening. Semua mata tertuju padaku. Kasihan. Simpati. Panik. Bersalah. Apa seseorang pernah mengatakan, kalau mata bisa mengatakan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh kata? Aku setuju. Mata mereka mengatakan, lebih dari apa yang bisa mereka katakan. Terutama Kinan, matanya sudah hampir seperti gelas bening yang mencerminkan semua yang ada di pikirannya. “Ma-maaf. A-aku tidak ber—”