Lux dan kakeknya kini duduk di ruang baca, mereka sama-sama terdiam dan memilih untuk memikirkan masalah di benak masing-masing. Rintik hujan kembali turun, suara embusan angin kencang terdengar berisik kala menghempas pepohonan di sekitar rumah kecil mereka.
Lux menatap kakeknya, ia bisa melihat jika pria itu sudah tenggelam dalam dunia dongeng di dalam buku. Gadis itu bahkan mencium dengan jelas aroma menyengat yang menguar dari tiap lembar buku tua yang sedang dibaca kakeknya.
"Kau terlihat begitu resah," ujar sang kakek. Pria itu kembali membalik halaman pada buku di atas meja, mata tuanya melirik Lux yang membuang muka ke arah lain.
"Ada apa, Lux?" tanya pria itu lagi.
Lux mengembuskan napas pelan, ia menatap kakeknya dan tersenyum kecil. "Bukan apa-apa. Aku hanya sedang berpikir tentang berapa usia buku itu," ujar Lux sambil menunjuk ke arah buku yang masih berada di atas meja dengan posisi terbuka.
Sang kakek hanya tertawa, ia tidak menjawab dan kembali membaca. Lembaran berwarna coklat muda itu terlihat begitu rapuh karena termakan usia, beruntung saja kertas yang digunakan adalah kertas terbaik pada masanya dan lembaran kertas itu tetap baik-baik saja meski berubah warna.
"Mungkin ribuan tahun," sahut sang kakek kemudian.
Lux menatap tak percaya, bagaimana mungkin buku itu tidak hancur termakan usia setelah berumur ribuan tahun. Gadis itu menggeleng pelan, apa yang kakeknya ucapkan begitu menggelitik dan ia menahan diri untuk tidak tertawa.
"Tertawalah." Sang kakek terlihat begitu santai menanggapi reaksi Lux.
"Tidak. Aku tak bisa tertawa sekarang," ujar Lux dengan suara yang agak nyaring. Gadis itu menutup bibirnya dengan tangan kanan, ia benar-benar ingin tertawa.
Tak lama suara guntur terdengar begitu nyaring, lampu langsung mati dan ruangan itu begitu gelap sekarang. Lux terdiam, jujur saja ia begitu takut jika tidak melihat cahaya. Lux merasa tak nyaman saat berada di kegelapan tanpa cahaya sedikit pun, gadis itu mulai memegang bagian dadanya dan merasa napasnya begitu sesak.
"Tenanglah, Lux. Kakek akan segera mencari lilin," ujar sang kakek.
Lux tidak menjawab, ia tak mampu bicara sekarang. Suara laci meja yang terbuka terdengar nyaring, sedangkan dirinya kini mencoba bertahan untuk tidak kehilangan kesadaran.
Beberapa saat berlalu, cahaya remang dari lilin yang dibakar kakeknya bagai matahari. Lux merasa dirinya menjadi lebih tenang dan napasnya kembali teratur.
"Sudah lebih baik?" tanya sang kakek.
Lux mengangguk, ia juga menelan ludahnya. "Tadi itu benar-benar mengerikan," ujar Lux dengan suara yang teramat sangat pelan.
Sang kakek kembali membaca buku dongeng tua, pria tua itu terlihat begitu serius dan Lux memilih diam. Gadis itu menatap cahaya lilin yang berada di atas meja, ia kemudian membaringkan tubuhnya di sofa yang sejak tadi menjadi tempatnya duduk.
"Dahulu kala ada sebuah pulau kecil yang berada di tengah lautan, pulau yang diberi nama Pirateneiland," ujar sang kakek.
Lux tak menggubris ucapan kakeknya. Gadis itu memilih diam, ia juga tidak ingin melayangkan protes karena harus mendengar dongeng itu.
"Pulau itu mempunyai sebuah pelabuhan besar, orang-orang akan mengenal tempat itu dengan nama Haven Van Licht." Pria tua itu tersenyum kecil, ia menatap cucu kesayangannya yang kini terbaring dengan mata yang begitu teduh.
"Lux, kau ingin tidur?" tanya pria itu pada akhirnya. Ia menutup buku yang sejak tadi dibacanya, berdiri dan melangkah ke arah cucunya.
Lux menatap kakeknya yang kini berdiri di samping sofa tempat ia berbaring, gadis itu tersenyum dan mengangguk. Ia memang mengantuk sekarang, apalagi saat kakeknya mulai membaca awal kisah dari dongeng di dalam buku tua itu dengan suara terbuka.
"Menyingkirlah sebentar, Kakek ingin duduk dan kau bisa menggunakan paha Kakek sebagai bantal."
Lux hanya menuruti permintaan kakeknya, gadis itu duduk sebentar dan kembali berbaring saat sang kakek sudah duduk dengan nyaman. Aroma bunga tulip begitu menenangkan saat ia menghirup wewangian dari tubuh sang kakek. Gadis itu memejamkan mata saat tangan pria kesayangannya membelai lembut bagian rambutnya.
"Kakek, bisa ceritakan tentang Ayah dan Ibu?" tanya Lux kemudian.
"Apa yang ingin kau dengar?"
Lux membuka matanya pelan. Ia menatap cahaya lilin yang terus memberikan penerangan di atas meja, gadis itu memeluk boneka beruang yang sejak tadi ia dekap dengan erat.
"Semuanya," sahut Lux.
Suara embusan napas terdengar pelan, Lux mengubah posisinya dan memeluk pinggang sang kakek dengan erat.
"Ibumu seorang wanita dengan iris biru yang jernih, rambutnya ikal, dan di potong pendek dengan warna pirang." Sang kakek memulai cerita, pria tua itu tersenyum saat mengingat wajah anak perempuannya yang begitu ceria dan juga murah senyum.
Lux yang mendengar ucapan sang kakek memilih diam, membayangkan wajah ibunya yang tidak pernah ia lihat sama sekali secara langsung. Foto kedua orang tuanya tidak ada, semua dibakar oleh mendiang neneknya saat masih hidup. Entah atas landasan apa sang nenek melakukan semua itu, saat itu ia masih berumur lima tahun dan tidak mengerti apa pun.
Lux melonggarkan pelukannya, ia menutup mata dan memasang pendengarannya dengan baik. Tangan sang kakek masih setia membelai surai hitamnya, dan pria yang membesarkannya itu kini menarik napas pelan lalu mengembuskannya dengan sedikit kasar. Mungkin kakeknya benar-benar terpukul saat mengingat jika anaknya telah tiada, mungkin juga sedang berusaha merangkai kata.
"Ibumu wanita yang murah senyum, namanya Catherine Drecia. Seorang dokter muda yang begitu dikagumi oleh banyak pasien di rumah sakit tempatnya bekerja."
Lux menelan ludahnya pelan, mengingat jika alasannya memilih jurusan yang sama dengan sang ibu adalah guna mewujudkan cita-cita ibunya untuk menjadi dokter terbaik di dunia.
"Lalu bagaimana dengan Ayah?" tanya Lux.
Sang kakek tertawa kecil. "Ayahmu adalah pasien tetap rumah sakit, ia dengan sengaja menyakiti dirinya sendiri agar bisa bertemu dengan pujaan hatinya setiap waktu. Namanya David, seorang pelukis dari Persia. Ia pria yang baik, ramah, humoris, dan ia begitu mencintai ibumu."
"Bagaimana dengan ciri-cirinya?" tanya Lux.
"Apa kau ingin mencari pria yang serupa dengan ayahmu?" tanya sang kakek.
Lux menggelengkan kepalanya. "Tidak akan pernah ada pria yang sama seperti Ayah. Ayah hanya ada satu, dan tidak akan pernah ada yang bisa menyamainya."
Sang kakek terkekeh pelan. "Cucuku memang menggemaskan," ujar pria itu.
"Kenapa nama belakangku Drecia?" tanya Lux.
"Ayahmu mengatakan, jika dia tidak memiliki keluarga dan dia besar di panti asuhan. Jadi … dia meminta dirinya menggunakan nama Drecia di belakang namanya," sahut sang kakek.
Lux mengangguk, ia kemudian memejamkan mata. "Kakek, aku sangat menyayangimu."
"Benarkah?" tanya pria itu.
"Benar, bahkan aku tak ingin kehilanganmu. Kakek, tetaplah sehat. Jaga kesehatan dan jangan pernah meninggalkanku sendirian," ujar Lux lagi.
"Lux, semua manusia akan mati. Kembali menjadi tanah, bersatu lagi dengan bumi. Tidak ada yang bisa memprediksikan umur manusia, tidak ada pula yang bisa menahan kematian."
Lux terbungkam. Seandainya ia bisa membagi umurnya, ia akan membaginya dengan sang kakek. Gadis itu menutup matanya erat-erat, berusaha untuk tidur dan menyingkirkan rasa takutnya.
"Tidurlah. Selamat malam, Sayang." Sang kakek kembali mengelus rambut Lux, memberikan kasih sayangnya melalui sentuhan.