“Ibu baik-baik saja kan?” tanya Farid yang tidak kuasa menahan tangis ketika mendengar pengumuman bahwa pesawat menuju Paris sudah siap.
“Iya, Le. Lo kamu kok malah nangis. Piye? Udah. Nanti juga pulang. Nggak perlu kuatirkan Ibu,” ujar Ola sambil mengusap-usap pundak Farid yang berada di atas bahunya. “Ibu baik-baik saja.” Ola terlihat sangat tegar saat harus melepas Farid.
Begitu pula dengan Tata. Dia juga menangis ketika memeluk mertuanya.
“Nanti gantian ibu jenguk aku di sana ya?” pinta Tata memelas.
“Iya. Nanti ibu ke sana lagi,” jawab Ola berusaha menenangkan perasaan anak dan menantunya.
Sementara Akhyar yang terenyuh melihat tangis Tata dan Farid, perlahan mendekati Ola seraya menyerahkan tubuh Hera dari gendongannya.
“Dire au revoir à grand-mère. (Bilang goodbye sama Eyang),” bujuk Akhyar.
“Au revoir, Eyang,” ujar Hera sambil mencium pipi Ola.
“Iya, Sayang. Nanti kita main lagi,” balas Ola sembari memberinya ciuman.
Akhyar tersenyum melihatnya. Dia yang gelisah, bergegas menarik lengan Farid ke dekat pintu ke luar ruangan. Farid tampak pasrah digamit kuat Akhyar. Dia toleh ibunya yang masih memeluk dan mencium-cium Hera.
“Farid, Kasih tau alamat kamu yang di Caen,” ujar Akhyar pelan. Wajahnya memelas ingin segera Farid melakukan apa yang dia inginkan.
“Baik, Pak. Nanti saya segera kirim alamatnya,” balas Farid.
“Panggil saya Papa, Rid. Please,”
Deg. Farid tersentak mendengar permintaan Akhyar yang mengada-ngada. Dia tidak berani memandang Akhyar.
“Pak. Maaf. Saya....”
“C'est simple. Papa. Hanya berbeda di ujungnya saja. Sudah bisa buat Papa senang.” Akhyar menepuk-nepuk bahu Farid pelan.
“Iya, Pa,” desah Farid akhirnya.
Farid sekilas menoleh ke arah ibunya yang sedang bercakap-cakap dengan istrinya, lalu kembali memberanikan diri menatap Akhyar yang berdiri di hadapannya. Perasaannya mulai kacau, dia sangat tahu Akhyar sama sekali bukan tipe pria yang disukai ibunya. Meskipun Akhyar memiliki sifa-sifat persis mendiang bapaknya, belum tentu ibunya mau menerimanya. Apalagi sekarang Akhyar mulai berulah, menginginkannya memanggil dengan sebutan Papa. Apa-apaan ini?
“Apa bisa kamu lepas dari cengkraman Hanin. Papa kasih amanat urus perusahaan Papa,” nada Akhyar pelan tapi serius.
“Nggak, Pa. Nggak bisa.”
“Apa niat Hanin? Kamu seharusnya tahu,”
“Dia mau istirahat. Aku berniat membantu saja.”
Farid menelan ludahnya kelu. Betul kata ibunya, orang-orang berduit terkadang sangat menyebalkan dan ingin menang sendiri.
Akhyar menatap Farid kagum. Sekilas dia mengingat kata-kata Hanin yang memuji habis kepribadian Farid. Bahkan sempat menjodohkan dengan cucunya yang kini malah menikah dengan iparnya. Ada rasa sesal dirasanya, seandainya dia bertemu sosok Farid jauh-jauh hari, dia bisa amanahkan sebagian perusahaannya kepada sosok jujur Farid.
“I like your Mom,” ucap Akhyar dengan tatapan teduhnya.
***
Ola menghela napas lega ketika melihat Farid dan keluarga melangkah memunggunginya. Sepasang matanya tak lepas dari punggung Farid, berharap Farid cepat menyelesaikan tugas belajarnya dan pulang dengan menyandang gelar sarjana.
Namun, Bu Ola tidak sanggup menahan tangis harunya saat melihat tangan mungil Hera melambai ke arahnya. Tangan yang menyentuh pipinya semalaman saat tidur.
“Nanti kita bertemu mereka lagi, Ola,” desah Akhyar yang berdiri di sisi Ola. Ola cepat-cepat menyeka air matanya, juga cepat-cepat menjauh dari Akhyar.
“Ola!” panggil Akhyar ke Ola yang dengan langkah cepat berlalu darinya.
“Ola!” panggil Akhyar sekali lagi. Dia tahan tubuh salah satu pengawalnya yang ingin mencegah langkah Ola.
“Bu!”
Ola menghentikan langkahnya.
“Maaf, Bu,” ucap Akhyar yang menyadari kebodohannya. Sebelumnya Ola juga merasa jengkel mendengar Akhyar menyapanya tanpa ada kata ‘Bu’ di depan namanya. Ola merasa janggal jika orang yang baru dikenalnya menyapanya dengan hanya menyebut nama.
“Saya antar Ibu pulang,” tawar Akhyar gugup, karena Ola menatapnya sedikit sinis.
“Nggak usah, Pak. Saya pulang sendiri saja,” tolak Ola tegas. Dia melangkah lagi. Kali ini lebih lebar.
Akhyar menghempaskan napasnya dengan perasaan kecewa saat memandang tubuh Ola yang menjauh. Dia heran, karena sebelumnya di ruang tunggu, sikap Ola sangat menyenangkan hatinya. Ola juga sangat riang. Tidak ada sedikitpun sikap sinis yang ditunjukkan Ola saat bercengkrama di ruangan tunggu tadi. Sebaliknya, Ola terlihat antusias selama berada tidak jauh darinya.
“Susul, Pak?” tanya Keni yang agak khawatir melihat Akhyar yang cemas memandang tubuh Ola yang melesat cepat menuju tempat menunggu bus umum.
“Kita awasi, Ken,” ujar Akhyar kecewa.
Akhyar dan Keni dengan langkah cepat menyusul Ola yang sedang berdiri menunggu bus umum.
“Masih setengah jam lagi, Bu. Kita pulang sama-sama,” tegur Akhyar hati-hati.
Ola menggerakkan tubuhnya menghadap pemilik tubuh tinggi nan atletis itu. Dia dongakkan kepalanya menatap tajam wajah tampan Akhyar.
“Terima kasih banyak atas tawarannya, Pak Akhyar. Saya pulang sendiri,” ujar Ola pelan tapi bernada tegas. Sepertinya Ola benar-benar tidak ingin ada yang mengganggunya.
Akhyar perlahan memundurkan tubuhnya. Dengan langkah gontai dia kembali menuju Keni yang berdiri agak jauh di belakang posisi berdiri Ola.
Keni iba melihat raut gusar Akhyar. Baru kali ini ada seorang wanita yang sepertinya tidak sudi berdekatan dengan bosnya.
“Tunggulah sampai dia benar-benar naik bus,” perintah Akhyar yang lemas.
Akhyar dan Keni ikut menunggu bus yang akan ditumpangi Ola. Akhyar terkesima melihat Ola yang tetap berdiri dengan sabar menunggu bus datang. Padahal sudah setengah jam lebih Ola berdiri menunggu. Sedikitpun Ola tidak mempunyai keinginan untuk duduk. Dia terus berdiri sambil mengawasi jalanan, berharap bus yang dia harap-harapkan datang di hadapannya.
Beberapa menit kemudian, muncul bus besar putih dari kejauhan, dan Ola tampak siap-siap akan segera menaikinya.
Akhyar turut lega ketika melihat tubuh Ola yang dengan semangat menaiki bus besar itu. Matanya tetap mengarah ke Ola berharap Ola duduk di tepi jendela. Setidaknya dia bisa memastikan Ola bisa mendapatkan tempat duduk, karena dilihatnya bus itu sangat penuh dengan penumpang.
Namun harapan Akhyar tidak terjawab. Dia hanya mampu memandang bagian belakang bus yang berlalu cepat, tanpa ada jejak dari Ola. Akhyar menggigit bibirnya getir membayangkan tubuh Ola yang terhimpit di antara penumpang yang penuh, sementara perjalanan menuju rumahnya memakan waktu berjam-jam.
***
Hanin mengurut dadanya saat mendengar curhatan Akhyar dengan seksama lewat ponselnya pagi itu. Dia tidak menyangka sikap besannya yang menurut Akhyar agak mengecewakan. Bu Hanin akhirnya hanya mampu menenangkan Akhyar dengan kata-kata bijak dan mengharapkan Akhyar agar lebih bersabar.
“Aku sangat kecewa saat dia tolak bantuanku. Padahal kita kan sudah saling mengenal. Kita sudah memiliki hubungan persaudaraan. Cucunya menikah dengan iparku. Meski bukan cucu kandung, aku tetap menganggapnya orang dekat. Apalagi ternyata menantunya adalah anak dari salah satu teman bisnisku, Corrin. Tapi kenapa dia tolak bantuanku mentah-mentah, Hanin? Aku akui aku mungkin terlalu cepat bertindak atau terlalu cepat menilai Ola akan bisa aku ajak jadi ‘teman’. Tapi ada sebaiknya dia beri aku kesempatan bicara.…”
Terdengar helaan kecewa dari Akhyar.
“Maaf, Hanin. Mengganggu waktumu. Aku mungkin terlalu percaya diri bisa merebut hatinya. Tapi jujur, aku kecewa.”
Hanin memejamkan matanya menyayangkan sikap Ola.
Bersambung