2. Kolom Komentar

1016 Kata
Mas Baja memang kerap bersikap dingin. Namun, sekalinya membahas masa lalu ia bisa sangat panas. "Mas, aku mau pulang bukan karena itu. Aku beneran cuma mau lihat Pakde. Itu aja." Kali ini tak bisa aku terus disalahkan olehnya. Aku memang ingin melayat ke rumah Pakde. Hanya itu. "Munafik kamu!" Dengan cepat Mas Baja berlalu dari depanku. Ia menuju kamar Akila. Aku pun membuntutinya. "Mau ngapain, Mas!" sergahku dengan menarik tangannya. "Apa lagi!" ucapnya lantas menatap dengan ekpresi mengerikan. "Jangan, Mas. Jangan sakiti Akila." Dengan cepat aku membuat pagar betis di depan pintu kamar putri kami. "Minggir!" "Gak Mas, aku gak mau kalau sampai kamu nyakitin Akila. Aku yang salah, Mas. Aku yang salah." Mas Baja tetap berjalan maju. Ia tak peduli saat tanganku mencoba menahan kenop pintu. Tenaganya yang memang lebih kuat berhasil mendorongku. Tubuhku terjerambab di lantai. "Aku tak seburuk itu, Amira. Aku hanya ingin tahu anak kita sudah bangun atau belum." Tangan Mas Baja memutar kenop pintu. Pikiran buruk melintas di kepala. Aku sangat takut Mas Baja menyakiti Akila. "Hai, Nak. Apa kamu mau ikut Ayah?" tanyanya dengan wajah berhias senyum hangat. Akila yang memang sangat penurut dengan ayahnya pun mendekat. Ia membawa boneka berwarna ungu hasil dari pengumpulan koin kami saat main di Time Zone. "Ke mana, Ayah?" "Ke kantor Ayah. Hari ini mood ibu kamu sedang tidak stabil. Ayah tidak mau kamu jadi sasarannya." Sontak mataku membulat. Apa maksud perkataan Mas Baja? "Sudah lah Amira. Aku tahu habis ini kamu pasti malas menjalani hari-harimu. Aku juga tahu ada orang yang memberi komentar di kolom komentar postingan kamu. Aku tahu semua." Mas Baja mendongak. Dadanya tampak sesak. "Maksud, Mas?" "Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu semuanya." Mas Baja tidak menatapku. Ia memandang Akila dan boneka ungunya. "Akila, kembali ke ranjang, Nak. Jangan lupa tutup pintu. Ibu mau bicara sama Ayah, di luar." Mataku menatap tajam pada Mas Baja. Akila yang sudah paham mengikuti intruksiku. Ia mundur beberapa langkah dan kembali mendekat pada ranjangnya. Akila putri kami yang sangat pandai. "Masih pagi Amira. Aku tidak mau berdebat denganmu." "Aku tidak berniat untuk berdebat, aku hanya butuh penjelasan." Kutarik lengan Mas Baja. Bisa jadi masalah seperti ini akan berlarut dan berkepanjangan. Meski tampak jengah, Mas Baja mengikuti kemauanku. Pintu kamar Akila kututup rapat. Dengan perasaan tak keruan aku mengajak Mas Baja bicara di ruang tengah. Siaran televisi kartun kesukaan Akila masih tampak di layar. "Kolom komentar? Siapa yang komentar?" tanyaku begitu Mas Baja duduk di kasur lantai di depan televisi. "Siapa lagi kalau bukan masa lalu kamu." "Masa lalu? Kenapa bisa masa lalu?" Aku masih belum mengerti maksud ucapan Mas Baja. Jangan sampai apa yang kupikirkan tertebak olehnya. "Iya. Masa lalu yang tidak pernah bisa kamu lupakan. Sampai-samlai kamu mengabadikan namanya." Mas Baja tampak kesal. Ia bahkan menatap rendah ke rahaku. "Apa maksud kamu Mas? Memangnya dia komentar apa?!" Tak bisa kusembunyikan rasa penasaran sekaligus kekesalan. "See! Bahkan kamu berani bernada tinggi setiap membahas laki-laki itu." "Bukan begitu. Sudah lama lama aku tidak membuka sss. Jadi aku tidak tahu, Mas." Mas Baja mendecih. Ia tahu kebohonhanku terlalu kentara. Jelas-jelas aku sedang gencar melakukan promo penjualan buku baruku. "Aku tidak mengira kamu akan seperti itu, Amira. Aku dengan sangat bodoh baru tahu kalau cerita itu tentang kalian. Bahkan kamu membuatnya seolah-olah fiksi. Menggambarkan dengan sangat baik kegagalan hubungan kalian. Menyesal aku, sudah mendukungmu di jalan itu." Tangan Mas Baja bersedekap. Ia seperti sudah tahu banyak hal. "n****+? Tentang itu?" Mataku membelalak. Mengingat apa yang kutulis dan rilish beberapa bulan lalu. Cerita yang sudah lama kusimpan dan hanya kunikmati sendiri. Aku sedang mempublikasikannya lewat karya. "Sangat jelas dan gamblang. Bisa jadi orang itu sedang bangga karena kisah kalian diangkat dalam tulisan dan diabadikan. Bisa jadi orang itu sedang tertawa mendapati kamu belum bisa melupakannya. Aku yang jelas-jelas suamimu sama sekali tak ada nilainya." Mas Baja memulai argumen panjangnya. "Hanya karena itu lantas kamu menghubungi, Ibu, Mas? Hanya karena itu lantas kamu membeberkan semua masalah kita?" "Aku lelah Amira kalau seperti ini terus. Aku lebih baik mundur untuk menjadi suamimu. Cara terbaik hanya dengan memberi tahu keluargamu." Mataku terasa panas. Tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Mas Baja. Sudah sejak lama kami sepakat untuk tidak melibatkan keluarga di setiap masalah rumah tangga kami. Aku sangat malu kalau orang-orang terdekatku tahu yang sebenarnya. Aku mematung di depan Mas Baja. Laki-laki yang membawaku pergi jauh dari desa itu. "Kamu kembali saja pada laki-laki itu. Balik saja ke desa dan mengejarnya." Ini kali sekian kami membahas tentang mantan. Tak ada habisnya meski sudah dengan banyak cara aku menhindarinya. "Kamu jangan salah paham, Mas. Memangnya apa komentarnya?" Aku yang memang belum mengecek sss merasa penasaran. Apa yang coba dia lakukan? Mas Baja bangkit dari posisi duduknya. Ia melangkah menuju kamar dan kembali dengan membawa ponsel. Sudah pasti ia akan menunjukkan komentar itu. Dari seseorang yang sudah lama tidak menghubungiku. Apa tujuannya? Apa yang melatarbelakanginya? Apa yang ia inginkan sebenarnya? Jantungku seakan meloncat keluar saat Mas Baja menujukkan layar ponselnya. Sebuah kesalahan besar telah kulakukan. Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya? *** Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu. "Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab. Biar sekalian, ya." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan. "Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid. Amira lewat jalan yanh beda." "Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana. Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kadang mengirimiku pesan. Atau menelepon menanyakan kabar. Namun, belum pernah kami terang-terangan terlihat di depan umum. Mas Arhab yang sedang menempuh kuliah di kota tidak bisa segampang itu untuk menemuinya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN