Pagi ini aku terbangun seperti biasa. Setelah semalam memadu kasih dengan suami tercinta. Sampai hampir jam dua belas malam kami baru selesai. Dan kami tertidur pulas setelahnya. Seperti biasa aku yang pertama menggeliat saat mentari mulai memasuki kisi-kisi jendela kamar. Seperti pagi-pagi sebelumnya setelah kami menghabiskan malam, pasti aku kesiangan. Buru-buru aku turun dari ranjang, membiarkan suamiku tetap tertidur lelap.
Langkahku sangat ringan. Tubuh ini juga terasa bugar. Sebelum menuju kamar mandi kusempatkan mengintip putri kami yang juga masih terlelap di kamar sebelah. Biasanya ia akan ikut bangun saat aku mencium pipinya. Namun, kuurungkan niatku pagi ini. Tubuhku masih bau. Pukul setengah enam pagi rumah masih sepi. Belum ada aktivitas kesibukan seperti biasa. Dengan cepat aku menyambar handuk dan membersihkan diri di kamar mandi.
Guyuran air selalu membuatku merasa tenang. Dari pagi ini aku akan memulai aktivitas bekerja setelah beberapa hari melakukan WFH. Wangi sabun menguar di sekelilingku. Membuat jiwa semakin tenang. Hari ini hariku akan jauh lebih menyenangkan.
"Sudah mandinya?" tanya suamiku saat aku sampai di ruang televisi rumah kami.
"Sudah, Mas. Gantian kamu yang mandi biar tetap bisa solat," ujarku. Pagi ini kami benar-benar kesiangan.
"Iya. Jangan lupa kopi hitamnya." Suamiku langsung mengeksekusi niatnya untuk mandi.
Aku mengeringkan rambut sebentar dengan handuk, lantas menjemurnya di halaman belakang. Satu teko berisi air kudidihkan. Dua cangkir hadiah membeli kopi sachet merek tertentu aku ambil. Membuatkan kopi untuk suami tercinta. Sembari menunggu air mendidih, aku mencari ponselku. Semalam tergeletak di ruang tamu. Kuayunkan langkah dan mendapati ponsel itu di sana.
Sebuah panggilan tak terjawab dari Ibu. Sebuah kabar duka dari desa. Aku bergegas kembali ke belakang. Mematikan kompor juga bicara pada Mas Baja.
"Mas, Mas. Pakde meninggal," sahutku dari balik pintu kamar mandi. Sejenak gemericik air tak terdengar.
"Apa, Dik?"
"Pakde meninggal. Kakaknya Bapak." Mas Baja pun membuka pintu. Ia sudah mengenakan pakaian dan berusaha mengeringkan rambutnya.
"Innalilahi, yang kemarin kita ketemu?" tanyanya mengingat momen terakhir kepulangan kami. Butuh waktu lima jam untuk sampai di desaku.
"Iya, Mas," ucapku pilu. Pakde salah satu orang berjasa dalam hidupku.
"Gak pulang, ya. Minggu kemarin sudah pulang." Mas Baja mengambil alih pembicaraan. Aku belum juga mengutarakan niatku. "Loh, kopinya mana ini. Malah belum jadi." Ia sadar saat kopi hitam belum tersaji.
"Maaf, Mas. Aku lupa."
"Haish, payah." Aku dengan cepat membuatkan kopi untuknya. Mengaduk dan memastikan sesuai selera.
"Hape butut mana, Mas?" tanyaku hati-hati. "Ada pulsa gak?"
"Gak tahu di mana. Sana cari sendiri. Sebenarnya semalam Bapak juga sudah kaish kabar kalau Pakde meninggal. Kamu keburu tidur."
"Jam berapa, Mas?" tanyaku tak tahu perihal kabar itu.
"Satu dini hari," jawab Mas Baja seraya menyeruput kopinya.
***
Dengan cepat aku mencari ponsel butut Mas Baja. Hanya ponsel itu yang bisa menghubungkan panggilan dengan Bapak. Aku meneleponnya dan dijawab oleh Bapak.
Pakde meninggal.
"Ya, Pak. Amira sudah dengar, tadi diWA sama Ibu."
Kamu pulang, kan? Dulu Bude sering bantu kuliah, kamu lho.
Bapak langsung menodongku dengan pertanyaan itu. Jujur aku ingin pulang. Jujur aku ingin memberi penghormatan terakhir untuk beliau. Namun, respon Mas Baja kurang meyakinkan.
"Belum tahu, Pak. Nanti Amira pikir dulu. Karena minggu kemarin baru pulang. Mas Baja juga baru ijin kerja," ucapku pelan.
Ya sudah terserah kamu saja. Mau bagaimana lagi, kalau tidak sempat.
Panggilan suara terputus. Bapak menutupnya. Aku tertunduk lara. Tergambar jelas wajah keluarga Pakde dan Bude yang dulu kerap memberi uang saku untukku. Terbayang jelas kasih sayang mereka saat aku benar-benar membutuhkan. Tanpa terasa air mata menetes. Membuatku tak mampu menyembunyikan kesedihan ini. Selain itu hatiku juga bergemuruh. Karena aku tahu Mas Baja tidak mungkin mengantarku, dan tidak mungkin mengijinkanku pulanh sendirian.
Entah setan apa yang merasuki tubuhku saat itu juga. Aku mengeluarkan unek-unek atau kegundahan hati yang selama ini kupendam sendiri.
"Pokoknya aku mau balik kampung, Mas. Mau cari kerja di sana. Biar bisa dekat dengan keluarga," ujarku sambil berjalan ke dapur. Aku mulai meraih wajan untuk menyiapkan sarapan. Mas Baja yang tadi sedang menyeruput kopi hanya diam. Ia sepertinya malas menimpali kata-kataku. "Coba kita punya mobil, ya, Mas. Punya banyak uang bisa langsung pulang. Sayang kita harus memikirkan banyak hal dulu sebelum memutuskan untuk pergi." Jujur aku sangat ingin kembali ke desa. Bekerja dekat dengan keluarga.
Mas Baja tetap diam saja. Ia fokus menyaksikan siaran televisi sembari menghabiskan kopi. Karena kesal aku membuat suara suara dari wajan dan solet yang beradu. Kulihat sekilas Mas Baja yang asyik dengan ponselnya. Entah ia melakukan chatting dengan siapa.
Mas Baja tak membuka obrolan tambahan. Ia masih ayik dengan gawainya. Aku yang merasa diabaikan pun menghentikan aktivitas memasak. Kumatikan kompor dua tungku itu lalu beranjak ke kamar depan. Putri kami sudah bangun. Ia asyik dengan mainannya.
"Ibu kenapa? Sedih?" tanyanya saat melihat setetes air lolos dari mataku. Aku pun menggeleng. "Jangan sedih, Bu. Sini Akila peluk," ucapnya dengan merentangkan kedua tangan. Aku pun tak sanggup menahan rasa sedih itu. Dengan cepat kuhamburkan tubuh pada peluknya.
"Doain Ibu, Kak. Doain Ibu bisa dapat kerja di desa." Tangan Akila mengusap punggungku lembut.
Selesai berpelukan dengan Akila, aku menyeka air mata. Tak bisa kubayangkan jika tak ada dia di rumah ini. Sudah pasti hari-hari akan terasa sangat menyesakkan. Gawai yang tadi teronggok di salah satu sisi ranjang Akila kulihat kembali. Dengan cepat menyentuh benda pipih itu saat aplikasi pesan menampilkan adanya pesan baru.
[Maksudnya apa, Nduk? Kenapa tiap ada masalah Ibu selalu dibawa-bawa?]
Pesan berikutnya adalah tentang screen shoot percakapan mereka. Ibu dan Mas Baja dengan rentetan kalimat panjang. Tanpa berpikir panjang aku langsung membalas pesan Ibu. Tidak terima dengan apa yang disampaikan Mas Baja. Aku pun bangkit dari posisi duduk seraya melangkah menuju ruang televisi.
"Mas, kamu apa-apaan? Kenapa WA Ibu segala?" Sungguh aku paling benci saat Mas Baja membeberkan rahasia rumah tangga kami. Ekspresinya tetap santai seolah tidak ada hal yang membuatku marah.
"Mas! Bisa gak kalau ada masalah sedikit, gak bawa-bawa soal itu. Gak perlu bahas masalah yang sama!"
"Setiap kali kamu pingin pulang pasti kamu nangis. Lihat, bahkan sampai seperti ini. Marah-marah, ngomel gak jelas. Aku malas dan benci melihatmu yang lemah. Kamu masih ingin kembali sama masa lalumu itu, 'kan? Iya?"