19. Ironi

1216 Kata

“Ibu kenapa nangis?” Akila melepaskan pelukannya. Ia menekuni wajah sayuku. “Nggak, Sayang, Ibu gak nangis,” ucapku menutupi. Meski mata tetap menjelaskan keadaan yang sebenarnya. “Itu, Ibu lagi nangis. Ibu sedih?” Tangan mungilnya mengusap setetes air yang telanjur jatuh hingga pipi. Semburat senyum manisnya terpancar. Mencoba menghiburku yang menurutnya tengah dirundung kesedihan. Kugenggam lembut tangan mungilnya, lalu mengecup dengan penuh rasa sayang. “Makasih, Nak. Makasih,” ucapku pelan yang dibalas anggukan olehnya. Kerjapan mata kejoranya juga berbinar. Rasanya hidup ini sempurna saat Akila berada dekat seperti ini. Tiada gundah serta resah yang kerap menghantui. Semua berganti kebahagiaan diri. Gadis kecilku terus tersenyum. Ia tahu betul cara menghadapi dunia yang kejam. De

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN