Part 23 : Dua Pilihan Berat

1542 Kata
Abbas tak memedulikan Arafan sama sekali. Ia terus melaju di jalan tol Tangerang- Jakarta. Abbas bisa menebak akan seperti apa skenario yang dibuat Briyan dan Daisha. Sudah pasti keduanya akan meminta Arafan untuk bertanggungjawab. Sebelum hal itu terjadi lebih baik Abbas mengantisipasinya sendiri. “Aku harus ke kantor, Bas. Gak ada waktu buat ngladenin kamu. Saham gue anjlok.” Arafan memegang pelipis. Berita viral itu membuat semuanya semakin kacau. “Siapa yang kamu utus di sana? Kita harus bahas hal yang lebih penting dulu.” Tanpa menoleh Abbas menanggapi ucapan Arafan. “Dimas, Anita sama yang lainnya. Tapi yang paling paham, ya, Dimas.” “Suruh dia nunggu kita dulu. Jangan mengiyakan apa pun penawaran yang diusulkan dari pihak Daisha.” Arafan menoleh. Mengamati air wajah sahabatnya itu. “Penawaran?” Abbas mengangguk. Ia melihat ke arah Arafan sebentar. “Kamu bahkan gak kepikiran ke sana bukan? Gak pernah ngira kalau bisa aja kamu diminta nikahin Daisha karena berita itu?” Kata-kata Abbas meluncur dengan deras. Cepat serta menyentak kesadaran Arafan El-Malik. “Parah kamu, Fan. Cepet telepon Dimas!” Tanpa menunggu sampai dua kali Arafan menghubungi Dimas. Mengabarkan perihal kemungkinan yang akan terjadi di rapat dewan direksi kali ini. Jika benar harus demikian ia harus menolak. “Kecepatan penuh, Bas!” ujar Arafan begitu mendapat respons dari Dimas. Di kantor utama El-Malik Company sudah ada banyak wartawan dengan berbagai macam kamera. Mereka jelas akan memburu Arafan yang merupakan aktor utama dalam berita viral tersebut. “Ini gila, Bas. Aku gak mungkin turun.” Arafan ciut nyali begitu melihat kerumunan wartawan itu. “Kalau kamu bener, gak perlu takut begitu. Dengan kamu gak turun artinya kamu mengakui apa yang diberitakan media.” Abbas membuka pintu mobil. Melangkah maju menghadapi para wartawan itu. Semua mata tertuju padanya. Moncong kamera juga microfon satu per satu diarahkan kepadanya. Abbas menatap ke dalam mobil Syara di mana Arafan justru meringkuk di bawah. “Siapa anda? Apa anda perwakilan dari perusahaan Singapura itu?” tanya salah satu wartawan yang berada paling depan. Abbas melirik sekilas. Tidak berniat menanggapi. “Apa hubungan anda dengan Pak Arafan? Bagaimana bisa anda datang bersama?” Para wartawan jelas tidak bodoh. Mereka bisa membaca pergerakan Abbas serta Arafan. Semua juga tahu kalau pimpinan perusahaan itu hanya berusaha menghindar. Abbas kembali menoleh. Berharap betul Arafan berani muncul. “Itu Pak Arafan mau turun. Ayo kita ke sana.” “Ayo, ayo, ayo!” Microfon serta kamera beralih pada sosok Arafan yang akhirnya turun dari mobil itu. Ia mengangkat tangannya. Meminta agar tidak ada yang bertanya. Laki-laki itu juga berusaha terus berjalan sembari menghindari kerumunan. “Nanti akan ada konferensi press resmi. Kalian tunggu saja,” ucapnya seraya berjalan lebih cepat. Menyusul langkah Abbas yang sudah hampir masuk ke gedung utama. “Tunggu, Bas!” seru Arafan seraya berlari. Para wartawan masih belum puas. Mereka berusaha merangsek masuk ke dalam gedung. Namun, petugas keamanan sigap menghadang. Arafan menoleh sekilas. Ia bersyukur bisa menghindari mala petaka akibat serangan wartawan tadi. “Lantai dua tiga,” ujar Arafan saat Abbas hendak menekan tombol lift. Ruang rapat di lantai itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang. Mereka sudah pasti datang untuk meminta kejelasan. Apabila saham perusahaan terus bergerak turun, merekalah yang paling dirugikan. Arafan mengusap wajahnya kasar. Ia berbelok menuju ruang CEO perusahaan di mana sekarang ditempati oleh Dimas. Arafan tidak bisa asal datang tanpa persiapan. Ia harus tahu betul apa yang akan dibahas di sana. “Datang juga, Fan,” ucap Dimas begitu melihat Arafan membuka pintu. “Gimana? Apa yang harus gue siapin?” “Wait, Abbas?” Dimas menangkap sosok sahabat lamanya di belakang tubuh Arafan. Membuatnya meguntai tanya. “Kita diskusi dulu,” ujar Abbas menanggapi tatapan keheranan dari Dimas. Ia mendudukan diri di sofa khusus yang disediakan di ruangan itu. “Oke. Aku ambil datanya dulu.” Dimas meraih ipad miliknya serta berkas-berkas yang disiapkan Anita. Ia duduk di kursi single dan menunjukkan berkas tersebut pada Abbas. “Sengaja dibuat turun begitu?” “Ya. Bahkan hampir minus. Berita itu muncul di Indo sejak kemarin pagi. Di Singapur mungkin baru hari ini. Seperti sengaja dibuat sampai detailnya.” Dimas menaik turunkan trend saham milik El-Manik Company juga Rajandra Corp yang menukik ke nilai terbawah selama mereka berdiri. “Paling besar ke mana?” tanya Abbas lugas. Ini bukan hal baru baginya. Saat masih di Singapur, kadang Pak Rajandra mendiskusikan masalah semacam ini dengan dirinya. “Daisha hotel sama El.com.” “Bentar, bentar. Kalian lagi bahas saham perusahaan? Tanpa ngajak ngomong aku?” Arafan tentu tak suka dengan sikap Abbas. Mengingat dialah pendiri El-Malik Company yang dulu sempat berjaya pada masanya. Abbas tak peduli. Ia tetap fokus pada angka-angka dan perhitungan terburuk yang mungkin bisa terjadi. “Gabungan punya kita total berapa?” tanyanya pada Dimas. “Empat puluh. Arafan hanya punya dua puluh. Punyaku tidak masuk dalam dua cabang itu.” “Dim, loe ngomong apa? Dia nanam saham di kita?” Dimas menatap jengah pada Arafan. Akhir-akhir ini sahabatnya itu memang tidak pernah fokus saat hanya sibuk berkencan dengan Syara. Bahkan saat perusahaan hampir gagal bayar masalah utang Arafan tak bisa dihubungi. “Ya. Dia yang memberi kita pinjaman terkahir kalinya. Aku gak mungkin minta bantuan Pak Rajandra.” Sontak ucapan Dimas membuat Arafan geram. ia mengepalkan tangan dan bersiap meninju sahabatnya itu. Namun, Abbas berhasil menahannya. “Bukan waktu yang tepat untuk bertengkat. Sekarang apa yang akan kamu lakukan. Pasti direksi akan memintamu menikahi Daisha. Bertanggungjawab atas nama baik mereka.” Abbas tentu tahu jalan pikiran Briyan dan Daisha. Sejak awal perempuan itu memang menginginkan Arafan masuk dalam kehidupannya. Bagi Daisha, Arafanlah yang telah menyelamatkan hidupnya. “Maksud loe apa, Bas? Kalau loe ada masalah pribadi sama gue gak usah bawa-bawa ke sini. Urusan Syara kita bahas nanti. Urusan perusahaan loe gak usah ikut campur!” Seperti kehilangan arah Arafan terus mempermasalahkan hal remeh yang bagi Abbas justru tidak perlu dibahas. Arafan tak tahu apa-apa. “Gue tahu semua yang gak loe tahu. Gue tahu dengan jelas apa yang mereka lakukan ke loe. Sekarang kalau direksi ndesak loe buat nikahin Daisha tolak mentah-mentah permintaan itu. Ingat, loe punya istri dan anak yang butuh loe.” Abbas mengultimatum Arafan yang masih belum paham. “Kenapa gue harus nikahin Daisha? Apa hubungannya, Bas?” Dimas menggeleng. Tak menyangka Arafan sedangkal itu pemikirannya. Ia saja yang hanya mengamati bisa dengan jelas menyimpulkan kalau Daisha ada rasa dengannya. Serta Pak Rajandra berharap ia bisa menjadi menantunya. “Loe ngapain aja di hotel sama dia, Fan? Loe gak ngerasa perlu tanggungjawab?” tanyanya meremehkan. “Gila loe, Dim. Percaya sama berita murahan itu?” “Sepak terjang loe soal cewek udah terkenal ke mana-mana, Fan. Kali ini loe gak bisa ngelak lagi. Apalagi ini soal putri pemilik saham terbesar di sini. Loe kira beliau rela anaknya jadi bahan berita?” “Gue gak ngapa-ngapain, Dim, sumpah. Gue dijebak sama mereka.” Arafan masih belum paham masalah yang membelitnya. “Iya, loe emang dijebak. Tapi sayangnya cewek yang kejebak bareng loe bukan cewek main-main. Pilihannya cuma dua, Fan. Nikahin Daisha atau loe rela El-Malik Company jadi Rajandra Group.” Dimas pun tak tahan. Ia menyebut hal yang seharusnya ia rahasiakan. Dewan direksi sudah menyodorkan kedua opsi itu beberapa jam sebelum Arafan datang. Bahkan Pak Rajandra sendiri tak bisa menolak. “Ada yang bisa kita ajak komunikasi gak, Dim? Minimal kita punya lima puluh  buat nolak dua opsi itu.” Dimas terdiam. Ia tidak ingin mengungkapkan juga. Namun, demi kebaikan bersama ia harus membuat semuanya lebih terang. “Ada satu, tapi gue gak yakin bakal mau nyerahin suaranya ke kita atau nggak.” Dimas menatap prihatin pada Arafan. Sahabatnya itu menjadi sangat payah setelah terjerat cinta psikolog yang ia agungkan. “Siapa?” Dimas menyodorkan sebuah nama. Sontak membuat bola mata Abbas membola. Keduanya saling memikirkan cara terbaik untuk membicarakan itu semua padanya. Pintu ruangan itu dibuka dengan cepat oleh Anita. Tergopoh ia menghampiri kedua pimpinannya di ruang tersebut. “Pak Rajandra udah nyampe bandara,” ucapnya tergesa. Sontak Dimas dan Abbas terlonjak. “Yang bener, Nit?” tanya Dimas tak menyangka akan berita itu. “Iya. Gue baru ditelepon sama sekretarisnya.” “Apa lagi ini? Gue gak paham masalahnya. Please kalian jelasin satu-satu,” ucap Arafan frustrasi. Ia memang kehilangan banyak berita tentang perusahaan. “Ini karena loe terlalu fokus sama affair loe sama mantannya Abbas.” Dimas berdiri. Bersiap meninggalkan ruangan itu untuk mengambil langkah awal sebelum rapat dimulai. Ia jelas yang paling pusing di antara dua laki-laki itu. Mengingat posisinya sebagai pimpinan. Arafan sudah membebankan perusahaan padanya. “Gue aja yang jemput, Dim. Gue bisa ngomong baik-baik dulu. Loe fokus urus direksi yang lain.” Abbas ikut berdiri. Ia perlu memastikan sesuatu juga. Setidaknya Pak Rajandra adalah ayah angkatnya. Mereka memiliki kedekatan sendiri. “Damn! Kalian gak nganggap gue sama sekali?!” teriak Arafan. Ia merasa tak dihargai di forum kali ini. Dimas dan Abbas tidak peduli. Mereka berjalan meninggalkan ruangan bersama Anita yang menatap kasihan pada mantan pimpinannya. Arafan kehilangan kata-kata. Ia menjadi yang paling tak berguna di sana. Dengan emosi yang memuncak, ia mengepalkan tangan. Meninju sandaran sofa tempat Abbas duduk. “Awas kalian,” geramnya. *** Arafan gaje banget, ya. Aku gak ngerti kenapa aku buat dia begitu mulu. Hehe. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN