Briyan meraih ponsel yang bergetar di atas nakas. Sejak berhasil membuat berita viral untuk majikannya, ia mengasingkan diri di apartemen pribadinya. Harusnya tak perlu ada rasa ragu saat semua bergulir seperti apa yang ia mau. Namun, anehnya ia justru tidka rela.
Nama satu orang yang sangat ia benci terpampang pada layar. Sebagai bentuk notifikasi bahwa perempuan itu mengirimkan sebuah pesan. Dengan tetap memegang gulungan tembakau yang sudah ia bakar dan isap separuh, jemari kirinya mengetuk pesan itu.
[Kau benar-benar akan membuatku menikah dengannya?]
Semburat senyum Briyan tampakkan. Perempuan itu memang sepolos itu. bahkan setiap hari meminta agar ia bisa membawa laki-laki yang dipuja ke hadapannya.
[Sesuai keinginanmu, Nona. Dengan jatuhnya saham itu, kamu bisa memilikinya seutuhnya.]
Ponsel Briyan kembali bergetar. Kali ini sebuah panggilan masuk dari nona muda kesayangannya. Meski jengah, ia harus menjawab. Sebelumnya ia mematikan ponsel demi mendapat kejernihan pikiran.
“Ya, Nona. Bagaimana?”
Kamu di mana sekarang? Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?Kenapa gak bilang aku dulu?
Terdengar suara panik seorang Daisha Andromeda yang ia sayang. Briyan pun mengulas senyum. Sudah pasti majikannya akan berlagak seperti itu. Seenak dan semau sendiri.
“Saya sedang di luar, Nona. Menghirup udara sebentar. Sebelum keberangkatan kira ke Jakarta.”
Apa maksudmu? Seperti yang dibilang Pak Sutopo? Iya?
Briyan terkekeh. Jelas-jelas itu yang diinginkan oleh Daisha. Akan tetapi, perempuan itu berlagak memanipulasi.
“Selama kita diam saja dan menyimpannya tidak akan ada yang tahu kalau itu hasil pemikiran kita, Nona. Anda hanya perlu menyiapkan diri untuk menjadi Nyonya Arafan El-Malik segera. Dia jelas tak bisa mengelak.
Briyan sudah lebih dulu mendapatkan mandat dari Pak Rajandra. Saat ia ketahuan bersembunyi di bilik lemari kamar terjadinya peristiwa itu. Briyan membeberkan segalanya. Memang sejak awal Daisha menginginkan Arafan.
Memangnya itu bisa terjadi? Apa kamu sudah memastikan?
“Siang ini ayah anda dan pimpinan direksi akan datang ke Jakarta. Memastikan orang yang anda suka menautkan sebuah cincin berlian di jari manis anda. Selamat Nona, anda berhasil merengkuhnya.”
Brian menyesap putung rokok lagi. Berusaha menenangkan pikiran yang tak keruan. Harusnya ia tidak perlu merasa seperti itu. Dengan menempatkan Arafan pada posisi Daisha ia akan lebih mudah melancarkan aksinya.
Awas kalau kau bohong. Aku akan membunuhmu!
Dengan cepat sambungan itu terputus. Daisha selalu mengakhirinya sebelum Briyan menanggapi. Bagi laki-laki yang terlahir memiliki dunia berbeda, Briyan sudah terbiasa. Ia menghabiskan sesapan terakhir lalu menggerus putung rokok itu dalam sebuah asbak bermotif naga. Ponselnya kembali bergetar. Ia melirik sekilas.
[Semua persiapan sudah sesuai rencana. Anda tinggal datang dan menjalankannya.]
Briyan menyeringai lebar. Minuman pendamping yang ia pilih hari ini ia tandaskan. Segera Briyan menyambar kunci mobil dan kembali ke rumah besar yang menjadi tempat pertamanya merasakan bara cinta.
***
Di kamar inap rumah sakit, Hanania tak henti menangis. Bagaimana Arafan dengan sangat mudah kembali meninggalkannya. Bahkan tidak berpamitan secara langsung. Tak hanya sekali Arafan bersikap seperti itu, ini berkali-kali.
Hanania mengingat bagaimana Arafan pernah terlibat dengan mantan sekretarisnya dulu. Arafan yang tak pernah pulang tepat waktu dan selalu sibuk dengan pekerjaan. Hanania bisa memaklumi mengingat waktu itu adalah awal Arafan merintis bisnis. Namun, yang sekarang? Ia tak bisa memikirkan cara lagi untuk memaafkan suaminya itu.
Syara Az-zida? Kekasih rekannya sendiri? Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa? Wajah keduanya melintas di pelupuk mata Hanania. Tergugu perempuan itu atas luka yang ia dera.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu membuatnya terperanjat. Buru-buru ia menyeka wajah namun terlambat. Dua orang yang ia tunggu sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar inap itu.
“Assalamualaikum, Han,” ucap Hening dengan suara penuh semangat. Ia tak sabar melihat cucunya.
Hanania tak langsung menjawab. Dadanya masih sesak karena tangis yang tak berhenti. Ia membelakangi daun pintu berusaha menguasai diri agar terlihat baik-baik saja.
Hening berjalan cepat. Menyadari putrinya hanya terdiam dengan sedikit terdengar sisa sedu sedan. “Kamu kenapa, Han? Ada apa?”
Hanania menggeleng. Ia masih berusaha menahan tangisnya yang justru kian menderas.
“Han, cerita ke Ibu. Ada apa?” Hening sudah berhasil menyingkirkan tangan Hanania yang digunakan untuk menutup wajah.
Hanania terus menggeleng. Ia menatap pedih ibunya. Tanpa perlu diminta perempuan itu pun merengkuh Hanania dalam peluknya. Mendekap erat seraya membiarkan putri pertamanya menuntaskan tangis.
“Mas Arafan, Bu. Mas Arafan,” ucap Hanania pelan.
Hening mengangguk. Ia mengusap kepala Hanania pelan. “Ibu paham. Ibu paham, Nak.”
Hanania tanpa perlu diminta sudah mengerang. Menangisi apa yang terjadi. Sementara Andara berdiri mematung di dekat brangkar kakaknya. Menyaksikan momen pilu yang dulu pernah ia saksikan.
“Buk, lihat,” ujar Andara sebelum mereka bersiap membeli tiket kereta.
“Astaghfirulloh, ini perusahaan Arafan bukan?” tanya Hening saat matanya menangkap headline berita di ponsel Andara.
“Iya, Buk. Mas Arafan terlibat skandal.”
Andara tak terlalu bodoh. Ia sudah bisa membaca dengan baik situasinya. Kakak iparnya mendirikan sebuah perusahaan besar di mana semua lini kehidupannya bisa menjadi sorotan.
“Kakak bagaimana, Bu?”
“Biar ibu yang ngasih tahu. Nanti kita telepon kalau udah di rumah.”
Andara mengangguk. Ia melanjutkan mencari informasi sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan berita itu. Berbagai macam spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berpendapat kedua pasangan yang tertangkap basah di kamar hotel itu harus dinikahkan. Demi menyelamatkan nama besar perusahaan.
Andara tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Hanania. Ia merasa sedih sekaligus prihatin atas kehidupan yang menimpa kakaknya. Ia tak pernah menyangka jika Mas Arafan orang dengan kebaikan seperti itu bisa menyakiti kakaknya. Apa mungkin tangis kakaknya karena berita viral itu?
“Kamu sudah ngomong sama Arafan? Sudah tanya baik-baik, Han?” tanya Hening saat tangis Hanania mulai mereda.
Lagi Hanania hanya menggeleng.
“Belum? Lantas di mana dia sekarang?”
Sejak datang Hening tak mendapati sosok laki-laki itu menyambutnya. Ia kira menantunya itu sedang berada di luar sebentar. Namun, mendapati Hanania menangis seorang diri pasti Arafan sedang pergi.
“Urusan perusahaan,” lirih Hanania. Ia masih nyaman meyandarkan kepala pada perut ibunya.
Hening mendesah. Polemik rumah tangga sang putri lebih rumit dari apa yang ia hadapi dulu. Ia tak bisa serta merta menyarankan perpisahan sebagai opsi terbaik yang harus diambil putrinya.
“Hana gak tahu apa-apa, Buk. Hana bodoh banget.” Kali pertama Hanania mengakui semua yang ia alami selama ini. Ia tak bisa lagi terus berpura semua berjalan seperti apa yang dilihat orang-orang.
Hening tak menanggapi. Ia paham betul seberapa hancur hati putrinya. Hening mengeratkan dekapan. Kembali membiarkan Hanania terbenam dalam kesedihan. Lepas ini ia akan memberikan saran terbaik yang bisa diambil putrinya untuk urusan kehidupan pernikahan.
Hira kecil menggeliat. Memanggil sang ibu dengan tangis nyaring khas bayi baru lahir. Hanania kian nelangsa. Mengingat di antara mereka sudah ada Hira yang masih belum tahu apa-apa.
“Biar aku yang gendong, Kak,” ujar Andara menanggapi tangis keponakannya. Ia berjalan mendekat ke arah box bayi dan menggendong Hira yang wajahnya mulai memerah.
“Wah, wah, ponakan Ante laper, ya? Ante antar ke tempat Mama, ya.” Andara berjalan kembali ke brangkar Hanania sembari menenangkan Hira.
Perlahan Hening mengendurkan pelukan Hanania. Menatap wajah putrinya. Ia tahu betul bagaimana sakitnya dihianati. Hening mengangkat tangan. Menyeka air mata di pipi putrinya.
“Kamu wanita kuat. Terbukti cucu ibu bisa ada di ruangan ini.”
Hanania mengangguk-angguk. Ia berusaha menegarkan diri. Apa yang menimpanya tidak boleh mengubah fokusnya sebagai seorang ibu yang baru melahirkan. Hanania melihat ke arah Andara. Menerima Hira yang baru sebentar berada dalam pangkuannya langsung terdiam.
***
Berhubung lagi bareng sama deadline tuga DUTA, buat hari ini update-nya satu bab dulu ya. Makasih yang udah berkenan baca. Follow akun Ig atau sss Hamira Irrier buat tahu tentang cerita lainku. Thank you