Part 16 : Takdir yang Berbelok Arah

1270 Kata
Halaman belakang rumah kekasihnya menjadi tempat favorit Abbas menghabiskan waktu. Menjadi pengangguran di Jakarta, membuatnya mencari aktivitas yang bisa ia lakukan. Salah satunya menikmati atmosfir dari taman belakang yang dibangun Syara. Dulu, jauh sebelum hari ini, ia pernah membayangkan menyusun berbagai macam bunga dalam pot-pot yang mereka beli. Juga membuat ayunan dan gazebo untuk keluarga kecil mereka. Namun, semua sudah berbeda. Memulai hubungan kembali setelah terjeda beberapa waktu akan menimbulkan perasaan berbeda. Perasaan lain yang membuat cinta mereka tak lagi sama. Kembali Abbas mengamati sebuah foto yang mengusik pikirannya. Membuat separuh hatinya kian lara. “Ada apa, Yank? Kenapa wajah kamu gelisah begitu?” tanya Syara saat mendapati Abbas tengah duduk sendirian di halaman belakang. “Gak apa-apa, aku baik-baik aja.” Lagi, Abbas memasukkan ponselnya ke saku celana dengan sangat cepat. Seolah takut Syara mengetahuinya. “Jangan bercanda. Dua hari ini aku perhatikan kamu begitu terus.” Syara mencoba mendesak Abbas. Ia sudah tidak nyaman dengan perubahan sikap Abbas. Laki-laki bertubuh kekar itu tampak berpikir. Ia ingin semua segera jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Namun, ia belum berani. Takut Syara justru merespons berlebihan. Abbas pun bangkit dari posisi duduknya. Ia sudah tidak perlu lagi mengamati foto tadi. Lebih baik ia mencari tahu sendiri. “Kamu ada waktu tidak?” tanya Abbas seraya mengusap lengan Syara. Sebuah pengalihan agar kekasihnya itu tidak marah karena dia tidak jujur. “Aku punya janji banyak sama pasien. Sorry,” jawab Syara. Wajah berparas ayu itu tampak kecewa. “Its okay. Kamu bisa fokuskan diri buat konsultasi dengan pasien. Aku akan cari kesibukan dulu di luar. Boleh pinjam mobil?” tanya Abbas. Ia memang tak membawa mobilnya. “Of course, but, antar aku dulu.” Sebuah senyum Syara guratkan di wajahnya. Abbas mengangguk dengan rasa syukur luar biasa. Abbas melambaikan tangan pada Syara yang sudah turun dari mobil. Psikolog itu sangat manis dengan celana panjang hitam dan atasan baju yang ia masukkan. Rambutnya yang kini sudah ia ubah mengombak di bagian bawah, semakin menunjukkan kematangan usianya. Harusnya ia sudah menimang putra atau putri pada usia itu. Namun, ia tak berani membahas pernikahan lagi dengan Abbas. Baginya, Abbas kembali saja sudah sangat cukup. Ia tak mau serakah. Senyum termanis ia berikan pada kekasihnya yang akan mencari kesibukan entah ke mana. “Jangan lupa kasih kabar, oke? Aku gak mau kamu ngilang lagi.” Syara masih berdiri dengan sedikit menunduk ke kaca mobil. “Oke, pasti aku beritahu. Dah, sana masuk. Yang fokus, ya,” ucap Abbas seraya mengangguk. Ia bersiap melajukan mobilnya setelah menerima pesan yang ia nantikan. Abbas pun meninggalkan Syara di rumah sakit itu. Sepanjang perjalanan Abbas beripikir keras. Apa hubungannya Briyan dengan Hanania dan Arafan. Kenapa laki-laki itu mengingingkan Hanania juga. Harusnya yang ia inginkan sudah dengan mudah ia dapatkan. Terlebih Abbas tak ada di sana. Ia yang merupakan tembok penghalang sudah meruntuhkan diri agar laki-laki itu berhasil meraih tujuannya. Satu per satu premis Abbas susun. Juga satu per satu adegan dan ekpresi ia siapkan untuk bertemu dengan Hanania. Perempuan yang memiliki sorot mata mirip Daisha. Perempuan dengan sederetan luka yang merenggut keceriannya. Ia kembali mengingat kesalahannya membiarkan Syara pergi. Tidak memberi alasan agar perempuan itu menantinya dulu. Atau minimal memberi ketegasan pada hubungan mereka. Kedekatan Syara dan Arafan juga karenanya. Ia yang mengenalkan kedua orang itu. Andai benar hubungan mereka sangat jauh, bahkan melampaui batas hubungan suami istri, Abbas tak akan bisa berhenti menyalahkan diri. Syara harusnya menjadi tanggung jawabnya. Perempuan itu harusnya sudah resmi menjadi istrinya. Namun, ia membuat semua rencana indah berantakan. Membuat takdir berbelok arah, termasuk takdir Hanania dan Arafan. Dengan cepat Abbas mengetikan sebuah pesan kembali pada nomor Hanania. [Aku akan segera datang. Tunggu sebentar.] Dengan tetap berkonsentrasi pada kemudinya, Abbas membayangkan wajah Hanania yang pasti sedang dirundung duka karena ulah Syara dan Arafan. *** Setelah memastikan rumah sakit yang akan ia tuju tidak keliru, Abbas memberhentikan mobilnya. Memarkirkan di paving lantai parkir dan bergegas turun. Tak lupa ia membawa sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat atas kelahiran anak Arafan dan Hanania. Sejak pertama melihat perempuan itu, ia seperti memiliki kedekatan sendiri yang sulit didefinisikan. Tatapan kosong Hanania serta gerak gerik tubuhnya yang tampak seperti orang bingung, membuatnya seperti melihat dirinya sendiri di waktu dulu. Abbas menenteng buket bunga itu menuju kamar inap yang dituliskan Hanania pada pesan whatsappnya. Tak ada keriuhan saat ia sampai di depan pintu kamar itu. Biasanya jika ada yang melahirkan beberapa kerabat akan datang. Namun, di kamar Hanania tampak sangat sepi. Abbas mengetuk pintu itu terlebih dahulu. Ia mendorong kenop ke depan. “Hanania?” tanya Abbas seraya menampakkan dirinya dari balik pintu. Hanania yang tengah duduk sendirian menatap ragu pria bertubuh kekar itu. “Abbas?” tanya Hanania menyadari wajah Abbas mirip dengan foto profil orang yang tadi sempat berkirim pesan dengannya. Abbas pun mengangguk. Ia berjalan maju ke arah ranjang Hanania. “Selamat atas kelahiran putri pertamanya, Han,” ucap Abbas. Buket bunga yang tadi ia bawa ia serahkan segera. “Terima kasih,” jawab Hanania seraya menerima buket buka tersebut. “Kamu sendirian?” tanya Abbas sembari melihat ke sekeliling. Hanya ada bayi Hanania yang tertidur di box bayi. “Ada teman saya, tapi sedang keluar. Suami saya sedang ada kunjungan bisnis ke Singapura, sedangkan keluarga saya jauh semua.” Tak mau tampak menyedihkan hanya seorang diri di ruang itu, Hanania menceritakan kondisinya. “Ah, ya. Saya paham.” Abbas tak mau membuat Hanania tersinggung. Ia bersiap melangkah ke box bayi yang berada tak jauh dari jangkauan Hanania. “Apa tujuan anda ke sini? Kenapa anda datang?” tanya Hanania. Dalam kondisi sendirian, membuatnya meningkatkan kewaspadaan. Abbas yang sudah berniat menyapa bayi itu pun urung. Ia lebih memilih menatap wajah ibu bayi tersebut. “Kamu tidak perlu mencurigaiku. Kita pernah bertemu sebelumnya meski tidak lama. Tujuanku tak lain tak bukan untuk meluruskan kesalahpahaman yang disebabkan oleh sebuah foto. Kebetulan foto tersebut berkaitan juga dengan calon istriku.” Kali ini Hanania ingat wajah perempuan yang berpose mesra dengan Arafan. Ya. Kenalan mereka di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Rumah sakit di mana Arafan mengajaknya untuk melakukan sesi konsultasi atas masalah mereka. “Aku tidak mau pernikahanku yang sudah tertunda beberapa waktu gagal hanya karena tersebarnya foto rekayasa itu. Kebetulan saat kejadian aku sedang berada di Singapur.” Abbas mulai menyusun argumen agar Hanania percaya. Ia ingin melindungi semua orang yang ia kenal dengan baik. “Maksud anda foto perempuan dan suami saya?” Hania mengingat dua foto yang dikirimkan oleh nomor yang tak dikenal itu. Ia tidak mau membuang waktu. Ingin mengetahui segera motif Abbas yang sebenarnya. Abbas mengangguk. “Ya. Foto yang kamu teruskan.” “Saya seribu persen percaya dengan suami saya, Dok. Jadi, anda tidak perlu khawatir.” Di depan Abbas yang seorang dokter kejiwaan Hanania mencoba berbohong. Ia berpura-pura mampu menerima itu semua tanpa guncangan berarti. Meski nampak jelas di raut wajahnya perasaan hancur berkeping itu. Abbas tersenyum tipis. Entah mengapa wajah Hanania sangat familiar baginya. Pertemuan mereka dulu saat tak sengaja bahkan meninggalkan kesan berarti. Ia seperti memiliki kedekatan sendiri. “Aku bersyukur kalau kamu berpikiran seperti itu. Semoga kejadian foto itu, tidak membuat hubungan kita semua berantakan. Aku tidak mau pernikahanku gagal, serta hubungan rumah tangga kalian terguncang. Anggap semua ini hanyalah kesalahpahaman.” Abbas berusaha melindungi semuanya. Syara yang ia cinta serta persahabatannya dengan Arafan. Hanania menunduk dalam. Ia merasa tidak perlu meluruskan apa-apa. Baginya saat ini kabar dari Arafan jauh lebih penting. “Aku harap kamu tidak tertarik serta penasaran siapa pengirim foto itu. Karena aku yang akan memastikannya dulu. Dia juga menerorku dengan foto yang sama.” Hanania tercengang. Bagaimana bisa itu terjadi? Saingan bisnis? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN