Part 15 : Senyum di atas Luka

1666 Kata
Tepat di hari yang telah ditentukan di rumah sakit Siloam Karawaci, Hanania masuk ke ruang operasi seorang diri. Tanpa Arafan di sampingnya. Ia pasrah terbaring saat perawat mendorongnya. Mata hazelnya menatap langit-langit koridor rumah sakit. Hingga malam hari suaminya itu tak kunjung memberi kabar. Entah karena lupa atau memang sengaja. Arafan kembali melupakan istrinya, bahkan calon anak mereka. Hanania menepis air mata di sudut mata. Ia tak boleh bersedih saat akan menyambut kelahiran anak pertama. Bagaimanapun nanti, ia harus menjadi sosok ibu tangguh yang akan melindungi anaknya. Tak peduli seperti apa luka hati yang ia miliki. Perawat memberikan senyum pada Hanania saat mereka sampai di ruang operasi. Prosedur anastesi dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahu perempuan itu. Ia bersiap dibedah perutnya demi keluarnya buah hati bukti cintanya pada Arafan. Sejak awal kehamilan perempuan itu memilih tidak melahirkan dengan jalan normal. Pada kondisi dirinya setengah sadar, masa indah dalam kehidupannya terulang. Masa-masa termanis dulu saat mereka saling mencintai dan masih ada mertuanya yang baik hati. *** “Nanti kalau punya anak mau dikasih nama siapa?” tanya mertuanya saat Hanania berkunjung ke rumah di komplek harapan kita kota Tangerang. Pertanyaan itu sontak membuat Hanania menatap heran pada Arafan. "Anak?" tanyanya dalam hati. Melakukan hubungan badan saja belum mereka lakukan. Namun, mertuanya sudah berharap mereka memiliki anak. Hanania tak bisa menyembunyikan kekhawatiran itu dari wajahnya. “Hira, Mah,” jawab Arafan dengan penuh rasa bangga. Ia tahu betul istrinya menyimpan gundah atas pertanyaan mamanya. “Cewek? Memangnya yakin anaknya bakal cewek?” tanya Karti lagi. Ia sedikit menambahkan nada candaan juga senyum meragukan. “Arafan pinginnya anak cewek, Mah. Gak mau cowok,” jawabnya seraya memegang lengan Hanania. “Biar cantik kaya ibunya,” imbuhnya dengan menatap mesra wajah Hanania. Mendengar kalimat itu membuat rasa penyesalan muncul di hati Hanania. Selama ini ia sering mengabaikan suaminya bahkan mencampakkan. Ia tidak melakukan tugas maksimal sebagai seorang istri. Terkadang justru sibuk dengan dunianya sendiri. Perempuan itu terus mengunci diri hingga mereka tak bisa melakukan hal yang dilakukan pasangan suami istri pada umumnya. Ia benar-benar tak bisa memberikan seutuhnya cinta yang ia punya. Bayang-bayang akan orang tuanya yang begitu mesra namun rumah tangganya kandas, selalu membuatnya takut memiliki anak. Ia takut anaknya nanti merasakan hal yang sama dengan apa yang dialaminya. Untuk itu ia selalu gagal menyerahkan tubuhnya meski mereka sudah terikat pernikahan. “Kalau Hanania, gimana? Mau anak cewek atau cowok?” tanya Bu Karti saat menyadari Hanania melamun. Wajah Hanania tampak bingung. Ia belum memikirkan ke arah itu. Meski begitu, mulutnya tetap berusaha menjawab. “Cowok, Mah. Biar beda ama pilihan Mas Arafan.” Dengan terpaksa perempuan itu mengguratkan senyum di wajahnya. Arafan tahu jawaban istrinya hanyalah basa basi untuk menghormati mamanya. Ia juga paham Hanania tak pernah terbersit memikirkan kehadiran seorang putra atau putri. Sejak awal mereka menikah, Hanania tak bisa menerima cintanya. *** Perlahan kesadaran Hanania kembali. Ia yang baru saja mengulang memori tentang percakapannya dengan mendiang mertuanya, tampak tersedu. Dokter sudah selesai melakukan tugasnya. Hanania mendengar sayup suara bayi yang hadir di ruang operasi. Ia tahu itu buah hatinya. Ia tahu itu kabar membahagiakan yang harusnya mereka rasakan. Namun, Hanania justru merasakan hal yang berbeda. Bahagia yang ia punya seolah sirna saat kembali mengingat kesalahan Arafan. Hanania terus menangis. Perasaan yang membersamainya saat melahirkan terlampau berat, membuatnya sulit mengendalikan diri. “Ibu Hanania, ini putrinya cantik sekali,” ucap perawat seraya mendekatkan bayi itu pada Hanania. Dengan perasaan haru Hanania mencium putrinya. Setelah membereskan semua sesi operasi, Hanania dibawa keluar oleh tim dokter dan perawat menuju ruang inap. Bayinya sudah lebih dulu berada di kamar itu. Di dalam box yang membuatnya sangat lucu. Hanania masih merasa sakit di bagian perut. Ia juga merasakan sakit di hatinya. Kamar inap itu terasa begitu sepi. Tak ada balon penyambutan, bunga atau kado untuknya. Tak ada kerabat juga yang datang menyapa. Hanya ada Hanania dan putrinya. Perawat membantu Hanania memangku bayi itu. Ia juga memberikan cairan kehidupan pertama bagi si bayi. Hanania berusaha memberikan secara langsung. “Pelan-pelan, Bu. Nanti terbiasa kalau sudah lama.” Hanania menerima bayinya serta saran dari perawat. Dengan memandangi bayi itu, ia kembali menangis. Meski tak sederas biasanya. “Welcome to the world, dear,” ucapnya pelan. Pintu kamar inap itu berderit. Seorang perempuan datang membawa buket bunga. Dari bentuk tubuhnya, Hanania sudah tahu siapa perempuan itu. “Hanania, selamat!” ucap Nurma seraya mendekat. Melihat sahabatnya tengah memangku bayinya membuat ia ingin segera menimang bayi juga. “Makasih, Kak,” ucap Hanania sembari menerima pelukan Nurma. “Aaaa lucu banget bayinya. Kenalan sama Tante ya, Nak.” Nurma memandang gemas bayi cantik itu. “Tante? Bude kali.” Hanania meralat kata-kata Nurma. Ia bahkan lebih muda empat tahun. “Aih, biar aku gak tua banget, Nin. Masa udah jadi Bude, aja,” kilah Nurma. Ia tak henti menatap bayi Hanania. “Mirip Arafan banget, ya, Ne, mukanya. Kaya potokopian.” Hanania pun memerhatikan wajah putrinya. Dari mulai mata, hidung hingga bibir. Semua mirip Arafan. Siapa saja yang melihat bayi itu akan langsung tahu jika itu keturunan Arafan. Tak terasa bulir bening menetes. Membuatnya tak bisa menahan kesedihan. Hanania pun menengadah, takut air matanya mengenai wajah putri cantiknya. “Why? Are you okay?” tanya Nurma menangkap kegelisahan sahabatnya. Hanania mengangguk. Ia meyakinkan diri kalau baik-baik saja. “Yang benar, Han? Ada masalah?” Nurma ikut merasa khawatir. “Fine, aku fine,” jawab Hanania. Ia tak bisa menghentikan air matanya meski sekuat hati menghalau. “Arafan pergi?” tanya Nurma saat menyadari tak ada sosok laki-laki itu. Harusnya Arafan mendampingi Hanania saat ini. Hanania menoleh ke arah kanan. Mencoba menghalau keresahan yang kian menyerang. Ia tak bisa menutupi lagi saat di hadapan Niurma. Sahabatnya itu tahu betul tentang kisahnya. Nurma yang juga sadar akan kejanggalan di ruang inap itu, memeluk erat Hanania. Mencoba memberi kekuatan pada sahabatnya. Tanpa perlu diungkapkan, Nurma juga tahu masalah Arafan. Pasti berkaitan dengan wanita lain. “Kamu sabar, Na. Kamu yang ikhlas,” ucap Nurma seraya mengusap lengan sahabatnya. “Aku percaya kamu bisa. Aku yakin kamu mampu melewati ini semua.” Hanania tergugu. Ia tak tahu apakah ucapan Nurma benar atau keliru. Tentang perempuan sebelumnya saja belum selesai, sudah ada berita lagi yang lebih menyayat hati. Hanania tak bisa lagi membuat pilihan. Dulu ia bisa mengabaikan pernikahan mereka. Ia mampu mengambil opsi berpisah. Namun, saat ini sudah ada putrinya yang ia ikrarkan tak akan mengalami hal sama dengan dirinya. *** Nurma terus mengamati wajah putri Hanania yang mirip Arafan. Ia juga memotong buah pir dan apel yang ia bawa untuk sahabatnya. Ia yang sangat mengharapkan kehadiran buah hati dan belum bisa sedikit merasa iri. Namun, dengan cepat ia menepis pikiran itu. Hanania adalah sahabatnya, ia harus ikut bahagia. Kembali Hanania menekuni ponselnya. Setelah putrinya terlelap di box bayi ia tak bisa untuk tidak menggunakan benda itu. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang belum terjawab. Ia juga menantikan pesan atau telepon dari suaminya. Minimal menanyakan apakah ia baik-baik saja atau tidak. [Apa kamu di rumah?] Hanania tak menyimpan nomor itu. Namun, chat yang tersisa membuatnya langsung paham. [Tidak, saya tidak di rumah.] Dengan cepat Hanania membalasnya. [Di mana?] Hanania sedikit ragu. Ia gamang untuk jujur atau mengabaikan Abbas begitu saja. “Nih, Han, buahnya.” Nurma menyerahkan potongan buah itu. Hanania menerimanya. “Makasih.” “Ah, ya ngomong-ngomong kapan Ibu sama Adik kamu datang?” Nurma memberikan potongan buah itu lagi. Hanania menerimanya lantas mengunyah dengan pelan. Sensasi segar muncul di mulutnya. “Aku belum tahu, Kak. Tapi Mas Arafan dah minta tolong sama mereka buat datang kayaknya.” Hanania melanjutkan melihat ponselnya. “Siapa? Arafan?” tanya Nurma penasaran. Hanania menggeleng. “Bahkan Mas Arafan belum ngasih kabar. Mungkin karena kebiasaan kami yang jarang sekali memberitahukan aktivitas masing-masing saat berjauhan.” Wajah Hanania berubah nelangsa. “Kamu aja dulu yang nanyain. Siapa tahu Arafan juga nunggu.” Nurma memberi saran terbaik untuk sahabatnya. Kebisuan yang terjadi antara Hanania dan Arafan karena mereka sama-sama tidak berani memulai dulu. Meski mereka sudah menikah. Menghargai privasi pasangan dan mengutamakan profesionalitas karier, justru membuat mereka terjebak. “Aku takut ganggu, Kak.” Nurma pun tersenyum. “Hana, Hana. Wajar kali gangguin suami. Kecuali kalau itu suami orang!” tegas Nurma. Suami orang? Suami siapa yang dimaksud? Bahkan suaminya sendiri sedang diganggu oleh banyak wanita. Seketika Hanania membawa perasaan pada omongan Nurma. Pikirannya kembali tertuju pada foto yang dikirimkan oleh orang yang tak dikenal. Hanania pun menunduk. Ia menatap hampa ponsel miliknya. [Aku sudah ada di depan apartemen kamu dan Arafan. Kalian sudah pindah?] Abbas kembali mengirimkan pesan. Membuat Hanania memicingkan mata. [Ada urusan apa sampai mencari sampai seperti itu?] “Siapa?” Nurma menyikut lengan Hanania. Ia ikut membaca pesan itu juga. “Ya ampun, Kak. Kok malah ngintip?” tanya Hanania tak terima. “Lah, kamu sendiri gak ngelarang.” Nurma tak mau disalahkan. “Entah. Aku juga tak paham ini dari siapa,” jawab Hanania berpura. Namun, ia mengirimkan share lokasinya pada nomor Abbas. Siapa tahu ada titik temu saat mereka bertemu. Terlebih Syara adalah kekasih dokter itu. Nurma memerhatikan wajah sahabatnya. Merasa prihatin atas kondisi Hanania yang tampak sebatan kara. Ia harus berpamitan pada seegra. Tak bisa menunggu sahabatnya lebih lama di rumah sakit. Ia harus kembali ke Sahabat Belajar untuk bekerja. Beberapa rekan kerja dan Pak Faruq-atasannya tidak tahu kalau Hanania sudah melahirkan. Nurma berencana membawa mereka saat Hanania pulang dari rumah sakit. “Sorry, Han. Aku harus ngantor,” ucapnya dengan berat hati. Nurma masih ingin  melihat putri cantik Hanania yang membuat hatinya menghangat. Hanania mengangguk. Kalau boleh memaksa, ia pun ingin Nurma tetap tinggal. Menemani serta berbagi perasaan sepi. Namun, hal itu tentu tidak bisa terjadi. “Ya, Kak. Makasih udah nyempetin ke sini. Nanti salam buat yang lain.” “Oke, Han. Kamu baik-baik, ya. Kabarin aja si Arafan. Kirimin foto cantik putri kalian yang tadi aku ambil.” Hanania tersenyum. Ia merasa saran itu memang perlu. “Baik, Kak.” “Kalau gitu aku pamit ya,” Nurma merengkuh Hanania dalam peluknya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN