Part 20 : Lingkaran Mengerikan

1706 Kata
Abbas keluar dengan perasaan remuk redam. Mendapati fakta bahwa Syara pernah menaruh hati untuk Arafan membuatnya tak bisa menghalau luka. Mau tulus atau tidak, intinya wanita itu menjadi salah satu sumber masalah keluarga Hanania.  Lagi Abbas memikirkan wajah perempuan itu. Sorot matanya yang selalu penuh kerapuhan, membuatnya merasakan hal yang sama. Hanania seperti dirinya dulu saat belum menjadi bagian dari keluarga Pak Rajandra. Dari lorong rumah sakit itu, Abbas kian merasa perlu mencari tahu. Semua harus selesai secepat mungkin. Kesalahpahaman antara Syara dan keluarga Arafan harus menemukan jalan keluar. Juga tentang kesepakatan untuk menyingkirkan Briyan. Baru saja laki-laki bertubuh tegap itu masuk ke dalam mobilnya, sebuah panggilan masuk menyapanya. Kamu udah baca berita hari ini belum, Bas? tanya Briyan yang melakukan panggilan itu. “Berita apa? Selalu banyak berita yang k****a,” jawab Abbas santai. Briyan terkekeh. Ia tahu Abbas adalah anggota keluarga Pak Rajandra yang paling rajin. Sebentar lagi berita selanjutnya tak akan bisa membuatmu menolak permintaanku. Briyan mengancam Abbas. Ia memang ingin menyingkirkan semua orang yang terlibat dengan Daisha. Tak terkecuali rekan kerjanya itu. “Aku tidak akan gentar. Selamanya akan tetap kukuh pada pendirian.” Tanpa menunggu jawaban dari Briyan, Abbas mengakhiri sambungan. Ia benar-benar ingin Briyan segera lenyap dari kehidupannya. Dengan kecepatan penuh Abbas melaju di jalanan kota Tangerang untuk kembali ke Jakarta. Abbas ingin menuntaskan semua. Kembali mengingat momen pertamanya berjumpa dengan laki-laki bernama Briyan. *** “Pak, apa Bapak yakin akan menerima pria itu?” tanya Abbas pada Pak Rajandra saat mereka me-recrut Briyan. Pak Rajandra pun mengangguk. “Apa pertimbangannya? Dasarnya apa, Pak?” tanyanya lagi masih belum setuju. Tangan Pak Rajandra menunjuk pada d**a bidang milik Abbas. “Saya? Kenapa saya?” Wajah Abbas tampak bingung. Dengan cepat Pak Rajandra mengutarakan kalimatnya lewat bahasa isyarat. Ia yang memang sangat menyayangi Abbas tak mau membiarkan laki-laki bertubuh kekar itu berutang budi. Sudah waktunya Abbas kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan kekasihnya. Sudah saatnya ia menyemai bahagia atas benih-benih kebaikan yang selalu ia tanam. Pak Rajandra tahu betul saat hati dan pemikiran anak angkatnya itu tidak sejalan. Raganya memang utuh berada di Singapura. Namun, hatinya selalu di Jakarta. Bulan bulan itu Abbas lebih banyak diam. Bahkan tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya. Pak Rajandra tidak kuat menyaksikannya. “Tapi, Pak, saya sudah bilang tidak masalah saya terus di sini. Bakti saya untuk Bapak salah satunya dengan merawat Daisha.” Ya. Abbas tahu siapa dirinya. Yatim piatu yang akhirnya punya keluarga berkat Pak Rajandra dan mendiang istrinya. Sontak Pak Rajandra menggeleng. Ia tidak setuju dengan ucapan Abbas. Daisha sudah berangsur pulih dan semakin normal. Daisha sudah bisa hidup kembali asal ada yang mengajarinya. Bagi Pak Rajandra tugas Abbas sudah cukup. “Apa Bapak yakin?” tanya Abbas memastikan. Melihat raut wajah ayah angkatnya yang begitu yakin akan kebangkitan kembali putrinya. Bahkan Pak Rajandra ingin Daisha segera menemukan cinta kembali. “Bapak mampu menjaga putri Ibu?” tanya Abbas untuk kesekian kalinya. Ia tahu Pak Rajandra punya segalanya. Namun, mengurus Daisha yang seperti itu jelas membuatnya berat. Kedua lelaki itu saling diam. Mereka tidak menemukan kesepahaman. Keputusan terberat yang harus diambil oleh seorang laki-laki. Mengalah untuk kebahagiaan orang terdekatnya. “Bapak mengizinkan? Bapak ikhlas aku pergi?” Pertanyaan lanjutan dari Abbas sedikit berbeda. Ia ingin mengetahui lebih dalam hati ayah angkatnya. Kembali lewat bahasa isyarat sebuah kalimat terangkai indah. Membuat Abbas mantap meninggalkan rumah itu untuk menemui Syara dan melanjutkan niat mereka menuju pelaminan. Namun, saat itu takdir begitu kejam. Syara justru memilih mengakhiri hubungan dengan dalih ia tak bisa lagi memberi lebih banyak. Saat mengingat momen itu, hati Abbas terasa ngilu. Saat itu rupanya Arafan sudah menyusup ke dalam hati kekasihnya. Lewat pertemuan tak sengaja mereka di kediaman Pak Rajandra di Jakarta. *** Orang yang paling pantas disalahkan dalam kerumitan hidup yang dialami banyak orang saat ini, adalah dirinya. Terlalu sibuk memikirkan balas budi tanpa mementingkan kepentingan diri. Abbas menginjak gas dengan keras. Ia harus bergegas. Siapa lagi yang akan menyelesaikan semua kesalahpahaman kalau bukan dirinya. Kembali prinsip kuat hidupnya mencuat. Membahagiakan orang lain lebih utama. Abbas harus menemui Syara dan menjelaskan semua. Ia harus bisa menjaga harga diri wanita itu agar tetap ada. Perjalanannya dari Tangerang ke Jakarta terasa lama bagi Abbas. Ia terus memikirkan cara terbaik agar kesalahpahaman yang terjadi segera berakhir. Sembari mengemudi ia memikirkan banyak kemungkinan yang bisa dilakukan. Bergabung dan bekerja sama akan membuat semua terlihat lebih mudah. Namun, ia harus menahan perasaanya sendiri untuk tidak sakit hati. Arafan berhasil menggoyahkan hati orang terkasihnya. Berjalan sendiri di jalanan yang cukup terjal tak menjanjikan apa-apa. Bisa saja Briyan sudah menyusun banyak rencana untuk menghancurkan semua orang yang terlibat dengan Daisha. Awalnya Daisha sendiri yang menjadi target lalu beralih ke Pak Rajandra, dirinya dan Arafan. Semua yang berkaitan penting dengan perempuan itu ingin Briyan musnahkan. Abbas pun mengusap wajahnya kasar. Serumit itu permaian hidup yang diselenggarakan oleh Tuhan. Sejenak hatinya tergerak. Tuhan? Ia sudah jarang melakukannya. Mendoakan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ponsel miliknya bergetar. Sebuah pesan berhasil masuk di sana. Abbas langsung membukanya.   Hanania : Terima kasih sudah datang menemuiku. Tolong, rahasiakan ini dari Mas Arafan. Aku tidak mau dia terbebani. Aku akan terus berpura-pura menjadi orang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Biarkan Mas Arafan sendiri yang mengungkapkannya. Sekali lagi terima kasih. Aku harap anda tidak mencampuri lagi urusan keluarga kami. Jaga baik-baik perempuan yang akan anda nikahi. Buat dia bahagia dengan tidak memintanya menunggu lama. Izinkan aku meminta maaf atas segala kesalahan suamiku yang mencoba mengacaukan fokusnya. Aku mohon, simpan semua ini baik-baik. Hanya di antara kita berdua saja. Terima kasih.   Abbas tercengang. Kalimat yang dituliskan Hanania terdengar tulus dari hati terdalam wanita itu. Tujuannya adalah membantu dan mengasihani. Namun, ia justru tertampar dengan jiwa besar yang dimiliki perempuan dengan sorot mata yang lemah itu. Bisakah Hanania dan Arafan menghadapi ini semua? Mampukah mereka melawan musuh yang mereka sendiri tidak menyadarinya? Wajah angkuh Briyan melintas di ingatan Abbas. Ia yakin Hanania dan Arafan tak akan bisa sekuat apa pun perlawanan mereka. Abbas melempar ponselnya ke dalam dashbore mobil. Ia harus kembali ke rumah sakit itu. *** Dengan cepat Arafan membuka ponsel. Ia merasa harus segera mengurus berita itu sebelum akhirnya bisa menghancurkan ia dan semua yang ia miliki. Mendapati Hanania yang sangat pengeritan tentang kondisinya membuatnya semakin bersalah. Istrinya itu bahkan menutupi semua kesalahannya dengan alasan bentuk saingan bisnis miliknya. Hanania tak sekali pun tahu perihal bisnisnya. Namun, perempuan itu berhasil membuat alasan paling masuk akal. Arafan tak mampu lagi berdiri tegak dengan wajahnya yang semringah. Sungguh, saat ini ia menjadi lelaki paling kejam di dunia. Ia sangat hina karena menduakan perempuan dengan cinta yang begitu tulus. Sampai akhirnya terjebak dalam sebuah skandal tak masuk akal. Getar ponselnya membuyarkan lamunan. "Gimana Dim? Gue baru aja mau ngubungin loe." Arafan membuka percakapan mereka. Telinganya dengan tekun menyimak setiap kalimat yang akan disampaikan Dimas. Loe harus segera ke kantor. Daisha dan pemegang saham di Singapur akan berkunjung. Dimas menyampaikan informasi terpenting yang baru saja ia terima. "Serius? Jam berapa mereka akan datang?" Kali ini gurat kekhawatiran terpancar jelas di wajah tampan itu. Tak menyangka akan seserius ini masalahnya. Entah. Yang pasti mereka sudah dalam perjalanan. Arafan sudah menyimak pesan email yang dikirimkan juga beberapa berkas yang disiapkan Anita. Sekretaris perusahaan itu, sejak pagi menyiapkan strategi terbaik untuk perusahaan. "Oke. Aku segera ke sana, Dim." Arafan menutup panggilan dari Dimas. Lagi. Arafan harus mementingkan hal lain dibandingkan keluarganya sendiri. Ia juga harus memutar otak lebih keras agar perusahaan yang ia bangun dengan susah payah tetap bisa bertahan. Jika benar El-Malik Company harus diakuisisi, ia akan kehilangan semua. Arafan memilih tidak kembali ke kamar Hanania. Ia menghubungi lewat ponselnya. Ada apa, Mas? tanya Hanania dari sambungan itu. "Aku harus ke kantor, Nin. Ada urusan mendadak dan sangat penting. Apa kamu ngijinin?" Arafan duduk di salah satu kursi panjang yang tak jauh dari kamar Hanania. Seberapa penting? Kali ini Arafan bergeming. Ia tak menjawab apa-apa. Memikirkan sejenak seperti apa reaksi istrinya. Hatinya sangat payah. Ia juga takut menerima kenyataan apakah Hanania akan bertahan atau lari dari sisinya. Ia begitu pengecut. Mas. Suara itu lirih memanggilnya. "Sangat. Sangat penting. Jika aku tak datang perusahaan bisa saja hilang." Napas Arafan terasa sangat berat. Semacam batu besar menekan rongga itu. Pergilah, Mas. Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkannya. Aku akan menjaga Hira dengan segenap jiwa raga. Kamu gak perlu khawatir.  Arafan membekam mulutnya. Ia tahu tangis itu tinggal menunggu waktu. Terlihat lemah di depan Hanania bukanlah hal yang ia mau. "Oh, oke. Aku akan berangkat Sekarang. Aku tutup teleponnya, Nin. Sampaikan salam sayangku buat Hira." Terdengar jawaban Ya dari Hanania. Arafan pun mengakhiri panggilannya. Tanpa berpikir panjang lagi laki-laki itu melangkah pergi. Menuju Jakarta untuk mengurus perusahannya. Dengan langkah panjangnya yang sedikit berlari, Arafan meninggalkan rumah sakit. Saat sampai di depan gedung itu, seorang pria bertubuh kekar menghentikan langkahnya. "Ikut aku!" Abbas menarik lengan Arafan. "Apa maksudmu?" Arafan tak terima diperlakukan seperti itu. "Aku tahu semua hal yang tidak kamu tahu. Ikut aku Sekarang!" Abbas mengajak Arafan menuju mobilnya. Meski jengah, ia mengikutinya. "Masuk dulu!" Abbas membukakan pintu mobil dan mengedikan dagu. Arafan El Malik menurut saja. Setelah Arafan duduk di kursi mobil, ia menutupnya. Kemudian berputar melewati bagian depan mobil itu dan duduk sebagai pengemudi. "Kita cari tempat lain dulu," ucap Abbas seraya menginjak gas. Ia membawa Arafan entah ke mana. "Jelaskan. Aku paling tidak bisa mengikuti seseorang tanpa kejelasan." Arafan yang memang penuh perhitungan mengungkapkan pendapatnya. "Nanti saja saat kita sudah sampai." "Setidaknya beri clue. Aku tidak mau berlayar tanpa peta seperti ini." Abbas menoleh. Kata-kata Arafan terasa aneh dan tidak konsisten dengan sikap laki-laki itu selama ini. "Memangnya selama ini kamu punya peta? Memangnya kamu tahu apa yang kamu alami saat ini? Atau kamu tak menyadari sama sekali? Hah?!" Abbas menatap rendah pada laki-laki di sampingnya yang sangat payah. Arafan terpinga. Ia memang tidak paham atas omongan Abbas. Fokusnya hanya tentang perusahaan yang harus segera ia selamatkan. “Aku gak punya waktu buat ngladenin kamu, Bas. Kalau soal Syara lain kali aja. Lain kali aku jelasin semua,” ujar Arafan sebagai bentuk antisipasi. Ia curiga kalau-kalau Abbas sudah tahus semuanya. Abbas terkekeh. Bahkan di waktu seperti ini Arafan masih memikirkan Syara seorang. Tidak memihak pada Hanania sama sekali. Tanpa menjawab pertanyaan Arafan, Abbas semakin melaju bersama mobil milik Syara itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN