Part 19 : Sejumput Resah

1159 Kata
"Nggak mau diantar, Yank?" tanya Abbas saat Syara sibuk mencari sinyal untuk order taxy online. "Kalau Daisha kenapa-napa gimana? Hari ini ia menunjukkan progres yang cukup baik. Aku nggak mau dia lepas dari pengawasanmu," ucap Syara dengan tetap fokus pada ponselnya. "Bareng aku aja gimana, Bas? Kebetulan mau balik ke perusahaan dulu. Bisa putar arah sedikit kalau mau ke rumah sakit Syara." Arafan menawarkan diri. Sejak Abbas memperkealkan kekasihnya itu, Arafan sudah tertarik. Karakter Syara benar-benar sesuai dengan kriteria perempuan pujaannya. "Ah Ya, aku lebih percaya kalau kamu sama Arafan. Gimana yank?" tanya Abbas lagi. Syara berpikir sejenak. Jika arah jalannya sama tidak masalah pulang bersama. Toh Arafan juga kenal dekat dengan Abbas. Ia juga tidak perlu merepotkan kekasihnya itu. "Oke, boleh. Nebeng ya, Fan?" Syara tersenyum lebar. Senyum yang menawan hati Arafan. Secepat kilat laki-laki itu mengangguk setuju. "Hati-hati, Yank. Kabarin aku kalau udah nyampe." Abbas mengusap lengan Syara lembut. Perempuan itu mengangguk dan tak berhenti tersenyum. Abbas pun melambaikan tangannya pada Syara serta Arafan saat mereka memasuki mobil yang terparkir. Arafan memacu lambat mobilnya. Kesempatan bisa berdua saja dengan Syara tak akan ia dapatkan sampai dua kali. Lelaki itu pun memulai obrolan canggungnya dengan Syara. "Rencana nikah kapan, Syara? Jangan lupa aku diundang ya," ucapnya dengan tetap fokus mengemudi. Syara malas bicara sebenarnya, tapi sudah diberi tumpangan ia tak enak hati. "Tiga tahun lalu. Mundur terus sampai Sekarang." Syara mengatupkan bibir. Berharap Arafan tak menanyakan lebih lanjut. "Semoga tahun ini lancar untuk kalian," ungkap Arafan yang berbohong atas ucapannya. Ia melihat Syara sekilas yang sedang menerawang cakralawa dari jendela kaca . "Amiin, Fan. Abbas sibuk terus, lebih tepatnya sibuk ngurus Daisha." Syara menoleh, menutup sedikit mulutnya. Berbisik pada nama Daisha. "Oh, ya, ya. Keliatan sih," jawab Arafan juga berbisik. Ia mengukir senyum pada Syara. "Semua orang yang liat juga paham. Ah, lima belas menit lagi paling sampai. Aku turun depan rumah sakit, aja." Syara melonggarkan sabuk pengaman. Tak perlu Arafan mengantarnya sampai dalam. "Boleh bertukar nomor hp? Untuk jaga-jaga menanyakan tentang Daisha." Arafan berbasa basi. Daisha adalah teman masa kecilnya. Ia perlu tahu kondisi lebih lanjut akan kesehatan perempuan itu, terlebih Daisha juga putri pemegang saham terbesar di perusahaan. Belum sempat Syara menjawab, Arafan sudah menyerahkan ponselnya. Syara pun menerima seraya mengetikkan nomor. Ia mengembalikan ponsel itu. Dengan cepat Arafan menelepon dan nNada dering sebuah lagu nyaring terdengar. "Suka lagu itu?" tanya Arafan dengan menyimak wajah Syara yang memikat hatinya. "Iya, banget, Fan" jawab Syara antusias. Arafan berseru senang dalam hati. Ia pun penikmat lagu band indie itu. Ia berusaha tetap fokus mengatur laju kecepatan mobil tapi ia masih ingin menikmati momen berdua bersama Syara. Sebuah ide pun tercetus. Arafan langsung memutar lagu dari playlist mobil miliknya. Sengaja membesarkan volume untuk lagu yang sama dengan nada dering ponsel Syara. Sontak perempuan itu tercengang. Ia tak menyangka bisa menemukan orang dengan selera sama sepertinya. Syara tersenyum, melirik Arafan dan dibalas dengan cepat. Sekian detik keduanya saling pandang, kemudian bersenandung ria lewat lagu favorit mereka. *** Arafan terkesiap saat lagu itu sengaja diputar oleh Hanania. Lagu yang menjadi awal kedekatannya dengan Syara. Ia bahkan pernah memberikan full album dari band tersebut. Hanania tersenyum manis. Ia merentangkan kedua tangan. Meminta Arafan mendekat dalam dekapannya. "Gak salah?" Arafan menatap Aneh pada istrinya. Hanania menggeleng. "Serius?" Kali ini Arafan tampak ragu. Dengan cepat Hanania mengangguk. Ia memasang ekspresi agar Arafan segera memeluknya. “Aku juga sayang kamu, Mas,” ujar Hanania. Jarang sekali perempuan itu membalas ucapan sayang dari suaminya. Sontak Arafan tersenyum. Ia pun melangkah maju dan mendekap tubuh itu. Istrinya yang sempat ia lupakan beberapa waktu. Hanania semakin mengeratkan pelukan. Seakan ia tak mau melepaskan. "Kapan aku boleh pulang, Mas?" "Kapan?" "Aku udah pingin pulang, Mas. Kumpul sama kalian di rumah.” Hanania mengurai dekapan Arafan. Kembali melihat wajah Hira yang masih saja terlelap “Sabar. Kalau udah pulih pasti boleh pulang.” Hanania mengangguk. Ia harus menjadi istri penurut. Arafan mengusap rambut Hanania. Mengamati wajah istrinya itu. Menatap dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. “Why?” tanya Hanania ragu. Arafan hanya menggeleng. “Hmmmm... aneh. Aku keliru, ya, Mas?" "Aku ada salah sampai kamu natap aku kayak gitu?” Kini Hanania memasang wajah lugu khas miliknnya dulu. Arafan tersenyum. Dulu wajah itu yang berhasil membuat hatinya tergerak. Wajah itu juga yang membuatnya ingin memiliki Hanania. Arafan tak mampu berkata-kata. Lagu dari ponsel Hanania lirih terhenti. Digantikan dengan getar dan nada panggilan masuk. Hanania cepat meraih ponselnya lalu menggeser layar ke arah tanda hijau. "Waalaikumsalam. Baik, Bu. Hana baik-baik, aja." Arafan langsung paham siapa yang menelepon istrinya. Ia pun ikut menyimak. "Berita? Berita apa?" Hanania mencoba mengalihkan topik bahasan itu. Namun, ibunya malah membuka lebih dulu. "Oh, berita viral soal Mas Arafan dan anak pimpinan perusahaan di Singapura? Hana udah lihat, Bu. Maklum perusahaan Mas Arafan, kan, lagi ke arah yang lebih gede, Bu, jadi banyak yang gak suka. Bisa aja mereka sengaja merekayasa foto. Biar jatuhin nama perusahaan." Arafan tercenung. Ucapan Hanania membuatnya merasa sangat payah menjadi seorang laki-laki. Hatinya kembali ternodai. Istrinya bahkan menganggap itu sebagai saingan bisnis belaka. Seseorang yang akan menghancurkan nama baiknya. "Oh, Mas Arafan? Ini lagi di depan Hana. Mas Arafan jagain Hana, kok. Langsung balik begitu urusan selesai. Ibu santai aja. Gak usah khawatir. Kapan Ibu mau datang?" tanya Hanania. Menyadari riak wajah Arafan berubah. Ia tahu suaminya menyembunyikan sesuatu. "Oke, Bu. Hati-hati, ya. Ini ditunggu sama cucu ibu." Setelah ucapan salam dari keduanya, Hanania menutup sambungan telepon itu. Ia kembali mengamati wajah suaminya. "Kenapa, Mas? Sakit?" tanya Hanania. Ia sudah tahu tentang berita itu. Arafan menggeleng. Ia mulai salah tingkah. "Aku ke belakang bentar, ya, Han. Mau cuci muka" “Gak di sini aja?” tanya Hanania menunjuk toilet di dalam kamar inapnya. “Di luar aja, Nin. Sekalian mau telpon Dimas.” Arafan berbalik. Dengan cepat melangkah keluar dari kamar inap Hanania. Demi apa pun itu Hanania tak mau membuka semuanya dari mulutnya. Ia juga tak ingin masalah ini ia yang mengkritisi. Hati kecilnya masih mengharap kejujuran dari Arafan. Ia ingin suaminya itu menjelaskan semua. Tanpa ada yang ditutupi dan manipulasi. Semua tentang Syara serta hubungan gelap mereka. Serta tentang berita viral yang menganggu pikirannya. Ia ingin Arafan membuka tabir itu. Jika benar bersalah harusnya Arafan mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu semua tidak nyata. Jika itu semua tidak benar, Hanania berharap Arafan akan mengklarifikasinya. Kristal bening lolos dari mata Hanania. Nyatanya sekuat apa pun pertahanan wanita itu, ia tetaplah wanita biasa. Satu kenyataan pahit ia jumpai tepat setelah resmi menjadi seorang ibu. Ia juga mengerti semua akan segera hancur karena pasti rasa cintanya tak lagi sama. Tak ada yang tersisa dari hubungan yang dilandasi kebohongan. Hanania menoleh pada box bayi. Hira sudah kembali terlelap di sana. Ia menatap sendu tubuh mungil itu. "Apa yang harus Mama lakukan, Nak?"  *** Gimana? Masih mau mukul Arafan pake sendal gak? Yang baru baca dan kenal kalian bisa follow akun IG aku @hamirairrier. Di sana ada beberapa info tentang tulisanku yang lain. Thank you
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN