Part 5 : Sepenggal Cerita dari Singapura

1241 Kata
Pagi menjelang menggantikan petang. Menandakan aktivitas manusia di bumi akan kembali sibuk dengan banyaknya kegiatan. Arafan bangun dengan perasaan lebih ringan. Setelah semalaman ia berhasil memandangi wajah istrinya. Hanania-perempuan yang berhasil membuatnya takluk. Ia dengan segala kecuekan mampu membuat Arafan jatuh cinta. Demi menebus semua perasaan bersalah atas kekeliruan yang ia buat, sebuah sarapan ia siapkan. Hanania membuka mata saat tepat pukul lima pagi. Pindah ke Tangerang membuatnya melakukan beberapa perubahan kebiasaan. Ia tak lagi pemalas seperti sebelumnya. Sebagai calon ibu, ia tak mau sikap itu menurun pada buah hatinya. Dengan langkah lamban Hanania menuju dapur untuk membuatkan minum Arafan. Tak di sangka suaminya justru tengah mengenakan appron untuk membuat sesuatu. "Waouw, pagi yang special," ucap Hanania seraya duduk di kursi makan. "Betul, demi kamu yang udah semakin gendut." Arafan meletakkan dua piring berisi nasi goreng di atas meja. Ia sengaja membuatkan menu itu. "Yeeee, ini juga karena anak kamu, Mas," ucap Hanania. Tak terima dibilang gendut. Ia pun dengan cepat mengambil sendok lalu mencicipi menu itu. "Always enak kaya biasanya." Hanania tampak puas. Arafan tersenyum riang. Ia pun melepas approne di tubuhnya. Mendekatkan diri pada istrinya. "Makan yang banyak, Nin." "Kenapa aku ngerasa jadi horor ya, Mas? Kamu gak mau pergi lagi, ‘kan?" tanya Hanania takut kembali ditinggal. "Nggak. Hari ini aku free. Kita jalan-jalan aja. Masih kuat, ‘kan?" tanya Arafan seraya menatap perut buncit Hanania. "Yang penting gak jauh-jauh. Ke Mall aja bentar, ya, Mas. Ngusir suntuk" Keduanya pun sepakat untuk menghabiskan waktu menjelang persalinan Hanania yang dijadwalkan dua minggu lagi. Perempuan itu memilih jalur operasi caesar yang disetujui suaminya. Tak biasanya Arafan memberi perhatian lebih dari biasanya. Hanania saat mendapati suaminya terlalu baik justru semakin menaruh curiga. Apa ada yang Arafan sembunyikan? Apa suaminya kembali berhubungan dengan seseorang? Tanya Hanania dalam hati. Ia tak berani menanyakan itu langsung pada Arafan. *** Lippo Super Mall Karawaci menjadi pilihan mereka mengisi hari. Arafan berniat memberikan hadiah special untuk istrinya. "Gak salah, Mas?" tanya Hanania saat mereka berhenti di salah satu toko perhiasan. Sebuah kalung menarik perhatian Arafan. "Sebagai hadiah melahirkan. Sebentar lagi kamu resmi jadi Ibu," jawab Arafan seraya menunjuk kalung itu. "Bisa diambilkan, Mbak?" tanyanya pada penjaga toko. Dengan cepat penjaga itu mengeluarkan kalung yang dimaksud Arafan. Sebuah berlian yang tampak memikat mata. Arafan tersenyum sekilas saat kalung itu sampai di tangannya. "Sini, Nin," pintanya pada Hanania. Perempuan itu justru merasa aneh. Ia sangat canggung dengan perlakuan manis suaminya. Namun, perlahan Hanania mendekat pada Arafan. Ia biarkan laki-laki itu mengalungkan kalung tersebut di lehernya. Senyum Hanania tak berhenti mengembang. “Gak kemahalan, Mas? Lihat harganya?” “Buat wanita terhebat dalam hidupku ini sangat murah.” Arafan mengeluarkan kartu kreditnya. Bagi seorang CEO perusahaan ecomerse jelas harga kalung berlian ini tak seberapa menurutnya. Tangan Hanania memegang kalung di lehernya. Meski ragu ia tetap menerima perlakuan manis dari suaminya. “Makasih, Mas.” Sebuah senyum menghias di wajahnya yang dibalas dengan cubitan mesra di pipi oleh Arafan. Selepas membeli kalung itu, Arafan mengajak Hanania menikmati makanan ringan di salah satu kafe. Tujuannya untuk mendekatkan kembali hubungan mereka. Ia memesankan sebuah minuman coklat untuk Hanania. Keduanya sangat serasi menikmati momen indah mereka. Tak pernah tahu di seberang mereka tepatnya di lain meja, seorang perempuan dengan topi dan masker memerhatikan mereka. Pandangannya tak henti mengarah pada Hanania dan Arafan. Jantungnya seakan diremas. Laki-laki di sampingnya ikut merasakan ketegangan itu. Ia mengaduk minuman dinginnya seraya menatap majikannya dan sepasang suami istri yang sedang menikmati waktu mereka. "Gak langsung samperin saja, Nona? Kita buat kejutan untuk mereka?" tanya laki-laki itu saat majikannya fokus memerhatikan Hanania dan Arafan. Bahkan ia melihat dengan jelas wajah sedih itu. "Kamu gak lihat kalau perut perempuannya buncit begitu? Kamu mau aku ambil paksa suaminya?" tanya perempuan cantik itu pada asisten pribadinya. "Anda merasa kasihan? Bukannya dari awal anda berniat merebut? Kenapa Sekarang anda berunah pikiran?" "Aku tak seburuk itu, Briyan. Aku ... masih punya sedikit nurani." Daisha menyeruput minuman di gelasnya. Lama-lama ia merasa terbakar menyaksikan Arafan dan Hanania bermesraan. Dengan cepat Daisha berdiri. Ia melangkah pergi meninggalkan area itu. Melewati Hanania dan Arafan tanpa menyapa mereka. Briyan yang pasti jengah dengan sikap Daisha mengembuskan napas kasar. Ia menenggak habis minuman dinginnya. Berjalan cepat menyusul nona besar yang harus ia jaga. Saat langkahnya sampai tepat di sebelah Arafan ia menatap Hanania dengan tatapan sinis. "Kamu akan merasakannya nanti," ucapnya dalam hati. *** Abbas terus menghubungi salah satu asisten rumah tangga di kediaman Pak Rajandra di Singapura. Pelariannya membuatnya merasa tidak nyaman dan seperti di kejar-kejar. Laki-laki itu mencoba mencari tahu apakah keluarga Pak Rajandra masih terobsesi padanya. Ia ingat betul saat ia ingin pergi dari rumah itu, seseorang menahannya. "Tidak, Pak. Abbas tidak bisa melakukan ini. Daisha sudah sembuh total, ia bahkan sudah bisa kembali menjalani kehidupannya. Briyan sudah bisa menjaga Daisha." Abbas mengemasi barang-barangnya saat Daisha dan Briyan sedang jalan-jalan. Ia tak mau niatnya itu sampai ketahuan. Dengan bahasa isyarat Pak Rajandra meyakinkan Abbas. Ia ingin Abbas tetap melindungi Daisha dan menyingkirkan Briyan. "Semoga tidak sampai membawa pengaruh buruk, Pak. Briyan asisten yang baik, pilihan Bapak juga." ucapnya. Namun, Abbas keliru. Laki-laki bertubuh kekar itu sama saja parasit yang menggerogoti keluarga Pak Rajandra dengan dalih menjadi asisten pribadi. Briyan yang selalu mengedepankan uang rela melakukan apa saja. Termasuk menuruti semua keinginan Daisha. “Abbas pamit, Pak.” Ia pun meninggalkan rumah Pak Rajandra secara diam-diam di waktu malam. Abbas menyelinap keluar dari rumah mewah itu. Dengan gaya biasa agar tidak dicurigai Daisha dan Briyan. Laki-laki yang hampir dua puluh empat jam berada di rumah mewah itu sudah pasti akan mencegahnya. "Mau ke mana?" sergah Briyan saat Abbas berhasil keluar dari pintu utama rumah. "Cari udara di luar," jawab Abbas santai. Ia pandai menguasai diri. Briyan mendecih. Ia menatap sinis Abbas yang selama ini menjadi dokter pribadi Daisha. Ia sudah lama ingin menyingkirkan laki-laki itu. "Aku tidak akan menghalangimu. Bahkan dengan sangat senang saat kamu pergi jauh dari sisi Daisha. Nona muda hanya akan muak menerima setiap saranmu." Briyan terus berbicara. Ia seakan menahan Abbas. Abbas yang sudah pasti menguasai berbagai macam ekpresi bersikap santai. Tak mau terprovokasi dan masuk dalam jebakan obrolan Briyan. Ia pun  mendekat. Lalu mendorong pelan tubuh Briyan. "Setelah ini kamu bebas melakukan apa saja. Aku juga sudah tidak ingin menjadi pelindung Daisha. Silakan habiskan uang mereka sepuas yang kamu bisa." Abbas melewati Briyan begitu saja. “With pleasure, Bro!” Briyan menyingkirkan tangan Abbas di tubuhnya. Ia tak suka dengan psikiater sok suci yang menjadi garda pelindung Daisha saat ia akan menghancurkan perempuan itu. *** Abbas terkesiap saat Syara mengetuk pintu kamarnya tiba-tiba. Tempat paling aman untuk bersembunyi adalah rumah Syara. Ia tidak bisa menyewa tempat lain. "Jalan yuk," ajak Syara pada Abbas. "Ke mana?" "Jalan aja. Aku suntuk di rumah." Perempuan itu melangkah. Ia mendekatkan diri pada kekasihnya yang tengah duduk di tepi ranjang. Abbas memandang lekat wajah Syara. Ia memyimpan banyak hal tanpa memberitahu perempuan itu. Meski hubungan mereka sudah membaik, tetap saja Abbas tak bisa terus terang. "Memangnya gak ada kerjaan di rumah sakit?" tanya Abbas memastikan. Syara menggeleng. Ia bebas untuk hari ini. "Yakin?" tanya Abbas lagi. "Harus dengan jalan apa agar kamu percaya. Aku emang free hari ini!" bentak Syara. Perempuan itu pun berdiri. Ia siap meninggalkan Abbas. Dengan cepat Abbas menarik tangan Syara. Mencegah perempuan itu pergi dari kamarnya. "Oke, oke. Aku kalah. Kita keluar hari ini." Senyum merekah terlihat di wajah Sraya. “Thaks, Honey,” ucapnya seraya memberi kecupan mesra di pipi Abbas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN