Part 6 : Informasi dari Lelaki Tak Dikenal

1084 Kata
El-Malik Company  Dimas terus kebingungan mendapati email yang dikirimkan langsung ke perusahaan. Dikatakan dengan jelas dalam email tersebut, Pak Rajandra ingin bertemu Arafan langsung di Singapura. Tidak mau jika hanya bertemu dengannya atau perwakilan orang perusahaan. Dimas yang kenal dengan beberapa karyawan Pak Rajandra mencoba mencari tahu perihal pertemuan itu. Namun, semuanya berkata sama. Penting dan menyangkut kerjasama. Dimas bahkan tak menyerah saat salah satu rekan Pak Rajandra memberitahu jika kemungkinan pertemuan itu untuk membahas terputusnya kerjasama yang sudah lama terjalin. Ia tetap mencoba berpikir positif. Sebisa mungkin tidak perlu melibatkan Arafan. Anita sekretaris pribadi Arafan masuk ke ruangan bertuliskan CTO perusahaan. Memberi laporan sekaligus kabar besar untuk atasannya. "Ya. Gimana, Nit?" tanya Dimas saat Anita tepat di depannya. "Ada yang penting, Dim. Eh, Pak," ralat Anita segera. Meski Dimas sudah naik jabatan, Anita masih sulit menghormati Dimas. "Its okay. Gak masalah. Gimana-gimana?" tanya Dimas seraya beranjak dari kursinya. Ia mendekati Anita di kursi tamu. "Pak Rajandra men-delay dana investasi buat proyek baru kita. Beliau kasih kabar dana itu akan dikirimkan langsung tepat saat kalian ada di sana. Kamu sama Arafan." Anita memberi penekanan pada nama Arafan. Sudah pasti Pak Rajandra sangat menginginkan pertemuan itu. Dimas pun tampak pasrah mendengarkan ucapan Anita. "Udah gue tebak. Oke, gue kasih tahu Arafan dulu. Kalau mainnya dana gue gak bisa nolak soalnya." "Lebih baik gitu. Perlu siapin tiket?" tanya Anita melakukan tugasnya. "Gak perlu, Nit. Udah dikirimin dari Singapura." Anita tak bisa membantu apa-apa. Ia meninggalkan rekan kerja yang sekarang menjadi atasannya. Selepas Anita keluar dari ruangannya, dengan sangat terpaksa Dimas menghubungi sahabatnya. "Halo, Lo lagi ngapain, Fan?" tanya Dimas saat panggilan suaranya terhubung. Gue lagi sama Hanania di luar. Gimana? Arafan menimpali dari sambungan telepon mereka. "Bisa pindah bentar, gak? Ada yang penting soalnya." Dimas sangat tidak nyaman saat harus mengganggu waktu sahabatnya itu. Ia sudah diberi kuasa penuh untuk mengurus perusahaan. Tak tega saat Arafan masih harus dilibatkan padahal sudah meminta cuti untuk mendampingi Hanania melahirkan. Oh, Oke. "Jadi gini, ada email dari perusahaan Singapur. Kita diminta ke sana segera." Dimas mencoba menjelaskan informasi yang ia dapat. Pak Rajandra? Kapan kita harus berangkat? tanya Arafan terdengar antusias. "Lo gak apa-apa kalau ninggalin Hanania?" Kapan kita berangkatnya? Kalau sampai Pak Rajandra langsung biasanya penting. Gue masih punya waktu seminggu. "Malam ini." Dimas menjawab dengan nada pelan. Ia takut info itu justru mengacaukan rencana besar sahabatnya. Mengingat persalinan Hanania sebentar lagi. Gak apa-apa. Nanti gue bisa bilang sama Hanin. Hanin-panggilan sayang Arafan untuk Hanania. Setelah mendapat kepastian dari Arafan, Dimas kembali memeriksa email. Dua buah tiket pesawat ternyata sudah dipesankan oleh Pak Rajandra. Dengan perasaan tak yakin, ia meneruskan pada nomor Arafan. ***     Tangerang             Arafan menyimak jadwal keberangkatan pada e-tiket itu. Ia merasa perlu menemui orang yang pernah berjasa dalam hidupnya. Namun, kondisi Hanania yang sebentar lagi dalam masa persalinan membuatnya ragu.  Pergi atau tinggal? Pilihan yang sama-sama sulit bagi Arafan. Sebelum memutuskan ia memilih untuk mencuci muka sebelum menyampaikan hal itu pada Hanania. Meski hatinya sejatinya sudah memutuskan. Setelah menentukan pilihan saat ia menyiramkan air pada wajahnya dan merapikan rambut, Arafan kembali membuka ponsel. Ia memberikan jawaban untuk Dimas. Perusahaan sama pentingnya dengan Hanania. Ia tak bisa menolak pertemuan itu. Arafan memasukkan ponselnya ke dalam celana, ia bersiap kembali menghampiri Hanania. Kursi yang tadi ia duduki tidak kosong. Dari jauh terlihat Hanania tengah mengobrol dengan seorang laki-laki tak dikenal. Dengan cepat Arafan berjalan ke meja itu. Tepat saat ia hampir sampai, lelaki tak dikenal itu pergi dengan menutup wajahnya. "Nin, tadi siapa? Kamu kenal?" tanya Arafan saat berhasil mendekatkan diri pada Hanania. Wajah itu tampak pucat. Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Arafan. "Nin, are you okay?" tanya Arafan lagi. Hanania terkesiap. Ia tak percaya dengan ganbar yang baru saja ia lihat. "Apa, Mas?" tanya Hanania yang masih kebingungan. "Kamu gak apa-apa? Tadi ngobrol sama siapa?" Arafan menaruh curiga pada laki-laki itu. "Gak apa-apa, Mas. Gak apa-apa. Aku ke toilet dulu, ya." Hanania melangkah gontai. Ia mencoba mencuri waktu untuk sendiri. "Nin!" ucap Arafan seraya memegangi lengan Hanania yang nyaris terjatuh. Tubuh dengan perut yang membesar itu berjalan pelan. Mencari kamar mandi untuk mengunci diri. Ia tak pernah mengira lelaki yang sangat ia cintai kembali berdusta. Sejenak ia menekuri wajah tampan suaminya. Mencari kepercayaan yang selama ini ia agungkan. Dengan cepat Hanania memalingkan wajah. Menghalau air mata yang siap keluar saat itu juga. Benarkah selama ini, kamu menghianatiku, Mas?  tanyanya dalam hati. "Aku antar, ya," pinta Arafan dengan lembut. Hanania menggeleng. Ia merasa bisa menuju toilet sendiri. "Gak usah, Mas," jawab Hanania lantas melangkah maju sembari memegangi perutnya. Tak lupa dengan membawa ponselnya. Hanania meninggalkan Arafan yang tampak berpikir keras. Menganalisa siapa laki-laki itu sebenarnya. Saat posisinya sudah lumayan jauh dari tempat Arafan duduk, Hanania menghentikan langkah. Ia membuka ponselnya. Menanti pesan dari laki-laki yang mengobrol dengannya. Perlahan satu per satu foto yang tadi ditunjukkan lelaki itu masuk ke pesan w******p. Foto-foto yang jelas membuat dadanya sesak. Perlahan Hanania menghirup udara untuk meringankan perasaannya. Wanita yang tengah memakai gaun pengantin itu tampak lebih dewasa darinya. Lebih cantik serta lebih tinggi. [Ini rekayasa, bukan?] Beberapa detik berikutnya pesan balasan datang. [Kamu terlalu naif, Hanania. Jelas-jelas suamimu sering bersama wanita itu.] Hanania tak yakin dengan jawaban laki-laki yang tak ia kenal tadi. Ia pun terus membalas balasan pesan itu. [Bisa saja itu rekan kerja Mas Arafan.] Detik berikutnya sebuah foto kembali masuk. Kali ini Hanania tak bisa lagi menolak kenyataan pahit yang ia terima. Sangat jelas dalam foto itu, Arafan bermesraan dengan wanita lain. Hanania pun tak lagi membalas. Ia terus berjalan menuju tempat tujuannya. Air mata mulai bercucuran. Dengan cepat ia menyekanya. Basah sudah sangat basah wajah perempuan yang tengah hamil itu. Ia tak peduli tatapan aneh orang-orang yang ia jumpai. Dengan cepat Hanania mendorong pintu toilet. Mengasingkan diri dari pelik yang menghampiri. ***   Briyan menyeringai lebar. Ia berhasil melakukan tugas pertamanya setelah berada di Jakarta. Memang itu bukan perintah majikannya langsung. Ia sendiri yang berinisiatif melakukan shock terapy bagi Arafan dan Hanania. Dengan rasa puas ia menatap layar ponselnya. "Kamu tidak salah minum obat, ‘kan? Ketawa sendiri dari tadi?" tanya Daisha yang duduk di sebelahnya. Alis Briyan terangkat sebelah. Ia ingin mengatakan kabar itu, tetapi belum bisa. Karena ini misi rahasia yang sedang ia jalankan. "Tidak apa-apa, Nona. Biasa ada video viral artis ini," jawab Briyan berbohong. "Nona mau lihat?" "Ogah. Video yang kamu tonton suka aneh-aneh. Ayo kita balik ke Singapur sekarang!" pintanya dengan nada tegas. Briyan menoleh. Belum lama mereka ada di Jakarta. Sudah harus balik lagi? Laki-laki itu pun mengumpat dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN