Denial

1259 Kata
*** Menyedihkan, kehadiranku selalu dianggap benalu. *** "Agra sama Atlan enggak papa, tapi si Elang, dia kurang darah, harus di bawa ke RS. Gimana, Vin?" Kevin mengusap wajahnya. "Ya udah enggak papa, saya mau bubarin aja acara hari ini. Nanti abis itu, Ibu bisa bawa Elang ke rumah sakit. Gimana, Bu?" "Ya sudah, cepat ya, Vin. Ibu minta tolong. Bakal mencolok kalo kita langsung bawa Elang sekarang." "Iya, Bu." Kevin memutuskan telepon. Menghela napas berat. Padahal event ini menjadi event terakhirnya sebelum purna. Tapi kenapa justru rumit? Tanpa lama, Kevin berjalan menuju panggung, menunda patroli untuk sesaat. Ia mengode Radit dengan kedipan mata, dan Radit langsung paham. Ia memberi satu mikrofon untuk Kevin. "Tes, tes. Ehm, mohon perhatiannya!" ujar Kevin. Seketika ia menjadi pusat atensi. "Berhubung kita ada sedikit masalah, saat ini kiranya sudah sampai di penghujung acara. Kita lanjut lagi besok, gimana?" Terdengar seruan kecewa dari para pengunjung. "Tenang, tenang. Besok masih ada hari. Yang hari ini batal tampil, besok bakal tampil kok. Gimana? Setuju, 'kan, ya?" celoteh Kevin. "Bener, tuh, besok kalian ketemu lagi sama gue kok, tenang aja. Kalo mau kenalan, follow aja IG gue," sahut Radit sambil mengedipkan satu matanya. Beberapa siswi menjerit histeris. Padahal Radit tidak tahu kenapa Kevin sampai membubarkan acara hari ini. Tapi ia tahu, ini darurat. "Oke, selamat sore, sampai jumpa lagi besok. Jangan lupa, terus ajakin temen kalian dateng ke sini. Sekolah kita terbuka lebar buat kalian semua!" seru Kevin. Lalu satu per satu pengunjung pulang. Radit menepuk pundak atasannya itu. "Kenapa, Vin? Kok dibubarin?" tanya Radit. "Elang harus dibawa ke RS. Lo tolong beresin tempatnya dulu, kalo sempet bantu, abis ke UKS gue ke sini," kata Kevin. "Santai lah Vin, anak buah lo banyak kok. Lo udah terlalu capek sendiri." "Thanks. Gue pergi dulu," ucap Kevin. "Eh, Kevin!" panggil Bu Ros, pembina OSIS. Kevin menepuk jidatnya. Benar juga. Ia membubarkan acara hari ini sebelum jadwal. Pasti para guru bertanya-tanya. "E-eh, ya, Bu?" "Kenapa dibubarin? Ini masih jam dua," kata bu Ros. "Jadi ...." Kevin menghela napas. Baiklah, ini masalah cukup besar, tak mungkin ia berbohong. "Maaf sebelumnya, Bu. Saya secara sepihak membubarkan acara hari ini. Tapi saya punya alasan." Kevin menjeda. "Sebenarnya ada suatu kejadian di gudang, Bu. Saya juga kurang tahu kejadiannya seperti apa. Yang jelas, sekarang Agra, Atlan, dan Elang, anak SMA Dharma luka, Bu. Elang kurang darah, dia harus dapet donor di rumah sakit. Saya nggak mau ambil risiko dengan membawa Elang terang-terangan dengan ambulans." "Jadi saya bubarin dulu acaranya, biar Elang bisa segera di bawa ke rumah sakit. Kalo orang-orang tahu, bisa rusak event kita ini, Bu," jelas Kevin panjang lebar. Bu Ros menghela napas. Alasannya cukup membuat kekesalannya mereda. "Ya sudah, ayo ke UKS." *** "Kita harus hubungi orang tua Elang, 'kan?" tanya Bu Ros. "Saya aja, Bu. Kebetulan saya punya kenalan, dia temannya Elang," sahut Cakra. "Ya sudah, tolong ya. Saya dan bu Ros akan ke rumah sakit sekarang," kata Bu Wita. Beberapa perawat mengangkat tandu Elang, lalu keluar UKS, disusul Bu Wita dan Bu Ros. UKS lengang. Untung saja Agra dan Atlan tidak terlalu parah, hanya butuh istirahat. Heru pun sudah pulang karena tiba-tiba ibunya meneleponnya untuk datang ke rumah. "Cak, lo tau kejadiannya gimana?" tanya Kevin pelan. Cakra sudah selesai menelepon teman Elang. "Ya kali, Vin. Gue kan sama lo terus," jawab Cakra. "Hhh, kita mesti nanya ke Atha, tapi, 'kan dia—" Ucapan Kevin terhenti bertepatan dengan suara ketukan sepatu. Ada yang datang. "Eh, Atha?" panggil Cakra terkejut. Atha menatap lurus, ke arah Agra. "Tha, lo udah nggak papa?" tanya Cakra. Ia mendekat ke arah Atha. Atha tetap berjalan, tak menghiraukan Cakra. Kevin dan Cakra bingung dengan sikap Atha. "Radi ...," lirih Atha. Ia duduk di sebelah Agra. Kevin dan Cakra menatap Merry dan Vita yang baru saja tiba. "Tadi Atha bilang ... mau ketemu kembarannya, Radi," kata Merry. Cakra terkejut, tapi Kevin tidak. Ia sudah menduganya sejak Agra datang ke ruang OSIS kala kasus Lolita membully Atha di kamar mandi tempo hari. "Udah gue duga." Kevin menatap Atha. "Eh, lo udah tau?" tanya Cakra. "Hm, waktu itu Agra sempet keceplosan, tapi dia bilang cuma bercanda doang." "Jadi, Kak Atha beneran kembarannya Kak Agra?" tanya Vita. "Kemungkinan besar. Kalo dipikir, nama mereka agak mirip, dan bahkan nama belakang mereka sama. Wajah mereka juga lumayan kembar." Cakra memberi persepsi. "Maafin Diska." Suara lirih Atha membuat orang yang berada di UKS iba. "Tha?" panggil Atlan. Kevin berdiri, berjalan mendekati Atlan yang entah sejak kapan siuman. "Lan, lo enggak papa?" tanya Kevin khawatir. "Ya, gue enggak papa. Atha gimana?" "Seperti yang lo liat." Kevin menunjuk ke arah kiri. Atlan menoleh. "Sebenernya, mereka ada hubungan apa?" Yang lain diam. "Lo tanya sendiri aja sama Atha dan Agra nanti. Sekarang lo harus istirahat," kata Kevin. "Gue mau pergi. Gue udah enggak papa." Atlan berusaha berdiri, pelan-pelan. "Jangan, Lan." Cakra mencegah Atlan melepas perban di kepalanya. "Gue mau ketemu Sisil. Minggir." Atlan berhasil berdiri. Ia berjalan pelan. "Tha, lo enggak papa?" tanya Atlan. Atha membisu. Ia justru mencium tangan Agra. Atlan terkejut, ia benar-benar penasaran ada hubungan apa antara Agra dan Atha. "Gue pergi dulu ya. Kapan-kapan kalo sempet, gue mau ajak lo ketemu Sisil." "Lan, mau gue anter?" tawar Kevin. "Enggak usah. Makasih udah bawa gue ke UKS." Atlan beranjak. Menyisakan Atha yang masih diam menggenggam tangan Agra. "Kak, gue bantu beresin panggung dulu, ya," kata Vita. "Gue juga," ujar Merry, "ayo, Vit." *** Setelah seperempat jam duduk diam, Kevin dan Cakra terkejut dengan lengkingan Atha. "Radi!" pekik Atha. Kevin dan Cakra mendekat. "Atha, lo enggak papa?" tanya Agra. Atha mengangguk cepat. "Aku enggak papa. Radi masih sakit, ya? Maaf gara-gara Diska, Radi—" "Kevin? Cakra?" ucap Agra terkejut. "Kita nggak bakal bilang ke siapapun, kalo kalian berdua itu ... kembar," kata Kevin pelan. "Enggak!" sergah Agra, "gue sama Atha eenggak punya hubungan kayak gitu." "Tapi Radi, kenapa kamu masih—" "Diem lo!" Agra membentak. "Emang ya, dari dulu lo emang ngerepotin! Apa lo tau, kejadian tadi itu sama kayak sepuluh tahun lalu! Sialnya, gue lagi yang kena batunya! Lo itu hidup buat apa sih? Enggak ada gunanya! Ngelindungin diri sendiri aja nggak becus, mati aja lo!" Perlahan, genggaman tangan Atha mengendur. Matanya berkaca-kaca. "Gra, jangan kasar dong sama Atha," ucap Cakra. "Cak, jangan ikut campur. Ini urusan mereka," tegur Kevin. "Apa nggak cukup selama ini, Tha? Sekarang lo mau kasih tau ke semua orang kalo kita ini kembar, iya? Buat apa? Dengan lo ngumbar-umbar hubungan kita itu, enggak bikin gue peduli sama lo. Gue malu Tha, punya kembaran kayak lo. Dekil, jelek, cupu, lo pikir gue seneng sama lo? Seperti yang gue omongin waktu itu, gue nyesel punya kembaran kayak lo." Satu cairan bening lolos dari pelupuk matanya. Ia menunduk. Kata-kata Agra benar-benar membuatnya merasa sakit. "Yang satu ini bikin gue semakin benci sama lo. Berhenti nangis, berhenti ngerasa sok tersakiti! Karena gue ngerasain lebih sakit dari yang lo rasain." Agra menyentak. Atha yang terisak membuat Agra mengalihkan pandangannya. "Gue muak sama lo," ucap Agra tajam. Ia mencabut paksa selang yang menancap di tangannya. "Oh iya, gue masih inget, kenapa punggung gue luka kayak sekarang. Coba introspeksi, Tha. Berhenti jadi benalu di hidup gue." "Radi—" "Radi udah mati," kata Agra sarkas. "Agra ... gue minta maaf," ujar Atha di sela isakannya. "Basi." Agra pergi. Atha kian meraung. Kevin dan Cakra hanya diam menatap sendu Atha. "Udah, jangan nangis." Cakra membawa Atha ke dekapannya. "Tha, sabar ya," lirih Kevin. Tidak cukup sampai di situ, ada hal yang lebih besar yang telah menunggu Atha di rumah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN