"Give Me A Smile"

1129 Kata
*** Yang boleh bahagia ... cuma kamu, ya? *** Minggu kedua acara HUT SMA Permata dimulai sudah. Gerbang SMA Permata dibuka lebar untuk umum tepat pukul delapan. Mereka bebas masuk ke SMA Permata dengan syarat mereka harus mendapat stampel berlogo SMA Permata di pipi bagian kanan mereka. Sudah ada banyak pengunjung yang datang. Diantaranya adalah beberapa SMA yang akan tanding dengan SMA Permata maupun hanya menonton. Atha sibuk membantu Cakra sejak tadi pagi pukul 6, dan sekarang ia duduk di pinggir lapangan basket. Tim SMA Permata melawan SMA Merdeka. Atha kenal kapten basket SMA Merdeka. Namanya Abimanyu Bramasta. Ketua geng Bimasakti yang namanya sudah melangit. Bahkan Thunderbolt—geng anak Permata—pun sering dibantu oleh Bimasakti. Geng besar itu tidak sombong, tidak seperti geng Cakrawala. "Ngelamun?" tanya seseorang menepuk pundak Atha. Atha menoleh. Perempuan disebelahnya terlihat tomboi dengan jaket hitam dan lambang serigala Bimasakti. Sea, Sea Arsheli Zahra. Satu-satunya perempuan di geng Bimasakti. "Ngapain ngeliatin gue gitu?" tanya Sea. "E-eh, nggak papa." "Nggak usah tegang gitu. Gue nggak nonjok lo kok." Atha tersenyum canggung. "Sekolah lo keren ya," puji Sea. "Sekolah lo juga kok," sahut Atha. "Ah tau gini gue sekolah di Permata aja kemaren." Sea mendesah. "Lo kelas sebelas kan?" tanya Atha. "Gue kelas sepuluh. Kenapa? Emang muka gue tua?" "Nggak sih, gue kira lo kelas sebelas." "Sori ya kalo omongan gue rada nggak sopan. Gue emang biasa kayak gini," ucap Sea. Atha mengangguk. Lalu mereka kembali fokus ke permainan. Sesekali Sea meneriakkan nama ketua gengnya itu. "Selamat, sekolah lo menang." Sea mengulurkan tangannya—mengajak bersalaman. "Iya, makasih." Atha tersenyum, membalas jabatan tangan Sea. "Boleh minta kontak, emm ... siapa nama lo?" tanya Sea. "Agatha, Atha aja panggilnya." Lalu mereka bertukar nomor telepon. "Oke, gue nyusul Abi dulu. Bye." Sea melambaikan tangannya. Atha membalas. "ABI GIMANA SIH KOK KALAH? BAYAR TARUHAN LO! BELIIN GUE MI AYAM 10 PORSI!" Atha tersenyum menatap Sea dan Abi. Ia juga ingin selalu tersenyum dan tertawa seperti Sea. Lantas menunduk, merasa dirinya bodoh sudah berkhayal hal yang tidak-tidak. Atha terkesiap kala ia merasakan ada yang duduk di sebelahnya. Kepala Atha bergerak ke arah kanan. Atlan. Atlan terlihat memesona dengan peluh keringat yang mengucur dari dahinya. Ia tersenyum lebar menatap Atha. Tanpa Atha sadari, ritme jantungnya sudah kacau. "Give me a smile," kata Atlan lirih. Atha terbangun dari lamunannya. Ia membuang muka tanpa mengindahkan permintaan Atlan. "Kenapa nggak mau?" tanya Atlan. Ada nada kecewa di suaranya. Atha diam. Lancang sekali tubuhnya ini, tidak bisa diajak berkompromi. Mulai dari jantungnya yang berdegup kacau, matanya yang tersihir senyuman Atlan, hidungnya yang mencium aroma khas Atlan, dan ... hatinya yang mengharap—tidak! Tidak boleh! "Tha, kalo orang ngajak ngomong, liat mukanya dong," ucap Atlan. Atha tetap bergeming. "Tha—" "Lan, jangan gini. Kay udah nungguin lo di kantin, tadi bilang sama gue. Mending lo nyamperin Kay, gue ada tugas," potong Atha cepat. Ia berdiri lalu melangkah cepat, menghampiri Cakra yang sedang bersama Kevin dan Radit. Atlan menghela napas dalam. Lagipula untuk apa dirinya menemui Atha? Padahal tadi matanya sudah melihat Kay yang sedang duduk di barisan paling belakang. Kepala Atlan digerakkan ke belakang. Kay sedang menatapnya sedih. Tapi setelahnya, Kay tersenyum. Senyum yang membuat Atlan melebarkan matanya. Senyuman itu lebih pantas disebut seringai. Penuh kelicikan. Atlan takut jika pacarnya yang cantik itu melakukan hal yang tidak benar. *** SMA Permata ramai pengunjung. Banyak yang datang hanya untuk melihat-lihat acara, ada pula yang hanya untuk membeli makanan di bazar. Beberapa siswa dan siswi SMA lain diperkenankan unjuk kebolehan mereka di panggung SMA Permata. Suasana meriah, hingga waktu zuhur tiba. Sebagian jamaah muslim menunaikan ibadah salat di masjid SMA Permata yang bertingkat dua, cukup untuk menampung para pengunjung. Sepanjang hari acara berjalan lancar, hampir tidak ada masalah sedikit pun. Anggota OSIS—terutama Kevin—bisa sedikit menghela napas lega. Karena ini adalah event besar, harga diri SMA Permata dipertaruhkan di sini. Jadi kalau sampai kacau, habis sudah. Anggota OSIS pulang pukul tujuh malam. Semuanya menampakkan wajah letih. Seharian bekerja di bawah terik matahari menguras tenaga mereka. Padahal acara masih berlanjut hingga enam hari lagi. Satu per satu pulang, ada yang dijemput, nebeng teman, maupun membawa kendaraan sendiri. Hanya Atha yang kebingungan bagaimana ia akan pulang. Atha berdiri di depan gerbang. Sekolah sudah sepi. Ia menolak tawaran Kevin dan Cakra tadi. Sekarang pukul setengah delapan, dan ia masih sibuk memikirkan bagaimana caranya pulang. Di jam seperti ini tidak ada bus menuju ke arah rumahnya. Ojek? Tidak, bukan ide bagus. Ibunya melarangnya naik ojek, berbahaya. Naik taksi? Tentu saja uangnya tidak cukup, uangnya sudah habis untuk membeli makanan tadi siang. Lengkaplah sudah. Kumal, lengket, gerah, risi, lapar, lelah, mengantuk, dan tidak tahu caranya pulang. Atha mendesah berat. Atha duduk diam di trotoar, memandangi jalanan ramai di depannya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, pesan masuk. Atlan 90° ke arah kanan. Atha mengernyit. Maksudnya? Ada gue di sana. Ayo pulang. Kepalanya menengok otomatis ke kanan. Benar, di bawah pohon besar sudah ada Atlan. Seketika bebannya seakan terangkat. Semua kegundahannya hilang. Kenapa diem? Sini. Atha berdiri, lalu berjalan mendekati Atlan. "Lo ngapain di sini?" tanya Atha. "Jemput lo, ayo pulang," ajak Atlan. "Lo sengaja jemput gue?" Atlan diam sebentar. "Nggak, di suruh Cakra. Dia chat gue, katanya dia buru-buru tadi, jadi minta tolong jemput lo. Ya udah, karena gue lagi senggang, ya gue iyain aja." Giliran Atha yang terdiam. Ngilu terasa di bagian dadanya. Dia kepedean. Atlan bukannya sengaja menjemputnya. Atlan hanya dimintai tolong oleh Cakra. Atlan membuang pandangan. Ada perasaan asing menyerang hatinya. Kenapa ia jadi menyedihkan seperti ini? "Cepat, Tha, gue mau ajak jalan Kay." Atha mengangguk sekilas. Ia duduk di atas motor besar Atlan. Tak lama, mereka sudah pergi membelah jalanan Jakarta. Malam yang pekat menjadi latar suasana yang tepat untuk kedua insan yang saling membisu itu. *** "Tha." Atha terkesiap kala melihat Kay yang sudah duduk di atas kasurnya. "Kenapa Kay?" tanya Atha bingung. Tidak biasanya Kay mengunjunginya tanpa memberi tahu. "Jauhin Atlan." Atha terdiam. "Maksudnya—" "Lo tau persis apa maksud gue, Tha," sahut Kay cepat. "Oke, oke, apapun yang lo mau. Tapi plis jangan marah ya." Atha memohon. Tanpa berniat menyahuti ucapan Atha, Kay keluar dari kamar Atha. Membanting pintu dengan keras sampai pigura yang menggantung di belakang pintu jatuh. Pecah. Atha memunguti pecahan kacanya. Setelah membuang pecahan kaca, Atha duduk sambil memandangi foto tadi. Fotonya dan Kay saat berumur lima tahun. Hati Atha gelisah. Semoga bukan pertanda buruk. Jangan sampai persahabatannya dengan Kay rusak. Karena kalau sampai itu terjadi, bukan hanya persahabatannya saja yang hancur. Melainkan hidupnya juga akan hancur berantakan. Ponselnya kembali bergetar. Tanpa menjawab panggilan masuk, Atha me-nonaktifkan ponselnya. Ia harus melaksanakan permintaan Kay. Ia harus menjauhi Atlan. Tidak ada acara chat, telepon, atau pulang bersama. Mimpi yang baru saja dirajut itu harus terpaksa dibuang. Percuma. Sia-sia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN