Don't Cry

1216 Kata
*** Boleh berekspetasi, tapi kamu harus siap menerima konsekuensinya. Termasuk jangan kecewa menerima realitanya nanti. *** "ATHAAA! TAU NGGAK, GUE SAMA ATLAN UDAH JADIAN LOH!" pekik Kay riang. Ia jadi pusat perhatian di kantin. Keputusan Atha salah. Harusnya ia tidak pergi ke kantin sekarang. Kalau begini, ia kan jadi bertemu Kay. Eh, memangnya kenapa jika ia bertemu Kay? Aneh. Atha mengangguk sekali menanggapi Kay. "Sini dong, duduk. Gue traktir, hehe," ujar Kay. Atha mengangguk lagi. Ia duduk tepat di depan Kay, di sebelah Agra. "Pesen apa?" tanya Kay. "Terserah," jawab Atha asal. Entah kenapa ia tidak nyaman disini. Ia melihat Kay dan Atlan yang sedang bercanda setelah memesan makanan. Lalu ia melirik ke arah kiri. Agra tengah memperhatikannya. Apa Agra juga merasakannya? Atha menunduk. "MANA YANG NAMANYA ATLAN HAH? JADIAN NGGAK NGOMONG, MAKAN-MAKAN NGGAK NGAJAK, ENAK AJA LO!" teriak Heru heboh. Atlan dan Agra mencebik. Ada Heru meja mereka jadi berisik. "Berisik lo," dengus Agra. "Salah siapa ngeluyur mulu," sahut Atlan. "Ah kalian nggak asik lah! Gue marah nih!" ujar Heru memonyongkan mulutnya. "Diem deh, malu-maluin kayak bocah lo! Duduk, pesen aja," kata Atlan. "Ahsiap bosqueeee!" Heru memposisikan dirinya di sebelah kanan Atha. "Oh iya gue lupa, selamat ya lo berdua. Cocok dah kalian. Langgengin!" ucap Heru. "Makasih, Heru!" seru Kay. Atlan hanya mengangguk ke arah Heru. Rasanya biasa saja. Atha menimbang. Apakah ia harus mengucapkan juga? Atau nanti saja? Sebaiknya nanti saja. Tak lama kemudian, pesanan mereka semua datang. Sekarang di meja mereka terdapat banyak makanan. Paling banyak di hadapan Agra dan Heru. Mereka sepakat akan membuat Atlan miskin hari ini. Atha melihat Agra dan Heru yang sedang semangat menghabiskan sisa makanan mereka. Lalu Atlan yang sedang disuapi oleh Kay. Hatinya mencelus. Atha buru-buru menatap makanannya yang belum habis. Ia sudah tidak berselera makan walaupun cacing di perutnya sudah kelaparan. "Ehm, sori gue duluan, ada tugas yang belum gue kerjain. Makasih traktirannya. Kay, Atlan, selamat ya. Semoga langgeng dan selalu bahagia," ucap Atha cepat. "Makasih Atha, nanti pulang sekolah gue ke kamar lo," kata Kay. Atha mengangguk. Atlan diam menatap Atha. Ada yang salah. Harusnya dia bahagia bisa berpacaran dengan Kay, incaran laki-laki SMA Permata. Tapi ini ... ada rasa kehilangan saat dilihatnya punggung Atha menjauh. "Atlan, makan lagi," ujar Kay. Atlan mengangguk. Agra menyadarinya. Ia mencengkeram kuat sendok di tangannya. Berengsek! "Lo kenapa dah, Gra? Kepedesan? Muka lo merah gitu," celetuk Heru. Kay dan Atlan menatap Agra. Benar, wajah Agra memerah, berikut pula matanya. "Lo nggak papa, Gra?" tanya Kay panik. "Minum gih," tawar Atlan menyodorkan minumannya. "Gue toilet," ujar Agra buru-buru. Ia harus menemui seseorang yang menyebabkan dadanya sesak ini! *** Agra berjalan dengan napas terengah. Ia sudah mencari Atha kemana pun, tapi tidak ada. Ia mencoba mencari di gudang walau kemungkinannya kecil. Atha kan takut gelap. "Tha? Lo ada di—" Ucapan Agra terpotong kala ia mendengar suara itu. Suara lirih yang memilukan. Begitu menyayat hatinya. Dadanya kian menyesak. Ia berjalan pelan ke arah Atha yang duduk memeluk lututnya. Wajahnya ia telungkupkan. Tanpa basa-basi, Agra memeluk Atha. Atha terkejut. Siapa yang memeluknya? Tapi tunggu. Ia mengenal wangi ini. Agra. Tangisnya kian meledak. Bersamaan dengan dekapan Agra yang semakin erat. Entah hal apa yang membuat Agra memeluk Atha. Entah memang karena rindu, atau ia ingin menenangkan Atha. Yang pasti, ia tak ingin melihat Atha menangis memilukan seperti ini. Atha tidak boleh menangisi orang lain yang tak berhak ia tangisi. Hanya dia dan cukup dirinya yang membuat Atha menangis selama ini. Jangan orang lain, terutama laki-laki. Karena Agra bersumpah, sekali lagi ada laki-laki yang membuat Atha menangis, ia tak akan tinggal diam. Sudah seharusnya ia membuka hati. Ia harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang kakak, tidak membiarkan adiknya menangis. "A-Agra...," lirih Atha, "kenapa l-lo peluk gu-gue?" Bukannya menjawab Atha, Agra mencium kening Atha sekilas. Perlahan ia lepaskan pelukannya. Dihapusnya sisa air mata yang menghiasi manik adik cantiknya itu. "Lo nggak boleh nangis," ucap Agra lembut. Atha tertegun. Ia bermimpi? Tadi Agra memeluknya, mencium keningnya, dan sekarang.... Agra bicara begitu lembut padanya? "A ... gra?" Atha masih tidak percaya bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah kembarannya. "Kalo ada yang bikin lo nangis selain gue, ngomong ke gue. Biar gue hajar dia. Gue akan laksanain tugas gue sebagai kakak. Tapi ... untuk pengakuan di sekolah bahwa kita kembar, maaf, gue nggak bisa." Baiklah. Atha harus senang atau kecewa? "Tapi di sekolah, kita tetep bisa akrab kan?" tanya Atha penuh harap. "Nggak. Gue jagain lo dari jauh. Itu udah lebih harusnya. Jangan ngelunjak." Kata-kata Agra masih sama pedasnya. Baru sekejap Agra memeluk, mencium, dan bicara lembut padanya, kini ia kembali menjadi Agra yang ketus. "Kompres mata lo pake es batu. Jangan keliatan abis nangis. Orang kayak lo nggak pantes nangisin dia," ujar Agra seraya pergi meninggalkan gudang yang gelap dan berdebu itu. Atha diam mengendalikan dirinya. Kenapa ia menangis tadi? Tak tahu. Air matanya keluar begitu saja. Dan Atha baru sadar bahwa dia sedang berada di ... gudang yang gelap. Atha merinding. Ia takut gelap. Gelap, kotor, dan pengapnya gudang ini mengingatkan dirinya pada kejadian saat ia berumur 7 tahun. Saat ia dan Agra ... tidak, tidak, tidak! Tubuh Atha bergetar. Kepingan memori tentang hal itu berkelebatan di pikirannya yang kacau. Kepala Atha pusing. Sebentar lagi mungkin ia akan hilang sadar. Selalu seperti ini. Saat mengingat lagi kejadian itu, Atha pasti ... BRUK! ... pingsan. "Siapa di sana?" Seseorang mendekat saat mendengar suara debaman. "ATHA?" *** Atha mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya dengan matanya yang baru terbuka. Ia di UKS? Siapa yang membawanya ke sini? Agra? Iyakah? Diliriknya jam dinding di ruangan ini. Pukul lima. Semua sudah pulang, tapi kok bisa ya ia ditinggal sendirian di sini? Ah sudahlah, Atha haus. Ia menoleh ke arah meja kecil di sampingnya. Ada secangkir teh. Masih hangat, mungkin memang untuknya. Tapi siapa yang membuatnya? Eh, ada sebuah potongan kertas. Diminum tehnya. Cepat sembuh dan jangan nangis lagi, mata lo bengkak. —Cakra. Oh jadi Cakra yang membawanya ke sini? Atha diam-diam tersenyum samar. Lalu ia meminum teh hangat itu. Ia memang merasakan sikap Cakra padanya berbeda. Tentu ia tidak munafik, Cakra baik. Ia juga peka, bahwa Cakra memiliki rasa padanya. Anggap saja Atha geer, tapi memang begitu adanya. Hatinya sudah ditakdirkan untuk peka. Apalagi saat melihat mata Cakra saat berbicara dengannya. Mata itu simbol kejujuran. Tidak seperti mulut, penuh dusta. "Makasih, Cakra," kata Atha lirih. *** Seseorang yang sedari tadi berdiri di ruangan itu melihat semuanya. Ia berhasil. Berhasil membuatnya tersenyum. Walau ia tahu, senyum itu bukanlah untuknya. Ia memejamkan matanya. Sebenarnya, maunya apa sih? Kenapa ia jadi sangat serakah seperti ini? Ia juga merasa dirinya plin-plan. Diacaknya rambut berjambulnya itu dengan frustasi. Kenapa ia jadi menye-menye seperti ini? Seperti bukan dirinya saja. Saat hendak melangkah pergi, sebuah panggilan menghentikannya. Ia mematung. *** "Atlan?" tanya Atha yang baru keluar dari UKS. Ia berniat pulang. Tapi ia bingung saat melihat Atlan sedang berdiri tak jauh dari pintu UKS. Atlan terdiam. "Belum pulang?" tanya Atha. "Belum. Mau bareng?" tawar Atlan. "Bo—" Atha terdiam. Ingat, Atlan sudah resmi milik Kay. Jangan kurang ajar. "Nggak deh," tolak Atha. "Kenapa?" "Nggak mau ngerepotin. Ya udah, gue duluan ya, takut ketinggalkan bus." Atha melengang. Masih sedikit pusing dan matanya masih agak bengkak namun sudah tidak kentara. Kay pasti sudah menunggunya. Atlan tahu betul apa alasan Atha menolak ajakannya. Ternyata seperti ini rasanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN