Bab 2

1025 Kata
Pertemuan yang singkat, padat dan tak jelas. Pertemuan yang membuat semangat hidup Kayla semakin memburuk. Memang, dia dan Raffa saling kenal. Tapi, bukan berarti mereka bisa langsung akrab begitu saja. Apalagi, mereka tak pernah benar-benar dekat. Hanya tahu karena pernah sama-sama menjabat sebagai ketua ekskul. Diamnya Kayla membuat Raffa serba salah juga. Jika terus bertanya, takut di kira cari perhatian. Padahal niatnya hanya ingin mencairkan suasana beku dan canggung diantara mereka. Karena itu, mereka jadi sama-sama sibuk dengan ponsel mereka. Sedangkan para orangtua sibuk dengan bahasan dunia mereka. Apalagi kalau bukan uang dan bisnis. Mereka berempat sadar kalau Raffa dan Kayla saling mengabaikan. Padahal harusnya mereka mendekatkan diri agar terbiasa jika sudah menjadi suami istri nanti. Namun, pikiran dan hati mereka sudah tertutup. Bagi mereka, yang penting kesuksesan dan kekayaan. Masa bodoh dengan hidup anak mereka nantinya. Selama pertemuan makan malam itu, Kayla dan Raffa saling mendiamkan. Tak mengobrol, tak juga saling sapa. Hanya saat di luar restoran saja mereka saling menyebutkan nama masing-masing. Hanya itu saja. "Raffa, Kayla," Reno memanggil nama dua anak remaja di hadapannya. Serentak, orang yang namanya di sebut langsung mendongak dan menatap si pemanggil nama. "Setelah menikah, kalian tak akan tinggal dengan kami. Kalian akan tinggal di rumah kalian sendiri yang akan kami persiapkan. Masalah pernikahan kalian, kalian harus pintar-pintar sendiri menyembunyikannya dari teman-teman kalian dan sekolah. Kami tak akan membantu dalam hal itu," ucap Reno dengan tegas dan sorot mata tajam. Tak terbantahkan. "Itu benar. Akan menjadi aib bagi kami jika setelah kalian menikah, masih tinggal bersama kami. Para kolega akan menganggap kami tak mampu membelikan rumah mewah untuk kalian," sambung Trisna. Wajah mereka begitu santai dan tenang saat mengucapkan itu. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Raffa dan Kayla mendengar itu semua. "Baiklah. Karena bagi kalian, pencitraan di hadapan orang lain lebih penting," balas Raffa geram. "Oh, tentu saja! Dengan pencitraan dan menjaga nama baik akan membuat kami di kenal banyak orang juga di percaya para pebisnis. Satu lagi, mereka akan menghormati kami juga." Hana berbicara sambil tertawa seolah tak sadar kalau ucapan Raffa merupakan sindiran sarkastik untuk mereka. "Jangan terlalu sinis terhadap jalan hidup dan pikiran kami, Raffa. Karena kami juga, kamu bisa hidup dan makan serba enak. Pakaian bagus dan mahal, juga sekolah di SMA favorit," ucap Linda, ibu Raffa. "Walaupun uang menjadi prioritas, tetap saja kesetiaan kami nomor satu," ucap Trisna. Raffa dan Kayla terdiam mendengar itu semua. Mungkin, alasan yang satu itulah yang bisa mereka berdua tiru nantinya. Walaupun berlimpah harta, mereka tak pernah berkhianat dalam rumah tangga. Setia dan selalu berjuang bersama. "Satu lagi. Setelah menikah kalian jangan dulu punya anak. Tunda dulu jadi orangtua. Sekolah yang tinggi dulu agar kamu bisa sukses seperti kami, Raffa," ucap Linda. Raffa hanya diam mendengarnya. Tak menolak, tak mengiyakan. Lagi pula, dia juga tak berpikiran sampai ke sana. Tugas sekolah dan ujian masih menjadi hal penting yang dia pikirkan. Tak lama kemudian, ada telepon masuk ke ponsel Reno. Reno mengangkatnya dan berbincang sesaat pada si penelepon. Setelah selesai, dia langsung berdiri dan mengajak yang lain untuk segera pergi. "Kami harus menghadiri pesta kolega kami. Kalian pulang saja duluan naik taksi," ucap Reno. Hana bergerak dan langsung menggandeng lengan Reno. Begitu juga Linda yang langsung menggandeng lengan Trisna. "Satu lagi yang belum kami sampaikan. Setelah menikah nanti, kalian tak perlu khawatir masalah biaya hidup. Biaya hidup kamu dan Kayla akan Papa dan Mama tanggung nanti. Tapi, Kayla tak akan mendapatkan jatah lagi dari orangtuanya. Karena setelah menikah denganmu, Kayla menjadi tanggung jawab Papa dan Mama juga," ucap Linda. Hana mengangguk kecil pada Kayla yang terkejut. "Kami pergi dulu." Dan mereka pun pergi bersama meninggalkan Raffa berdua dengan Kayla. Raffa mendesah pelan. Hatinya mengucap syukur karena orangtuanya masih mengerti akan tanggung jawab terhadap anak lelaki. Ya, itu harus mereka lakukan mengingat Raffa tidak bekerja karena masih harus belajar. Tapi, itu karena keputusan mereka sendiri. Mau tidak mau biaya hidupnya dan Kayla nanti harus ditanggung orangtua. Setelah beberapa saat kemudian, Raffa pun mengajak Kayla untuk pulang. Mereka beranjak keluar restoran beriringan. "Di mana rumahmu?" tanya Raffa sebelum dia menyetop taksi. Karena di tanya, Kayla pun menjawab. Menyebutkan alamat rumahnya. "Arah rumah kita satu jalur. Kita naik satu taksi saja," putus Raffa. Dia khawatir juga jika membiarkan Kayla pulang sendirian. Takut Kayla kenapa-kenapa dan dia yang akan di salahkan nantinya. Kayla pun tak banyak protes. Hanya mengangguk menyetujui segala usul Raffa. Setelah menyetop taksi, mereka pun masuk ke dalamnya. Mereka duduk di jok belakang dan seperti tadi, mereka tetap saling diam. Suara radio yang di putar oleh supir mengisi keheningan di dalam taksi. Terkadang, si supir bersiul pelan mengikuti musik. "Mau pergi ke mana?" tanya supir seraya menatap Raffa dan Kayla lewat spion tengah. Raffa pun menjawab dan menyebutkan alamat rumah Kayla. Supir taksi itu pun mengangguk dan memacu mobilnya menuju alamat yang di tuju. Setelah sampai, Kayla langsung keluar dan berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Raffa pun memahami itu dan meminta supir taksi mengantarkannya pulang ke alamat rumahnya. "Den, kalo berantem sama pacar jangan lama-lama. Kasihan si Eneng nya. Jadi murung," ucap supir taksi itu menasehati. Raffa yang mendengar itu tersenyum kecil. "Kami tidak pacaran, Pak," balas Raffa. "Ehm, lagi berantem aja gak di akui pacar si Eneng nya. Kalo lagi baikan mah, hem," ucap si supir lagi membuat Raffa tersenyum geli. "Satu lagi, Den. Kalo pacaran, jangan malam-malam. Masuk angin lalu kembung baru tahu rasa nanti. Soalnya, setan itu gak akan bilang permisi kalau mau beraksi," nasehat si supir lagi. Raffa tertawa pelan mendengarnya. Dia paham betul apa maksud pak supir itu. Menghargai nasehat si supir, Raffa pun membalasnya dengan anggukkan kepala pelan. "Iya, Pak. Terima kasih nasehatnya," balas Raffa. Tak lama kemudian, Raffa pun sampai di rumahnya. Dia segera keluar dari taksi dan membayar ongkos. "Terima kasih sudah mengantarkan saya, Pak," ucap Raffa. Setelah membayar ongkos, Raffa pun segera masuk ke rumahnya. Rumah megah nan mewah namun memiliki aura yang tak menyenangkan. Tak ada kehangatan yang terpancar dari rumah itu. "Hah. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi kenangan," gumam Raffa. Hati kecilnya berharap semoga rumah barunya nanti bisa menjadi tempat paling nyaman saat dia pulang. Tempat yang akan selalu dia rindukan di mana pun dan kapan pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN