02 - Setan Gila!

1054 Kata
Rasanya aku bisa benar-benar gila jika harus seperti ini terus. Aku menatap file di depanku dengan malas. Aku benar-benar tidak bisa fokus pada pekerjaanku saat aku tahu ada orang lain yang memperhatikanku. Bahkan sekretarisku saja tidak bisa bebas keluar-masuk ruanganku. Dan sekarang apa? Anak kucing sialan itu terus menempeliku dan memperhatikanku dari sofa? Dia benar-benar ingin mengusikku selamanya? "Oh ayolah! Kau bisa jalan-jalan ke sekeliling kantor atau mana saja, asal kau berhenti menatapku seperti itu!" pintaku. Aku sangat frustrasi menghadapinya. Aku tahu, wanita adalah makhluk paling sulit dimengerti di muka bumi. Tapi aku baru tahu kalau mereka akan berkali-kali lipat menjadi lebih menyebalkan saat sudah menjadi hantu seperti ini. Atau memang hanya dia saja? "Keluar ruangan ini tanpamu? Oh ... tentu saja tidak bisa. Lagi pula aku senang kok menemanimu di sini," balasnya sembari tersenyum lebar ke arahku yang justru membuatku semakin merasa ngeri. Aku memijat pelipisku yang terasa semakin pening. Jika saja dia manusia, aku tak perlu repot-repot memikirkannya. Aku tinggal harus memanggil bagian keamanan untuk mengusirnya. Tapi masalahnya, dia hantu yang tak bisa dilihat oleh orang lain selain aku. Sial! Kenapa juga harus aku, sih? Sebesar apa dosaku di masa lalu, sampai di kehidupanku yang sekarang aku harus terlibat dengan setan annoying sepertinya? "Apa pekerjaanmu masih sangat banyak? Tapi kamu terlihat santai-santai saja dari tadi," oceh Lucy. Apa katanya tadi? Santai-santai? Dasar setan gila! "Kalau kamu masih ingin berada di sini, diamlah! Suaramu sangat mengganggu!" tegurku. "Padahal aku nggak ribut-ribut amar. Lagian kan-" Ucapannya terpotong setelah ia menyadari jika aku sedang menatapnya. "Hehe... iya, maaf," ungkapnya yang kemuduan bergerak seolah-olah sedang mengunci mulutnya dan membuangnya jauh. Baiklah. Aku tidak punya terlalu banyak waktu lagi. Aku harus segera menyelesaikan tugasku sebelum istirahat makan siang. Aku sudah berulang kali berusaha. Tapi nyatanya keberadaan Lucy benar-benar membuyarkan fokusku. 'Cklek' Pintu ruanganku terbuka. Di sana, tampak sahabatku yang tengah membawa map berwarna kuning di tangannya. "Pagi, Pak Arthur," sapa Ridho, sohibku sejak SMP, dan kini menjabat sebagai salah satu petinggi perusahaanku, plus tangan kananku. Aku sama sekali tidak terkecoh dengan sopan santunnya saat memanggiku 'Pak' karena ia mengatakannya dengan nada selengekan. "Pak Arthur kerjaannya masih numpuk aja. Mau dibantu? Siapa tahu bonus bulanan nambah," ucap Ridho. Padahal aku sudah memberinya gaji cukup tinggi. Tapi ia masih saja sering meminta tambahan bonus. Lama-lama, dia bisa lebih kaya dariku kalau begini caranya. "Oh... jadi nama kamu Arthur?" Aku tidak tahu sejak kapan Lucy berada di sampingku. Aku terpenjat, hingga membuat Ridho menyerit kebingungan. "Kesambet, Pak Bos? Perasaan nggak ada apa-apa. Tiba-tiba kaget aja. Ada kutu terbang memangnya?" tanya Ridho. Aku melirik ke arah Lucy yang kini sedang merengut kesal. Lucu sekali setan kecil itu. Pasti ia kesal karena Ridho yang menyebutnya kutu terbang. "Eh sekarang malah ketawa-ketawa. Pak Bos kehabisan obat?" tanya Ridho lagi. Aku menatapnya tajam. Ia sedang menjahiliku? Tahu apa kejahilan yang bisa membalasnya dalam sekali pukulan? Mari kita coba! "Nantangin? Minta gaji dipotong 50%?" Ridho tampak kesusahan menelan salivanya. "Canda doang, elah. Oh iya ini laporan yang kamu minta. Periksa gih! Biar aku bisa cepat keluar makan siang," pinta Ridho. "Bosnya aku atau kamu?" tanyaku. Bisa-bisanya dia malah yang memerintahku. Ngelunjak nih anak. Nggak lihat apa tumbukan pekerjaanku di atas meja saja masih setebal ini. "Pak Bos Arthur, dong. Aku mana sanggup ngasih gaji orang sekaya Pak Bos? Jajanin gorengan aja dompet gemeteran," canda Ridho. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar ocehan Ridho. Sementara Lucy tertawa renyah di sampingku. "Omelin aja, Arthur! Kerjain! Dia habis berbuat seenaknya tuh sama kamu!" Lucy mengompori. Ide bagus. Sepertinya Ridho memang harus diberi sedikit pelajaran. "Berhubung aku bosnya, kamu pengin pekerjaanmu segera aku periksa padahal pekerjaanku sendiri masih banyak, gimana kalau kamu bantu pekerjaanku saja?" tanyaku pada Ridho. "Hahahah... mampus! Makan tuh tumpukan file isinya nggak jelas semua!" Tawa Lucy semakin menggelegar. Seakan ia puas dengan hukuman yang aku berikan pada Ridho yang tadi sempat menyebutnya kutu terbang. "Eh, kok-" "Ya kali sama Bos nggak nurut, ya kan? Bisa bahaya kalau gaji tiba-tiba kepot-" "Oke siap, Pak Bos! Sini! Mana file yang harus aku bantu periksa?" pinta Ridho. Aku tersenyum miring. Aku memilah-milah file yang hanya tinggal perlu dicek saja. Lalu, aku memberikan sekitar tujuh puluh lima persennya pada Ridho, hingga anak itu membulatkan matanya. "Nggak salah sebanyak ini?" tanya Ridho. Aku tak menjawab. Aku hanya perlu menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi hingga akhirnya ia sadar diri. "Hahah... kicep juga kan, akhirnya!" seru Lucy kesenengan. Entah mengapa, sudut bibirku sedikit terangkat melihat Lucy bisa tertawa selepas itu. Ia tampak lebih menggemaskan saat tertawa seperti ini. "Kenapa ngelihatin aku sampai segitunya? Aku cantik, ya?" tanya Lucy, membuat senyum di bibirku langsung luntur. Kuakui ia memang cukup cantik. Tapi sebenarnya tidak secantik itu juga untuk membuatnya jadi terlalu percaya diri. "Biasa saja," jawabku dengan nada dingin. "Apa?" tanya Ridho yang kini ada di sofa yang tadi Lucy duduki. "Orang aku lagi baca file ini. Kenapa?" alibiku. Ridho tampak mengedikkan bahunya lalu kembali fokus pada pekerjaan yang kuserahkan padanya. "Kamu senang aku mengerjainya? Dia sahabatku padahal," tanyaku ke Lucy dengan sedikit berbisik. "Dia mengataiku kutu terbang. Mana ada kutu terbang semenggemaskan diriku. Iya, kan?" Aku terkekeh mendengarnya. Setàn satu ini benar-benar memiliki tingkat kepercayaan diri yang mengerikan. Aku menatap Lucy yang tengah memegangi perutnya sambil mengerutkan bibirnya. "Kenapa?" "Lapar. Kapan kamu akan makan siang?" tanyanya balik. Aku bahkan baru tahu hantu masih bisa merasakan lapar. Lalu, apa yang biasanya dimakan hantu? "Mau makan apa?" tawarku. "Sop iga enak kayaknya siang-siang gini. Sama minumnya frappucino ya!" seru Ridho. Telinganya menjadi sangat peka saat mendengar orang membahas soal makanan. Sungguh mengerikan. Aku kembali menatap ke arah Lucy yang tidak sabar menyampaikan pesanannya. "Pesankan saja apa yang dia mau! Aku punya rencana lain untuk mengerjainya!" ucap Lucy penuh semangat. Aku tersenyum miring. Gadis ini benar-benar ajaib. Dan anehnya, kenapa aku menurut saja dengan apa yang ia katakan? "Kamu yang pesan, Ridho! Aku mau sop ayam kampung dan air mineral. COD saja biar sekretarisku yang urus!" suruhku. Ridho tampak semangat mengerjakan perintahku kali ini. Ia kesenangan karena aku akan mentraktirnya. Namun aku tak peduli. Karena aku terlalu fokus memikirkan apa yang akan Lucy lakukan pada si sialan itu. "Yoohoo!" seru Lucy kesenengan sambil membanting pantatnya di lengan kursiku. Kami bahkan nyaris jatuh andai saja aku tidak sigap menahan kursinya. Aku menatapnya tajam, dan ia hanya cengengesan seperti anak kecil yang minta ditoleransi kesalahannya. Dasar setan kecil satu ini!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN