13 - Sama-sama Gengsi

1861 Kata
Aku menutup pintu kediamanku dengan sedikit tidak santai. Entahlah. Tapi sejak tadi aku memang merasa seperti orang yang sedang terburu-buru. "Anda sudah pulang, Tuan? Makan malamnya sudah saya siapkan. Tadi Nona Lucy tidak memesan makanan apapun, jadi saya masakan saja makanan kesukaan Anda," ujar Bi Ningsih menyambutku. "Sekarang, di mana dia?" tanyaku to the point. Apa-apaan ini?! Kenapa Lucy menjadi hal yang aku tanyakan pertama kali saat aku sampai di rumah? Apa ini tidak terlalu berlebihan? Yang benar saja, ia tidak sespesial itu. "Entahlah, Tuan. Tapi Lawu ada di catroom. Jadi saya rasa-" Tanpa menunggu jawaban Bi Ningsih, aku bergegas menuju catroom. Menurut dugaanku, mungkin saja Lucy ada di sana. Dan ternyata benar. Aku langsung membeku saat melihat gadis yang sejak tadi kucari itu berbaring menyamping memeluk Lawu. Ia tidur di atas lantai yang dingin tanpa alas apapun. Apa dia baik-baik saja? Aku meletakkan paper bag di tanganku secara perlahan. Lalu, aku menghampiri Lucy yang masih tampak sibuk dengan dunia mimpinya. "Kamu beneran tertidur di sini? Apa badanmu tidak sakit-sakit?" tanyaku pelan. Lucy tampak tak bergerak sedikitpun. Ia masih memejamkan mata sembari memeluk kucing abu-abu kami. "Nona Lucy di sana, Tuan?" tanya Bi Ningsih menyembulkan kepalanya ke catroom Lawu. Aku mengangguk. "Bi, itu ada oleh-oleh dari Angel. Tolong diurus dulu, ya!" pintaku. Bi Ningsih mengangguk lalu membawa paper bag berisi oleh-oleh dari Angel menyingkir. Aku kembali fokus pada Lucy. Apa ia benar-benar tertidur? Apa dia baik-baik saja tidur dengan keadaan seperti ini? "Hey, bangunlah! Sudah jam makan malam." Aku masih terus berupaya membangunkannya. Lagi pula, memangnya ada hal lain yang bisa aku lakukan? Tidak mungkin juga kan aku harus mengangkatnya lalu memindahkannya ke kamar seperti di n****+-n****+? "Lucy," panggilku lagi. Kali ini aku mulai memberanikan diri untuk menyentuh pipinya. Tampak gadis itu bergumam. Sepertinya usahaku mulai membuahkan hasil. "Bangunlah! Ayo kita makan malam!" ajakku. Lucy kembali bergumam tidak jelas. Lalu, matanya perlahan terbuka. "Ini yang kamu maksud jam tiga sore?" sindirnya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Aku menghela napas panjang. Lagi pula? Memangnya aku salah menikmati akhir pekanku dengan tunanganku? Lucy bangkit, duduk bersandar pada dinding ruangan. Aku pun masih dengan posisi yang sama, bersimpuh di dekatnya. "Apa kamu tidak merasa kesakitan tidur dengan posisi seperti tadi?" tanyaku. "Enggak tuh. Biasa aja. Aku jadi curiga. Apa jangan-jangan dulunya aku gelandangan yang tinggal di jalanan? Jadi aku merasa biasa saja saat tiduran di lantai?" Aku memutar bola mataku malas. "Gelandangan yang tahu banyak soal makanan dan suka meminta ini itu padaku?" Lucy menggaruk tengkuknya sambil terkekeh. Aku segera bangkit. Aku menunduk menatap Lucy yang masih tak beranjak dari posisinya. "Tidak mau makan malam?" tanyaku. "Entahlah. Rasanya aku sedang malas makan," jawabnya. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Tapi dari suaranya, ia terdengar lesu. Apa terjadi sesuatu padanya saat aku tidak ada? "Ya sudah kalau tidak mau." Aku terlalu gengsi untuk menanyakan alasan perubahan sikapnya yang tiba-tiba ini. Dengan berat hati, aku pun meninggalkannya di sini bersama Lawu. Dasar tidak tahu diuntung! Apa dia tidak tahu kalau aku langsung ke sini untuk mencarinya sasaat sampainya di rumah? Merepotkan saja. Kalau tahu dia tidak mau makan malam, untuk apa aku tadi repot-repot mencarinya? Aku menatap meja makan dengan malas. Padaha jelas-jelas di sana ada beberapa jenis makanan kesukaanku. Tapi entah kenapa mood-ku yang sedang kacau ini membuatku jadi tidak begitu berselera. Aku memilih ke kamar terlebih dahulu. Mungkin mandi air hangat bisa sedikit memperbaiki suasana hatiku sehingga aku bisa lebih menikmati makan malamku nantinya. Dua puluh menit berlalu. Kini aku sudah kembali ke ruang makan. Aku duduk sendirian di kursiku. Hal yang biasa aku lakukan sejak usiaku masih muda. Tapi, entah kenapa kini aku merasa seperti ada yang kurang. Apa yang kurang sih, Arthur? Bukankah dari dulu kamu terbiasa makan sendiri seperti ini? Kenapa kamu harus mencari sesuatu seakan kamu asing dengan suasana seperti ini? "Selamat makan, Tuan, Nona," ujar Bi Ningsih. Aku menoleh ke arah wanita paruh baya itu. Pasti ia menduga kalau Lucy sudah ada di sini. Lihatlah! Bahkan Bu Ningsih sudah menyiapkan seperangkat alat makan untuknya. Tapi dengan egoisnya ia bilang ia sedang tidak ingin makan malam. Dasar setan sialan! "Dia tidak ada di sini. Jadi tidak perlu mengucapkan selamat makan untuknya!" ujarku dengan nada sedikit kesal. "Apa? Nona Lucy melewatkan waktu makannya lagi?" tanya Bi Ningsih. Aku menyerit. "Lagi?" ulangku. "Iya, Tuan. Sepertinya tadi siang Nona Lucy juga tidak makan. Hidangan yang saya sajikan tampak utuh," terang Bi Ningsih. Dasar setan tidak tahu diuntung! Katanya dia senang bisa makan enak di rumahku. Tapi, kenapa setelah mendapatkan apa yang dia inginkan malah dengan mudahnya ia menyia-nyiakannya? Emosiku tersulut. Aku kembali bangkit menuju ke catroom dengan langkah terburu-buru. Hap Aku menghentikan langkahku saat aku berhasil menemukan gadis itu. Dia tampak sedang duduk termenung sembari menunggu Lawu yang sedang menyantap makan malamnya. Aku menangkap sinyal kepedihan di mata gadis itu. Sebenarnya, apa yang terjadi padanya seharian ini? Seingatku ia tidak sesuram ini saat aku tinggalkan tadi. "Apa ada sesuatu yang berjalan tidak seperti semestinya?" tanyaku pada Bi Ningsih yang ada di belakangku. "Tidak, Tuan. Pakaian yang Anda pesan juga sudah datang dan sudah saya tata sesuai arahan Anda," jawab Bi Ningsih. Lalu apa yang membuat Lucy jadi semuram ini? "Lucy," panggilku. Ia mendongak dengan ekspresi sendunya. Menatapku dengan tatapan yang membuatku sedikit merasa ngilu di relung hatiku. "Hmm" aku berdehem. Berusaha menormalkan perasaan aneh di dadaku yang timbul setelah mendapati tatapannya yang seperti itu. "Ayo makan malam!" ajakku. "Aku sedang tidak ingin makan," jawabnya. Andai bukan karena ekspresi itu, sudah aku pastikan jika aku akan mengomelinya habis-habisan. Enak saja ia mau membuang-buang makananku begitu saja! "Tadi siang kamu tidak makan. Dan sekarang kamu masih tidak mau makan juga?" tanyaku. "Aku hantu. Tidak akan terlalu berpengaruh untukku mau aku makan ataupun tidak," ujarnya. Bukankah ia paling tidak suka jika aku mengingatkan statusnya yang satu itu? Tunggu! Apa aku ada salah bicara yang membuatnya tersinggung kemudian bersikap seperti ini? Aku berusaha memutar otakku. Mengingat-ingat kejadian apa saja yang kami alami sebelum aku pergi menemui Angel. Tidak ada. Seingatku aku tidak mengatakan apapun yang berpotensi menyakiti hati seorang wanita. Tapi, kenapa dia jadi bersikap seperti ini? "Apa aku ada salah padamu? Aku salah bicara?" tanyaku. Lucy menatapku dengan tatapan sendunya. Ia menggeleng kecil. "Aku hanya sedang benar-benar tidak ingin makan." Aku tahu dia berbohong. Pasti ada sesuatu yang sedang berusaha ia tutupi dariku. "Tapi aku butuh teman makan. Aku tidak suka makan sendirian," ucapku asal. "Kamu bisa minta tolong pada Bi Ningsih," usulnya. "Bi Ningsih sudah makan," jawabku ngawur. Lucy tampak menghela napas panjang dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Kenapa dia jadi tampak malas melihat ke arahku? Apa ada yang aneh denganku? Apa malam ini penampilanku tidak cukup baik untuk ia lihat? "Kamu tidak mau berterima kasih padaku? Aku sudah menyiapkan apapun yang kamu mau. Makanan enak, pakaian, tempat bernaung. Aku berusaha bersikap sebaik mungkin padamu. Tapi, menemaniku makan malam saja kamu tidak mau," protesku. Lucy masih enggan menyahutiku. Oh ayolah, apa lagi yang harus aku katakan untuk membujuknya tanpa harus menurunkan harga diriku? "Aku tidak biasa makan sendiri. Terlebih makan malam. Jadi, sebagai ucapan terima kasihmu, aku memintamu-" "Bukankah selama ini kamu terbiasa hidup sendiri? Sebelum kedatanganku, memangnya kamu selalu makan malam bersama siapa?" potongnya. Sialan! Setan kecil ini bisa berbicara menohok juga rupanya. Lagi pula, kenapa dia jadi membawa-bawa kesendirianku itu? Apa dia berniat mengejekku? "Kamu berniat mengatakan aku sebagai pria kesepian? Andai kamu tahu saja, aku-" "Kapan aku berkata begitu? Aku tahu kok, kamu memang tipe orang anti sosial. Jadi, sejak kapan kamu makan malam saja harus ditemani?" potongnya lagi. Aku menggeram kesal. Aku semakin terpojok, tidak tahu harus menjawab apa. Tuduhannya padaku benar. Dan pertanyaannya benar-benar menjebak. Sialan! Dia berniat mempermainkanku? Atau justru aku sendiri lah yang terjebak dalam permainanku? "Bisakah kamu menemaniku makan malam?" pintaku. Kali ini aku sedikit menurunkan egoku. Persetan jika Lucy mau merendahkanku dan menganggap aku sedang memohon padanya. Aku hanya ingin ia ada di meja makan bersamaku malam ini. Lucy mulai beranjak dari posisinya. Apa itu artinya ia mau mengabulkan permintaanku itu? Sial! Kenapa hal sepele seperti ini saja bisa membuatku begitu bahagia? "Ayo buruan!" ajaknya. Ia berjalan mendahuluiku menuju ke ruang makan. Aku memutar tubuhku. Menatap Bi Ningsih yang memandangku dengan kedua alis yang menyerit menjadi satu. "A- ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tanyanya. "Tidak. Bibi boleh beristirahat sekarang," jawabku. Setelah itu, aku mengikuti Lucy menuju ke meja makan. "Makanlah! Rendang adalah satu makanan kesukaanku akhir-akhir ini. Jadi aku mau kamu juga ikut memakannya malam ini," suruhku. Lucy menatapku malas. Tapi aku tak gentar, mendesaknya melalui tatapanku agar ia mau melakukan apa yang kuperintahkan. Akhirnya, ia pun segera mengambil nasi dan dua potong rendang ke piringnya. "Makan yang lahap! Jangan lupa sambal gorengnya juga dicicipi! Kasihan Bi Ningsih sudah masak banyak-banyak kalau akhirnya hanya terbuang," ujarku. Lucy melayangkan tatapan protesnya padaku. Meski pada akhirnya ia menurut dan segera mengambil satu per satu lauk yang ada di atas meja. Masakan Bi Ningsih seolah menyihir gadis itu pada suapan pertamanya. Aku tersenyum lega saat melihat Lucy sudah kembali makan dengan lahap. Entah karena masakan Bi Ningsih yang memang enak, atau gadis itu kelaparan? Aku tak peduli. Yang penting sekarang aku bisa memastikan kalau dia baik-baik saja. * Selesai makan malam, aku segera ke kamar untuk menggosok gigi. Tapi, Lucy tak juga menyusulku sekeluarnya aku dari kamar mandi. Aku berniat mencarinya di bawah. Tapi, saat membuka pintu, aku hampir saja memekik kaget karena ternyata gadis itu sudah berdiri di sana. "Kamu-" "Boleh tidak malam ini aku tidur bersama Lawu?" tanyanya cepat, sampai-sampai memotong ucapanku. Aku terdiam sejenak. Menatap matanya yang masih tampak tak secerah biasanya. Hari ini dia benar-benar tampak aneh. "Sudah aku bilang kan, Lawu tidak boleh tidur di kamarku. Jangan mentang-mentang tadi aku mengizinkanmu membawanya di sini, lalu kamu mau dia tidur malam di sini juga, Lucy!" tegurku. Dia mendengus. "Aku saja yang tidur di kamar Lucy. Aku juga tidak bermaksud lancang kok. Aku cuma minta izin. Kalau aku lancang, ngapain aku susah-susah ke sini hanya untuk minta izin?" Loh, kenapa malah dia yang emosi? "Kamu mau tidur di ruangan kucing? Yang benar saja?!" kagetku. "Aku sedang tidak mau lama-lama melihatmu. Jadi-" "Sebenarnya ada apa? Apa aku membuat salah padamu?" tanyaku. Aku tak sabar lagi. Aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatnya mendadak menjadi sedingin ini padaku. Dia menggeleng dan kembali tampak lesu. Astaga, sebenarnya gadis ini kenapa, sih? "Ada masalah sama bajunya? Atau aku tadi sempat berbicara yang membuatmu tersinggung?" tanyaku. Pokoknya aku akan terus mendesak hingga gadis ini mengatakan yang sebenarnya. "Tidak ada. Kamu baik padaku. Memberiku tempat tinggal, memberiku makanan enak, baju bagus, dan bahkan kamu mau bicara padaku," ujarnya. "Ya lalu kenapa? Tidak mungkin kamu tiba-tiba seperti ini tanpa ada sebabnya," geramku. "Aku juga tidak tahu. Tapi aku hanya sedang tidak ingin melihatmu," jawabnya. Sialan! Aku sangat tidak suka dengan jawabannya. Apa dia tidak bisa langsung mengatakannya saja tentang alasan yang membuatnya seperti ini? "Lucy, aku-" "Aku akan kembali bersikap biasa kalau perasaanku sudah lebih baik. Tapi untuk kali ini, aku benar-benar tidak tahu kenapa, aku sedang tidak ingin melihatmu terlalu lama," potongnya. "Tolong jangan memaksaku! Aku bisa benar-benar menangis kalau kamu masih terus memaksaku bicara hal yang bahkan tidak bisa aku mengerti," pungkasnya. Astaga gadis ini...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN