Skripsian di Rumah Bu Dosen

1373 Kata
Sejak Clea berjanji untuk membantu Argya mengerjakan skripsinya, wanita itu sering bertemu dengan Argya. Clea sedikit bingung mengapa pria itu setiap hari ke kampus, padahal dia bisa mengerjakan skripsinya di rumah. Namun demikian, Clea tidak menaruh curiga bahwa Argya sebenarnya ke kampus hanya untuk melihat dirinya. Setelah mengajar jadwal kuliah siang, Clea bermaksud ke kantin untuk makan siang karena hari ini dia lupa menyiapkan bekal seperti biasanya. Clea memesan semangkuk bakso dan sebotol air mineral. Dia terlihat celingukan mencari kursi kosong untuk menyantap makanannya. “Bu Clea,” panggil seseorang yang berada di belakang Clea, dia adalah Argya yang memanggil Clea untuk bergabung bersamanya. Clea yang melihat kursi di depan Argya kosong, langsung duduk disana. Setelah duduk di depan Argya, Clea langsung melahap baksonya dengan pelan. Sementara Argya telah menghabiskan makanannya dan malah memandang Clea yang sedang makan. Clea yang merasa Argya memerhatikannya, menghentikan kegiatan makannya dan ikut memandang Argya dengan tatapan bertanya. “Kenapa?” “Gapapa kok bu,” jawab Argya dengan senyum manisnya. Setelah mendapat jawaban seperti itu, Clea melanjutkan makanannya kembali tanpa menghiraukan tatapan Argya. “Oh iya bu, saya sudah merevisi skripsi saya. Kira-kira kapan saya bisa bimbingan ke ibu lagi?” tanya Argya dengan nada sedikit bersemangat karena akan bimbingan bersama dosen tercintanya ini. “Kamu bimbingan ke dosen pembimbingmu dulu, baru ke saya,” jelas Clea sambil memotong-motong pentol baksonya. Ketika Argya mendengar perkataan Clea, lelaki itu langsung lesu dan semangat yang tadi menggebu telah hilang. Kalau Argya bimbingan ke dosen pembimbingnya, otomatis dia harus melakukan revisi lagi sebelum bimbingan ke Clea. Hal itu akan memakan waktu lebih lama lagi untuk berduaan dengan Clea. Revisi setelah ujian proposal kemarin saja memakan waktu 5 hari, apalagi nanti setelah bimbingan ke dosen pembimbing. “Baik bu,” Argya membalas pernyataan Clea dengan lesu. *** Seminggu telah berlalu, Argya telah bimbingan dengan dosen pembimbing dan telah merevisi hasil bimbingannya. Hari ini waktu Argya bimbingan dengan Clea. Clea menyuruh Argya datang ke apartemennya untuk melakukan bimbingan, karena hari ini Clea cuti mengajar akibat merasa tidak enak badan sejak semalam. Argya yang sudah diberikan lokasi apartemen Clea lewat pesan, langsung berangkat ke apartemen Clea. Sesampainya di apartemen Clea, Argya menekan bel pintu apartemen itu. Beberapa menit kemudian pintu itu dibuka Clea dan nampaklah penampilan berantakan Clea dengan wajah pucatnya. “Udah sampai,” ucap Clea ketika melihat keberadaan Argya di depan pintunya, “yuk masuk,” lanjut Clea mempersilakan Argya memasuki apartemennya. Keduanya memasuki apartemen Clea bersamaan. Ketika Argya memasuki apartemen dan meniliti isinya, lelaki itu cukup terkesan dengan tatanan interior di dalam apartemen itu. Selain itu, apartemen Clea tidak terlihat berantakan seperti apartemen miliknya, sehingga membuat Argya nyaman berada disana. “Kamu duduk sini aja, saya ambil laptop saya dulu,” ujar Clea menyuruh Argya menunggunya dengan duduk lesehan di ruang tengah apartemennya, sedangkan Clea pergi ke kamar untuk mengambil laptopnya. “Kamu mau minum apa, Argya?” tawar Clea yang baru keluar kamar sambil membawa laptopnya, lalu wanita itu duduk di depan Argya yang telah mempersiapkan laptop di meja kecil. “Air putih aja, bu,” jawab Argya merasa tidak enak karena ditawari minum. “Ok, tunggu ya,” Clea menaruh laptopnya di samping laptop Argya, lalu berjalan meninggalkan Argya untuk mengambil minum untuk lelaki itu. Beberapa menit kemudian, Clea kembali menghampiri Argya dengan segelas air dan menaruhnya di dekat laptop mereka. “Ibu gapapa? Kalau masih tidak enak badan, saya bimbingan lain waktu saja bu,” Argya sedikit khawatir ketika melihat wajah pucat Clea yang sedang membaca skripsi Argya di laptopnya. “Gapapa kok, Cuma sedikit mual aja. Kalau buat mikir masih bisa,” jawab Clea sambil tersenyum menenangkan Argya. Akhirnya Argya tidak bertanya lagi dan membiarkan Clea mengoreksi skripsinya. Sesekali Clea bertanya tentang kalimat-kalimat yang sedang Argya utarakan dalam skripsinya. Namun, ketika di pertengahan Clea menjelaskan teori yang harus Argya gunakan dalam skripsinya, tiba-tiba rasa mual yang dari kemarin dirasakan Clea kambuh. Wanita itu langsung berlari ke kamar mandi di apartemennya untuk memuntahkan isi perutnya. Argya yang melihat Clea berlari ke kamar mandi, langsung mengikutinya dari belakang. Lelaki itu sedikit khawatir dengan keadaan Clea. Kamar mandi tidak sempat Clea tutup karena rasa mualnya sudah tidak dapat dibendung. Argya menatap khawatir Clea sambil memijat tengkuk Clea ketika lelaki itu berhasil menyusulnya ke kamar mandi. Setelah dirasa cukup tenang, Clea menatap ke arah Argya yang berada di belakangnya, “makasih ya, Argya. Maaf, pasti kamu jijik yah,” “Gapapa kok bu. Ibu sudah periksa ke dokter? Kalau belum, saya anter saja bu,” tawar Argya. “Nggak usah repot-repot. Mungkin karena kemarin makan sembarangan,” tolak Clea yang tidak ingin merepoti Argya. “Nggak repot kok bu, ayo bu,” kali ini Argya memaksa Clea dengan menarik pergelangan dosennya itu agar mengikutinya menuju rumah sakit terdekat. Karena paksaan dari Argya, akhirnya Clea mau tidak mau menuruti kemauan. Sesampainya di rumah sakit mereka mengambil antrian dan menunggu nama Clea dipanggil. Ketika tiba giliran Clea, Argya membantu Clea untuk dibantu ke brangkar untuk diperiksa karena Clea merasa tubuhnya sedikit lemah. Sejak pagi dia belum makan apapun karena mual yang terus menghampirinya di setiap pagi. “Suaminya bisa tunggu di kursi,” pinta dokter yang menyuruh Argya duduk di kursi yang ada tidak jauh dari brangkar. Dimana disana terdapat meja dan kursi kerja dokter, serta dua kursi di depannya. “Saya-“ Argya berniat membantah ucapan dokter yang menganggapnya sebagai suami Clea. Namun, ketika melihat Clea hanya diam dan tidak berniat membantah, akhirnya Argya memilih diam. Lagipula dia suka dengan sebutan suami untuk Clea. Argya memilih menunggu Clea diperiksa dengan duduk di salah satu dari dua kursi yang ada di depan meja dokter. Tidak butuh waktu lama bagi dokter itu memeriksa Clea, keduanya menghampiri Argya. Dekter duduk di kursi kerjanya, sedangkan Clea di samping Argya. Sebelum dokter menjelaskan penyakit Clea, dia tersenyum senang sambil menatap bergantian ke arah Clea dan Argya. Clea dan Argya yang mendapat senyuman itu menjadi sedikit canggung dan berpikir yang tidak-tidak. “Sebelumnya saya ucapkan selamat untuk kalian,” ucap dokter yang membuat Clea dan Argya saling berpandangan, “saat ini bu Clea sedang mengandung buah cinta kalian. Janinnya masih cukup muda berumur 3 minggu. Harap bu Clea menjaga kesehatan ibu dan janin, selalu check up untuk perkembangan janinnya,” lanjut dokter seketika seperti petir yang menyambar di siang hari dan membuat Argya dan Clea terkejut. Setelah ucapan dokter, bukan kebahagiaan yang dilihat dokter itu pada raut wajah dua orang di depannya melainkan raut cemas dan takut. Dokter itu juga dapat melihat Clea yang seperti ingin menangis. Namun, dokter itu berpikir mungkin Clea terlalu bahagia sehingga ingin menangis terharu. “Sekali lagi selamat yah pak,” dokter itu mengulurkan tangannya ke arah Argya. Argya yang mendapat uluran tangan itu, mulai mengangkat tangannya dengan gelagapan dan membalas uluran tangan dokter. Setelah dokter memberikan nasehat untuk ibu hamil dan meresepkan beberapa obat untuk meredakan rasa mual Clea, kini keduanya pun keluar dari rumah sakit untuk kembali ke apartemen Clea. Sepanjang perjalanan, Clea terus melamun sambil merebahkan kepalanya pada punggung Argya yang sedang memboncengnya dengan motor vespa kesayangannya. Tanpa sadar sebutir air mata mulai turun di kedua mata Clea ketika mengingat ia harus membesarkan bayinya nanti seorang diri tanpa adanya seorang suami. Clea merasa marah dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga diri ketika datang ke bar sehingga dijebak pria aneh dan berakhir tidur dengan pria tak dikenalnya. Sekarang Clea tidak tahu harus meminta pertanggungjawaban kepada siapa? Berbeda dengan Clea, Argya memikirkan jangka waktu dari usia kandungan Clea. Jika dihitung-hitung berarti pembuatannya tepat saat Argya membantu Clea menuntaskan gairahnya di kamar bar. Itu artinya janin yang dikandung Clea adalah milik Argya. Argya yang mengetahui fakta tersebut mengubah raut wajahnya menjadi sedikit takut. Apalagi Argya belum lulus kuliah, bagaimana cara dia bisa tanggungjawab? Untuk membiayai kehidupannya sehari-hari saja, Argya harus menghemat dari gaji bartender. Apalagi kalau ditambah tanggungan menghidupi Clea dan anaknya? Pasti akan semakin banyak pengeluaran Argya. Kedua orang tua Argya sudah lepas tangan dari kebutuhan sehari-hari Argya, sehingga lelaki itu harus bekerja banting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri. Kesampingkan kebutuhan rumah tangganya nanti, mari fokus pada biaya pernikahan yang harus Argya keluarkan. Apalagi lelaki itu tidak mengenal kedua orang tua Clea. Lelaki itu takut Clea berasal dari keluarga kaya yang menuntut suaminya untuk mengadakan pernikahan mewah atau perayaan daerah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN