PART. 8

1591 Kata
Tari melirik Raka yang melepas sarungnya. 'Aiih dia melepas sarungnya, setelah itu pasti melepas bajunya, lalu celananya, duuuh sudah tidak sabar rasanya, ingin lihat senjata si Aa' Tapi perkiraan Tari salah, karena Raka justru menutupkan sarung ke tubuh Tari yang terbuka, baru ia memijit pinggang Tari dengan sarung membatasi kulit tangannya dengan kulit pinggang Tari. 'Ya ampuuuun, sebenarnya si Raka ini normal apa tidak sih, kok nggak ada ngiler-ngilernya lihat badanku, jangan-jangan...oh noooo...' Tari terlonjak bangun, Raka sampai terjengkang kebelakang. "Ada apa!?" Tanya Raka dengan wajah meringis karena pantatnya yang membentur lantai terasa sakit. Raka duduk di atas lantai yang beralaskan tikar palstik. "Aa ini pria normal atau tidak sih!?" Seru Tari langsung bertanya akan apa yang terlintas di dalam pikirannya. "Maksudnya normal bagaimana?" "Aa suka sama perempuan tidak?" "Suka sama perempuan bagaimana?" "Ya ampuuun! Hehhh..." Tari menggaruk kepalanya. Lalu ia berdiri di depan Raka. "Aa punya nafsu nggak sama perempuan!?" "Haah!?" Raka mendongakan kepalanya menatap Tari yang berdiri di depannya, paha putih mulus Tari begitu dekat dengannya. Cepat Raka menundukan kepalanya, dipejamkan mata dan ditarik dalam napasnya. Saat ia membuka matanya pakaian Tari teronggok di hadapannya. Spontan Raka kembali mendongakan kepalanya. Mulutnya terbuka lebar, begitupun matanya, Tari berdiri separuh telanjang di hadapannya. Hanya tinggal bagian celana dari baju tidur Tari yang masih melekat di tubuhnya. "Apa-apaan Tari!?" Raka terlonjak berdiri. Tubuh mereka berhadapan, pandangan mereka bertemu. "Aku ingin tahu, apa Aa bernapsu lihat perempuan begini atau tidak? Kalau tidak itu ar...hmmppp" ucapan Tari tidak selesai karena Raka membungkam mulut Tari dengan ciumannya. Kedua tangan Raka memeluk tubuh Tari erat. Hati Raka terluka karena Tari menganggapnya tidak normal, ia merasa marah dan kesal karena sikap Tari yang terus menggoda pertahanannya. "Aku pria normal, camkan itu!!" Raka melepaskan Tari, lalu ke luar dari kamarnya. Tari masih terpaku di tempatnya. Sesaat kemudian dikenakan lagi pakaiannya. Ia berbaring dengan berselimutkan sarung Raka. Ada seulas senyum di bibirnya, ada kelegaan di dalam hatinya. 'Batu saja kalau ditetesi air tiap hari bisa berlubang, apa lagi cuma gunung es, di panasi dengan api tiap hari pasti akan terus meleleh. Ehmmm tapi kenapa aku melakukan hal ini, apa alasannya, apa karena pesan Mami? Aku belum pernah bersikap segila ini sebelumnya, bahkan pada Mas Guntur yang 2 tahun menjadi kekasihkupun tidak. Tapi kenapa hanya dalam hitungan hari aku sudah bersikap seterbuka ini pada Raka? Apa ada yang salah dengan perasaanku? Apa pikiranku mulai tidak waras karena patah hati? Apa aku sedang frustasi, dan menjadikan Raka sebagai pelampiasanku? Hhhh bikin pusing, lebih baik aku tidur' Tari berusaha memejamkan matanya, ia merasa lelah berkonfrontasi sepanjang malam ini dengan Raka, yang entah pergi ke mana, setelah meledakan kemarahannya tadi. -- Tari terjengkit bangun saat mendengar suara adzan subuh dari musholla. Ia mengenali suara itu sebagai suara Raka. 'Iiih kenapa dia tidak membangunkan aku, apa dia masih marah gara-gara kejadian semalam' batin Tari. Tari menyingkap gorden jendela, di luar masih tampak gelap, dan rinai hujan masih turun membasahi bumi. Tari merapatkan sarung yang membungkus tubuhnya, ia ingin ke belakang untuk berwudhu. Perlahan dibukanya pintu kamar Raka. Ia berjalan menuju dapur ketika tiba-tiba sesuatu yang hitam jatuh dari atas lemari dan tepat mengenai pundaknya. Tari ingin menjerit, tapi suaranya tercekat ditenggorokannya. Apa yang jatuh dipundaknya, jatuh ke dekat kakinya, pandangan Tari terasa berputar, rasa takut luar biasa mencekam perasaannya. Tubuhnya lemas dan akhirnya ambruk ke atas lantai. Raka yang baru pulang dari musholla terkejut luar biasa saat menemukan Tari pingsan di dekat lemari. 'Ya Allah, kenapa dia bisa pingsan begini? Katanya jagoan, tapi kenapa dia penakut sekali!' Raka membawa Tari ke kamar Tari, dibaringkannya Tari di atas ranjang. Ia berusaha membuat Tari siuman dengan meletakan minyak kayu putih di bawah hidung Tari. "Tari..Tari" Perlahan Tari membuka matanya, begitu ia melihat Raka di hadapannya, Tari langsung bangun dan memeluk Raka dengan erat. "Ada hantu!...ada hantu! Kenapa tega ninggalin aku sendirian di rumah, aku takut!" Tari memukuli punggung Raka dengan telapak tangannya. "Tidak ada hantu di sini Tari,lagi pula kemarin kamu sendirian di rumah tidak ada apa-apakan?" "Itu sudah siang! Sekarang masih gelap, aku tidak mau lagi ditinggal sendirian di rumah!" "Apa kamu mau ikut ke sawah, di sawah itu panas, kotor, bau lumpur" "Kalau begitu aku ke rumah kakek saja" "Hhh terserah padamu, sekarang sebaiknya kamu mandi, seingatku hari ini orang tua dan adik-adikmu akan kembali ke Jakarta, iya kan?" "Temani aku ke kamar mandi, aku takut!" "Hhh katanya jago..." "Aku tidak takut sama manusia, tapi aku takut sama hantu!" Seru Tari kesal. "Iya, cepatlah!" Raka menunggu Tari di depan pintu, Tari mengambil anduk dan pakaian untuk ganti. "Cepatlah mandi" "Temenin ke dalam!" "Haah apa!?" "Ehmm aku cuma bercanda, tapi Aa di sini saja, jangan kemana-mana" "Iya, cepatlah!" Saat Tari ke luar dari kamar mandi, Raka memandang dress yang dipakai Tari dengan tatapan tidak suka. Dress bunga-bunga yang dipakai Tari tanpa lengan, dan panjangnya di atas lutut Tari. "Tidak ada pakaian yang lain ya?" "Kenapa?" "Itu terlalu terbuka" "Pakaianku yang lain belum dicuci, cuma ada ini, lagi pula ini cukup sopan kok" Tari memutar tubuhnya, bagian bawah dressnya mengembang lebar sehingga memperlihatkan celana dalamnya. "Kamu tidak pakai dalaman ya?" "Aku pakai celana dalam kok, nih lihat!" Tari mengangkat dressnya, memperlihatkan celana dalamnya. "Bukan itu" Raka membuang pandangannya. "Terus apa?" "Hhh aku tidak tahu namanya, sebentar!" Raka masuk ke dalam kamarnya, lalu ke luar lagi dengan pakaian di tangannya. "Pakai saja ini, ini pakaian adikku, pasti muat sama kamu, dari pada nanti rokmu terbang waktu naik motor" Tari menerima pakaian itu dari tangan Raka. "Cepat ganti pakaianmu, aku tunggu di luar!" Tari sedang malas berdebat, ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti pakaiannya. Tari tahu kalau pakaian berupa pakaian muslim yang terdiri dari atasan yang panjangnya selutut, juga celana panjang dan hijab yang diserahkan Raka bukan pakaian murah, karena tertera nama desainer yang cukup terkenal di sana. Saat Tari keluar dari kamarnya, ia berharap Raka memujinya. Tapi ia harus kecewa karena Raka tidak mengatakan apa-apa. --- Tari dan Raka ikut sarapan di rumah kakek sebelum mereka mengantarkan Papi, Mami, dan adik-adik Tari ke bandara. Saat di bandara. "Raka, Papi titip Tari ya, Papi yakin kamu pasti bisa sabar menghadapi Tari yang bawelnya minta ampun itu, kalau ada apa-apa jangan segan bicara sama Papi, telpon saja Papi kapanpun kamu ingin bicara" "Iya Pi" Sementara itu Salsa dan Tari tengah berpelukan, air mata mereka sama-sama jatuh membasahi pipi. "Tari bakal kangen banget sama Mami, Tari masih boleh curhat sama Mami kan Mi" "Tentu saja boleh sayang, kapanpun Tari mau curhat, telpon saja Mami ya, ehmm kalian sudah malam pertama belum sih, leher Raka sudah ada bekas isapan plampilnya, tapi lehermu kok masih mulus sih" Salsa merapikan rambut yang jatuh di bahu Tari. "Mami! Kan Mami yang minta Tari supaya lebih agresif!" "Ehmm jadi langsung praktek ya" "Iiih Mami, kok jadi genit sih" Tari mencubit lengan Salsa. Salsa tertawa melihat wajah Tari yang cemberut. Mata Salsa kembali berkaca-kaca, di dekapnya lagi Tari dengan sepenuh cinta yang ia punya. "Mami sayang Tari, baik-baik sama Raka ya, sedingin apapun Raka, dia pasti akan berubah saat cinta sudah hadir di dalam hatinya untuk Tari, belajarlah mencintai Raka, dan buat Raka jatuh cinta pada Tari, Mami yakin Tari pasti bisa, oke sayang!" "Oke Mami!" Kedua adik Tari juga sempat menggoda kakaknya. "Cepet banget move on nya kak, padahal baru satu bulan lalu ngaku patah hati, eeh sekarang sudah bikin stempel aja" goda Hafiz. "Obat patah hatikan cari pengganti, kalau penggantinya seganteng Kak Raka ya cepat move on lah kak Tari" timpal Hafid. "Ya puas-puasin deh kalian mengolok-olok kakak, setelah hari ini kalian bakal kesepian di rumah karena tidak ada kakak" sahut Tari. Hafiz dan Hafid memeluk Tari. "Kami pasti bakal kangen jeweran kakak, kebawelan kakak, pelototan mata kakak, cubitan kakak, nanti siapa yang nemenin kami bikin PR" Kata Hafiz membuat mata Tari dan Salsa berkaca-kaca. "Kan ada Mami" jawab Tari. "Tapi Mami kan sering di monopoli Papi" rungut Hafid. Surya menggaruk kepalanya karena secara tidak langsung putranya sudah menyentilnya, kalau ia selalu minta Salsa memprioritaskan dirinya. "Papi janji tidak akan memonopoli Mami lagi" ucap Surya berjanji. "Bener ya Pi!" Seru Hafiz dan Hafid berbarengan. "InshaAllah" sahut Surya. Si kembar langsung memeluk Papinya dengan gembira. "Terimakasih Pi" ucap Hafid dan Hafiz. "Kalau Papi ingkar janji kita mogok makan loh Pi" kata Hafiz. "Kalau Papi lupa, kalian harus mengingatkan ya, soalnya kalau sudah di dekat Mami kalian, Papi bisa lupa segalanya" jawab Surya. "Uuuh so sweetnya Papi, pantas saja Mami mau nikah sama Papi!" Seru Hafid. "Kalau Mami tidak nikah sama Papi, kalian itu tidak bakal ada tahu!" Sahut Tari. "Eeh betul juga hehehehe" Hafid tertawa diikuti Hafiz. Raka hanya tersenyum, ada perasaan bahagia melihat sebuah keluarga sempurna seperti keluarga Tari. Ia menundukan kepalanya, teringat masa kecilnya sendiri, yang harus hidup dengan berbagai masalah yang harus di hadapi ibunya sebagai seorang janda. "Raka, titip Tari ya, kami pergi dulu, nanti kalau ada waktu datanglah ke Jakarta, rumah kami, adalah rumahmu juga" kata Surya. Surya memeluk dan menepuk punggung Raka lembut. "Iya Pi" "Kak Raka, hati-hati salah omong sama Kak Tari ya, nanti bisa kena jewer atau sentil loh, dia itu galak seperti singa, tapi takut gelap dan hantu" kata Hafiz. Raka tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Raka, Mami titip Tari ya, Mami berharap kalian bisa belajar untuk saling mencintai, saling memahami, dan saling percaya" "Aamiin, terimakasih Mi" Raka mencium punggung tangan Salsa. Ibu mertuanya ini memang sangat jauh berbeda dengan Bundanya, tapi Raka yakin mereka memiliki ketulusan cinta dan kasih sayang yang sama. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN