PART. 7

1172 Kata
Merasa Raka tidak juga merespon ciuman dan keagresifannya, akhirnya Tari melepaskan Raka dari ciuman dan pelukannya. "Hhhh...ternyata pria berhati sedingin es itu benar-benar ada ya, aku pikir cuma ada dalam cerita saja, aku capek, masih ada hari esok untuk mencoba mencairkan kebekuan hatimu yang beku bagai gunung es itu, aku kembali ke kamarku saja, cup selamat malam Aa Raka, jangan mimpi basah ya, kalau ingin tidur aku peluk masuk saja ke kamarku, pintunya tidak aku kunci" Tari mengecup pipi kanan Raka, sebelum ia berdiri dari atas pangkuan Raka. "Assalamuallaikum Aa Raka" Tari ke luar dari kamar Raka dengan hati puas karena bisa melihat berbagai ekspresi di wajah Raka. Raka menarik napas lega, ia merasa sudah terbebas dari hal yang paling ditakutinya. Dielus dadanya dengan penuh kelegaan, tiba-tiba ia teringat saat tangannya berada di atas d**a Tari. Tubuhnya bergidik sesaat. Raka merubah posisi berbaringnya, lalu memakai sarung untuk menutupi tubuhnya. Ia meringkuk di dalam lingkaran sarungnya, dan mencoba memejamkan matanya. Bayangan wajah Tari menari di pelupuk matanya, membuatnya tidak bisa tidur. Raka mengangkat tangannya, disentuh bibir dengan jemarinya. Seumur hidupnya baru satu kali ini seintim tadi dengan seorang wanita. Raka tidak tahu apa yang dirasakannya. Ia belum pernah di peluk dan memeluk perempuan. Belum pernah mencium ataupun dicium perempuan. Tari yang pertama menciumnya. 'Hhhh aku baru tahu, kalau ada wanita seagresif Tari, apa semua wanita kota besar seperti dia? Entah apa yang ada di dalam pikirannya sehingga sangat yakin bisa bertahan hidup di sini, sedang aku tahu bagaimana besar dan mewah rumahnya di sana, aku juga tahu dia bisa gonta ganti mobil sesuka hatinya, aku juga tahu dimana dia biasa menghabiskan waktu bersama teman-temannya, sedang di sini tidak ada kemewahan, tidak ada mobil, tidak ada teman-temannya, sampai kapan dia akan bertahan? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Hhhh...tidak ada jaminan kamu akan betah tetap berada di sini Tari' Raka berusaha untuk melepaskan keresahan hatinya untuk sesaat. Ia memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. -- Raka terbangun karena suara petir yang menggelegar memekakan telinga. Diiringi dengan padamnya listrik kembali. 'Pasti ada pohon yang tumbang tersambar petir, dan mengenai kabel aliran listrik, sehingga listrik padam lagi' batin Raka. Brakk Pintu kamarnya yang tidak terkunci terbuka, Tari muncul dengan penerangan dari ponsel di tangannya. Tanpa ba bi bu, Tari langsung berbaring di sebelah Raka, tangannya memeluk Raka dengan erat. "Tari!" "Ada hantu di kamarku, aku takut" Tari menumpangkan satu kakinya di atas paha Raka. Seakan Raka guling saja. "Tari" "Aku ngantuk, ijinkan aku tidur di sini" gumam Tari. Raka menghempaskan napasnya dengan kuat. "Tidurlah!" Raka akhirnya mengalah, ia lelah berdebat dengan Tari, ia juga merasa sangat mengantuk. Tidak terdengar sahutan dari Tari. Raka membiarkan saja mereka tidur dalam remang, hanya ada cahaya dari ponsel Tari yang ia letakan di dekat kepalanya, selain cahaya dari kilatan petir yang sesekali masuk lewat kisi jendela. 'Lebih baik begini, dari pada aku harus melihat dia dalam terang' batin Raka yang tidak berani bergerak karena lengan Tari memeluk dadanya, dan kaki Tari menumpang di atas pahanya. -- Raka terbangun karena merasakan ada yang mengisap kulit lehernya. "Tari!" Seru Raka terjengkit kaget. "Dingin, peluk Aa" gumam Tari yang wajahnya berada di leher Raka. Yang membuat Raka terkejut ternyata Tari masuk ke dalam lingkaran selimut yang ia kenakan. "Peluk" rengek Tari, diraihnya tangan Raka agar melingkari punggungnya. Raka hanya diam saja, ia mencoba untuk melanjutkan tidurnya. "Aa" bibir Tari menyusuri leher Raka. "Tari, apa yang kamu lakukan?" Raka menjauhkan kepalanya dari sentuhan bibir Tari. "Aa, tolong jawab pertanyaanku" "Apa?" "Apakah seorang suami berdosa jika tidak bersedia melayani hasrat istrinya? Kalau istri kan selalu dikatakan berdosa dan akan mendapat laknat dari Allah kalau menolak melayani suaminya!" "Kenapa kamu menanyakan hal itu Tari?" "Aku cuma ingin tahu" "Kalau sudah tahu mau apa?" "Kalau berdosa, aku ingin mengingatkan Aa" "Mengingatkan apa?" "Mengingatkan agar mau melayani hasrat istri untuk bercinta" Tari mengedip-ngedipkan matanya. Ia lupa kalau Raka tidak akan bisa melihat kedipannya, karena keadaan kamar yang gelap. Karena baterai ponselnya sudah habis sejak tadi. Wajah Raka langsung terasa panas setelah mendengar ucapan Tari. "Aa" "Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari aku Tari?" "Aku ingin kita menjalani pernikahan ini sebagai mana mestinya orang lain dalam membangun rumah tangga" "Aku sudah katakan, kamu tidak akan betah tinggal di sini Tari? Di sini tidak ada kemewahan yang biasa kamu dapatkan, tidak ada mobil yang bisa menemanimu kemanapun kamu pergi, tidak ada butik tempat kamu biasa membeli pakaian, tidak ada restoran besar tempat kamu bisa makan enak, tidak ada cafe juga tidak teman-temanmu, tempat ini asing bagimu Tari, kamu tidak akan bisa bertahan lama di sini, kamu pasti akan bosan dan akhirnya pergi dari sini" "Dari mana Aa tahu soal rumahku, dan kebiasaanku!" "Beberapa hari sebelum kamu tiba di sini, kakekmu memintaku untuk ke Jakarta untuk melihat seperti apa dirimu, sebenarnya itu sesuatu yang tidak perlu dilakukan, karena pernikahan tetap akan dilaksanakan bagaimanapun penilaianku terhadap dirimu" "Jadi waktu kita satu pesawat itu, Aa baru dari memata-matai aku, Aa sudah tahu kalau kita akan menikah? Iiiih kenapa di pesawat tidak menyapaku? Dasar sombong!" Tari memukulkan tangannya asal ke tubuh Raka karena keadaan yang gelap di dalam kamar. "Sakit Tari" Raka mengusap dadanya yang kena pukulan Tari. "Kakek curang! Aa boleh melihatku diam-diam dan memberikan penilaian terhadapku, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan yang sama" Tari ingin berbaring telentang, tapi itu membuat Raka jadi tertarik sarung yang mengurung mereka berdua. Raka terpaksa memiringkan tubuhnya. Sehingga Tari bisa merasakan hembusan napas Raka di wajahnya. Tari menolehkan kepalanya, di angkat tangannya untuk mencari bibir Raka. Setelah bibir Raka ia temukan, di dekatkan wajahnya. "Soal aku bisa atau tidak bertahan, atau soal aku akan merasa bosan, itu soal nanti Aa, sekarang aku ingin Aa tidak menolakku" "Tari, jika aku menuruti keinginanmu, lantas kamu pergi karena bosan di sini, kamu sendiri yang akan rugi, jadi sebaiknya kita jangan melakukan ini" "Aku rugi apa? Aku yang meminta, itu artinya aku ikhlas melakukannya" 'Tapi aku tidak ingin melakukannya, aku tidak ingin melakukan sesuatu yang membuat aku merasa memilikimu, merasa membutuhkanku, karena nanti saat kamu pergi pasti akan ada rasa sakit hati' Tari kembali merabai bibir Raka. 'Aku ingin melakukannya, karena aku ingin merasakan hal paling nikmat di dunia, seperti yang sering teman-temanku ceritakan, ataupun seperti yang sering aku baca dalam n****+-n****+ dewasa, tapi aku harus menunggu pria yang halal bagiku, aku tidak ingin seperti mereka yang bercinta dengan pria yang mereka cintai tanpa pernikahan. Aku tidak mau nikmat dunia menjadi azab di akhirat kelak' "Aa" Tari mendekatkan bibirnya ke bibir Raka yang di rabanya. Blepp Listrik menyala. "Kamu mau apa Tari?" Tanya Raka, karena menyadari betapa sangat dekat wajah mereka berdua. "Ya Allah Aa, kita sudah bicara panjang lebar dari tadi, dan Aa masih bertanya aku mau apa! Aa ini bagaimana sih, hiiihh...aku kembali ke kamarku saja!" Seru Tari marah, ia bangun dari rebahnya, tapi sarung yang melingkari mereka berdua menahan tubuhnya, sehingga ia jatuh kembali di atas kasur tipis milik Raka. "Aduuh pinggangku sakit Aa" "Coba kamu ke luar dari sarungku, biar aku urut pinggangmu" Tanpa disuruh dua kali, Tari langsung ke luar dari lingkaran sarung Raka, ia berbaring tengkurap dan menyingkapkan baju tidurnya sampai ke d**a, sehingga Raka bisa melihat pinggangnya. 'Ayo sentuh aku Aa Raka, aku menunggu sentuhan jemarimu' Tari berharap di dalam hatinya. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN