PART. 20

1009 Kata
Setelah cukup lama berpikir apa yang harus ia lakukan, akhirnya Raka ke luar dari kamar mandi, lalu masuk ke ruang mencuci pakaian. Ia teringat kalau di sana ada anduknya yang sudah di cuci. Setelah itu baru ia ke kamarnya untuk berpakaian. Ia ingin segera pergi ke musholla untuk sholat ashar. "Tari" panggilnya di depan kamar Tari. "Apa" jawab Tari dari dalam kamarnya. "Aku ke musholla ya, kalau kamu lapar makan saja makanan yang dirantang tadi, pintu aku kunci dari luar, assalamuallaikum" "Walaikumsalam" sahut Tari tanpa membuka pintu kamarnya. Baru saja Raka pergi, saat ponsel Tari berbunyi. "Vio, mau apa lagi dia!" Gumam Tari, ia enggan menerima telpon dari Vio. Dimatikan notif panggilan telponnya. Tari kembali memejamkan matanya, ia merasa sedikit lelah akan apa yang dihadapinya beberapa hari ini. Perubahan drastis yang terjadi pada hidupnya terasa menguras energinya. Apa lagi harus menghadapi Raka, yang kadang beku, kadang lucu, kadang bijak, kadang lemot, tapi satu yang pasti, raut datarnya itulah yang paling menguras energi. Memantik emosi, menciptakan rasa kesal di dalam hati Tari. -- Saat mendengar adzan maghrib, Tari bangun lalu mandi. Rantang susun dari Eli menggoda pandangannya. Dibukanya rantang itu satu persatu. Paling atas, dua bungkus es serut dari melon dan wong koko  yang sudah tidak terasa dingin lagi. Yang kedua, daging masak kari bertabur bawang merah goreng yang terlihat enak. Yang ketiga, acar sayur, wortel dan timun plus cabe rawit yang terlihat segar. Yang keempat, nasi putih. 'Hmmm enak nih' gumam Tari. Diambilnya piring dan sendok. Es serut ia masukan ke dalam frezer agar kembali dingin. Diambilnya nasi dari rantang, daging, dan acar dari dalam rantang. Baru saja ia akan menyuap ke mulutnya ketika terdengar pintu dibuka dengan suara nyaring. Raka masuk sambil melepas peci dan sarungnya. Kedua benda itu ia lemparkan ke atas kasurnya yang ada di ruang tengah. Ia lari ke dalam kamar kecil, Tari sampai melongo dibuatnya. "Aa kenapa?" Tanya Tari dari luar kamar kecil. "Jangan di sini, jauh-jauh sana" sahut Raka berteriak dari dalam kamar kecil. Tari menjauh setelah mendengar suara aneh dari dalam kamar kecil, aroma wipol menguar dari dalam. Mencium aroma wipol, Tari membawa piring berisi nasi dan lauknya ke ruang tamu. Ia makan di sana. Cukup lama ia menunggu, bahkan sampai ia menghabiskan isi piringnya, tapi Raka tidak muncul juga. Karena penasaran ia kembali ke dapur. "Aa!" Panggilnya. Tidak ada sahutan. "Aa!" Sekali lagi Tari memanggil, masih tidak ada sahutan. Tari membuka pintu kamar kecil, tapi Raka tidak ada lagi di sana. "Aa!" Tari berjalan cepat mencari Raka ke dalam kamarnya. Raka terbaring di atas tikar dengan peluh sebesar biji jagung di dahinya. Tangannya terlihat meremas bagian perutnya. "Aa kenapa?" "Tari" "Ya" "Bisa minta tolong tidak?" "Apa?" "Ambilkan pucuk daun jambu biji di depan rumah" "Untuk apa?" "Aku diare Tari, tolong ambilkan ya" "Aku beliin obat diare dimini market depan saja ya" "Tidak usah, petikan pucuk daun jambu biji saja, kamu tidak perlu manjat, dahannya tidak tinggi" "Ya..ya..aku ambilkan" Tari berlari ke luar dari pintu depan. Pohon jambu biji tumbuh di depan rumah. Tari memetik beberapa lembar pucuk daun jambu biji. Lalu ia masuk kembali ke dalam kamar Raka. Tapi Raka tidak ada di sana. Tari menuju dapur, ternyata Raka tengah menyeduh teh panas di sana. "Ini pucuknya" "Terimakasih" Raka mencuci pucuk daun jambu biji, lalu meletakannya di atas piring. Ia duduk di ruang makan, pucuk daun jambu biji ia masukan kemulutnya, lalu dikunyahnya pelan. Tari bergidik melihat Raka mengunyah pucuk daun jambu biji itu. "Pasti diare karena makan rujak tadi siangkan?" "Bukan karena itu Tari, aku masuk angin karena kelamaan di dalam kamar mandi" jawab Raka. "Ngapain kelamaan di kamar mandi?" "Kamu lupa?" "Lupa apa?" "Aku minta ambilin anduk, tapi kamu bilang tunggu kamu bangun tidur dulu" "Tapi tadi Aa tidak nungguin aku bangun tidurkan?" "Memang tidak, tapi aku cukup lama di dalam kamar mandi" "Kasihan! Mau aku gosok minyak kayu putih badan Aa" "Kamu punya minyak kayu putihnya" "Hmm ada, tunggu ya!" Tari masuk ke kamarnya, lalu kembali dengan minyak kayu putih di tangannya. Raka tampak tengah menghirup teh panasnya. "Aa rebahan di sana, biar aku gosok dengan minyak kayu putih punggung Aa" Tari menunjuk ke kasur yang terhampar di depan tv. Raka berbaring tengkurap setelah melepas baju koko dan kaos oblong putihnya. Tari menumpahkan minyak kayu putih ke punggung Raka, lalu menggosoknya pelan. Tiba-tiba Tari terlonjak mundur. "iiih Aa jorok! Kentut sembarangan!" Tari memukul p****t Raka gemas. Raka bangun dari berbaringnya. "Aku tidak kentut sembarangan Tari, inikan di rumahku sendiri" jawab Raka dengan nada polos. "Maksudku sembarangan, kentutnya kok di depanku!?" "Kamu kan tahu aku masuk angin, kalau aku tahan nanti perutku kembung" "Ya kan bisa pindah dulu jangan di depanku" "Itu kelepasan Tari, kalau aku tahu kentutnya mau keluar, aku juga pasti jauh-jauh dari kamu, aku juga malu tahu" "Malu? Coba aku lihat ekspresi Aa kalau lagi malu bagaimana?" "Hmmm" Raka menjulingkan matanya, membuat Tari tergelak nyaring, Tari jadi lupa dengan rasa kesalnya. "Masih mules perutnya?" "Sedikit" "Mau makan?' "Aku kan belum masak" "Itu ada makanan dari ibunya Eli tadi" "Nanti saja, habis isya, takutnya kalau diisi nanti ngocor lagi, bisa tambah lemas badanku" "Ya sudah Aa berbaring lagi, aku gosokin lagi, tapi jangan kentut ya" "Bilang sendiri sama kentutnya jangan keluar gitu" "Iih Aa" Tari memukul p****t Raka gemas. "Pantatku jangan dipukul Tari, nanti masakanku jadi nggak enak" "Iih apa hubungannya?" "Soal itu tanya saja sama nenek moyangku" "Haahh.. Aa ini ada-ada saja!" "Besok ikut ke sawah lagi tidak?" "Ikut" "Tidak takut sama monyet?" "Lebih baik menahan takut sama monyet, dari pada di rumah tapi pikiran di sawah" sahut Tari dengan nada ketus. "Ehh apa maksudnya?" "Kalau aku tidak ikut ke sawah, Aa pasti enak-enak makan siang bareng Halimah!" "Tidak juga, tergantung menu makan siangnya, kalau enak ya enak, kalau biasa ya biasa saja" "Aa...bukan enak itu!" Tari memukul punggung Raka kesal. "Terus enak yang mana?" "Aaah tahu aah, ini Aa balik ke musholla lagi tidak?" "Sepertinya tidak, badanku lemes, lagi pula takut nanti kentutnya nggak tahu malu, kelepasan di musholla kan malu banyak orang, kalau bisa pasti aku ikat kentutnya, biar tidak lepas " jawaban Raka membuat Tari terpingkal-pingkal tertawa, yang ditertawakan seperti tidak merasa sudah membuat lelucon saja, ekspresi Raka datar seperti biasanya. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN