PART. 3

1363 Kata
Tari diminta duduk di sebelah Raka. Raka masih belum juga menolehkan kepala untuk melihat Tari. Rasanya Tari ingin sekali meninju wajah pria yang sudah resmi jadi suaminya. 'Kata kakek, Mami, dan Papi, dia ini sopan, tapi kok sombong sekali sih, melirik aku saja tidak, padahal sudah resmi menikahi aku' batin Tari. Saat Raka memasangkan cincin kawin di jarinya, Tari baru bisa melihat wajah Raka seutuhnya. 'Ganteng' puji Tari di dalam hatinya. Raka menyunggingkan senyum yang Tari yakin hanya sebatas basa basi saja. Saat mereka melakukan sungkeman, Tari tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis di dalam pelukan Papi dan Maminya. Saat ia melakukan sungkeman pada kedua orang tua Raka, ibu Raka memeluk dan mengecup keningnya, lalu berbisik. "Bunda sangat berharap Tari bisa sabar menghadapi sifat Raka yang pendiam dan kaku, dia sedikit keras kepala, jangan dihadapi dengan keras juga, jika dia dihadapi dengan lembut dia pasti akan luluh perasaannya, jika Tari merasa sudah kewalahan menghadapinya, bicara saja pada Bunda ya, itu saja pesan Bunda" bisik Mia di telinga menantunya. "Ya Bunda" Tari menganggukan kepalanya, meski ini pertama kalinya ia bertemu ibu mertuanya ini, tapi Tari bisa merasakan kalau ibu mertuanya adalah ibu yang baik. Acara dilanjutkan dengan resepsi yang diadakan di halaman rumah kakeknya. Tamu undangan hanya dari para tetangga dan teman kerabat kakek dan Papinya yang tinggal di sekitaran Banjarmasin, Banjarbaru, dan Martapura saja. Setelah akad nikah, Tari diminta berganti pakaian dengan pakaian pengantin adat Banjar yang berwarna kuning emas. Selama proses wajahnya di rias dan kepalanya juga dipasangi hiasan, Tari tidak diijinkan menatap dirinya di cermin barang sekalipun. Menurut ahli riasnya, agar kecantikan Tari sempurna. Tari tidak hilang akal, rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Tari meminta Maminya untuk mengambilkan ponselnya, Salsa hanya menuruti saja permintaan putrinya. Tari yang penasaran dengan riasan wajah dan kepalanya, akhirnya bercermin di layar ponselnya. Meski tidak sejelas saat berkaca di cermin, tapi lumayanlah untuk memuaskan rasa penasarannya. "Tari cantik sekali sayang, Mami sampai tidak mengenalimu lagi" puji Salsa dengan mata berkaca-kaca. "Terimakasih Mami, Mami juga cantik sekali hari ini" Tari balas memuji Salsa. - Saat duduk di kursi pelaminan, Tari berpikir kalau Raka akan bicara kepadanya. Tapi ternyata Tari salah, sikap Raka persis robot, ia tersenyum kalau ada yang melemparkan senyum padanya. Ia akan bicara kalau ada yang bicara kepadanya. Tidak ada pembicaraan sedikitpun di antara mereka, Tari sendiri yang merasa sedikit sakit kepala efek dari hiasan kepalanya yang cukup berat, merasa enggan untuk banyak bicara. Meski tidak bicara padanya, tapi Raka tetap bersedia menjalani sesi foto dengan berbagai gaya bersama Tari. Dia hanya tersenyum saat kamera membidik mereka, setelah itu raut wajahnya kembali seperti semula. Memang ada kecanggungan yang dirasakan Tari saat mereka harus berpose mesra, tapi Tari berusaha santai karena ada adik-adiknya yang mencandainya. "Mas Raka, hati-hati ya sama kak Tari, dia suka mencubit, suka menjewer kuping juga" kata Hafid. "Iya kak, mulutnya kalau bicara kadang seperti petasan renteng yang nyaring bunyinya dan nggak akan berhenti berbunyi sebelum habis semua" timpal Hafiz. Raka hanya tersenyum mendengar celotehan adik iparnya, sedang Tari memelototkan matanya gusar. "Hafiz, Hafid, jangan mengganggu kakak kalian!" Seru Surya menegur kedua putranya. "Siap Pi" kedua remaja putra itu langsung menjauh dari sana. "Maaf ya Raka, adik-adik Tari memang suka jahil dan usil, persis Papi mereka" kata Salsa. Raka hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. 'Tuh kan, andalannya cuma senyum dan mengangguk saja, hhhh akan seperti apa hari-hari yang harus aku lewati bersamanya nanti, pasti akan sangat terasa sepi dan membosankan' batin Tari. -- Selesai resepsi, Raka langsung membawa Tari ke rumahnya. Mereka diantar supir kakek Tari ke sana. Rumah Raka ternyata sangat dekat dengan rumah kakek Tari, tapi yang membuat Tari terlongo adalah, rumah Raka hanya lebih besar sedikit dari kamarnya di rumah orang tuanya. "Ini rumahmu?" "Iya" sahut Raka, Raka turun dari mobil diikuti Tari yang enggan melepaskan pandangannya dari rumah Raka. Rumah kecil dengan berbagai tanaman disekelilingnya. "Terimakasih Pak" kata Raka sopan kepada supir kakek yang membawakan tas berisi pakaian Tari. "Sama-sama, saya permisi dulu" pamit supir kakek. "Silahkan Pak, sekali lagi terimakasih" sahut Raka dengan senyum di bibirnya. "Masuklah!" Kata Raka sembari membuka salah satu dari daun pintu rumah mungilnya. Tari melangkah masuk, kaligrafi berbingkai besar yang tergantung di dinding dengan tulisan Al-Fatihah dan Ayat kursi langsung menyambutnya. Ada satu set sofa sederhana berwarna coklat menghiasi ruang tamu juga. Di sudut ruangan ada lemari sudut dengan buku-buku tebal di dalamnya. Hanya itu yang ada di ruang tamu yang luasnya mungkin hanya 3×4 meter saja. Tari mengikuti Tama melewati ruang tamu. Lalu Raka membuka salah satu pintu. "Ini kamarmu" Tari melongokan kepalanya sebelum melangkah masuk. Dinding kamar berwarna biru muda, dengan horden biru bunga-bunga. Ada ranjang kayu yang tidak terlalu besar, dengan sprei motif batik berwarna biru juga. Ada lemari pakaian dua pintu berbahan kayu. Dan satu meja rias yang tampaknya satu set dengan ranjang dan lemari pakaiannya. Kipas angin berdiri di sudut kamar. Tari meneliti bagian atas kamar, ia tidak melihat adanya AC. "Tidak ada AC?" "Hanya ada kipas angin" jawab Raka menunjuk ke sudut kamar yang luasnya sama dengan ruang tamu tadi. "Kamar mandinya mana?" "Kamar mandi hanya ada satu, dibagian belakang rumah" "Haah, jadi kalau mandi aku harus ke luar kamar begitu!?" "Iya" "Hhhhh" Tari menghempaskan napasnya. "Tunjukan di mana kamar mandinya!" Raka ke luar kamar diikuti Tari di belakangnya. Mereka melewati ruangan kecil dengan tv tabung 21 inch di atas lemari besar yang menjadi pembatas ruangan itu dengan ruangan makan yang berisikan satu set meja dan kursi makan sangat sederhana. Mereka memasuki dapur kecil yang bersebelahan dengan ruang makan. "Ini kamar mandinya" Raka membuka salah satu pintu dari tiga pintu yang berjejer di sana. "Tidak ada shower? Bath tubh? Air hangat untuk mandi?" Tanya Tari saat hanya melihat ada bak mandi besar dari keramik dan satu gayung di sana. Kamar mandi yang sangat kecil, batin Tari. "Tidak ada" Raka menjawab pertanyaan Tari singkat saja. "Ini kamar kecil" Raka membuka lagi satu pintu. Aroma karbol menguar dari dalam sana. "Closet jongkok!" Seru Tari dengan mata melotot. Tapi Raka tidak nenanggapi ucapannya yang bernada protes. Raka membuka pintu terakhir. "Di sini tempat mencuci dan menjemur pakaian" Raka menunjuk mesin cuci dan tempat jemuran dari tambang yang di bentangkan di dua buah balok kayu yang di tanam berjauhan. "Kamu tidak punya pembantu?" Tanya Tari. "Tidak ada" sahut Raka datar saja, Tari sungguh tidak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan Raka. Ekspresinya datar saja, gestur tubuhnya juga biasa saja. "Kamu bisa memasak sesukamu di dapur ini, kulkas sudah diisi Bunda dengan bahan makanan" "Aku tidak bisa masak" sahut Tari, Tari berusaha meneliti wajah Raka saat menunggu apa yang akan dikatakan Raka. "Sudah aku duga" kalimat itu meluncur ringan saja dari mulut Raka, tapi bagi Tari hal itu menunjukan kalau Raka memikirkannya juga. Buktinya ia sempat-sempatnya membuat dugaan tentang dirinya. "Aku ingin ke kamarku dulu, selamat malam Tari" Raka meninggalkan Tari di dapur. Tari mengambil gelas dari rak piring, lalu mengisinya dengan air putih dari dispenser. Tari duduk di ruang makan sendirian. Tiba-tiba ia mendengar suara burung hantu yang teras begitu dekat dengan tempatnya berada. Bulu tubuh Tari meremang mendengarnya. Saat ia kecil, kakeknya selalu mengatakan kalau burung hantu hanya akan berbunyi saat melihat hantu. Entah itu benar atau bermaksud untuk menakutinya saja, sampai saat ini Tari tidak mencoba mencari tahu jawabannya. Tiba-tiba 'blebb' listrik padam, keadaan sekitar jadi gulap gulita. Suara burung hantu semakin jelas terdengar. Tari berteriak nyaring saking takutnya. "Aaaaaaaa..." Sorotan lampu senter membuat Tari beranjak menuju arah cahaya, tangannya melingkari punggung si pembawa cahaya. "Tari" "Aku takut!" "Bukannya kamu jagoan ya" "Aku takut sama hantu tahu!" Seru Tari marah. "Hantu!?" Raka berusaha melepaskan tangan Tari yang memeluknya, tapi Tari semakin erat memeluknya. "Tolong lepaskan aku, ada lilin di laci meja tv, biar aku nyalakan untuk di dalam kamarmu" kata Raka masih berusaha melepaskan pelukan Tari. Tari melepaskan pelukannya, tapi jemarinya memegang ujung kaos oblong yang dikenakan Raka. "Kamu tidak punya jenset ya?" "Tidak ada" "Hhhh tidak ada Ac, tidak ada shower, tidak ada bathtubh, tidak ada closet duduk, tidak ada jenset juga, bagaimana aku bisa betah tinggal di sini" gerutu Tari. Raka menyerahkan lilin yang sudah menyala dan diletakannya di atas sebuah piring dari seng ke tangan Tari. "Aku juga tidak berharap kamu betah tinggal di sini, kembalilah ke kamarmu, selamat malam Tari" Raka melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Tari yang berusaha membaca ada unsur apa dalam ucapan Raka tadi. Dia marah, kesal, atau apa? Suara burung hantu nembuat Tari segera masuk ke dalam kamarnya dengan lilin menyala menerangi kamarnya. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN