Unexpected

1538 Kata
Semuanya baru dimulai Biarkanlah takdir yang kan menjawab   **** Setelah berpamitan dengan Ayu, aku langsung beranjak keluar kelas, saat ini jam pelajaran masih berlangsung. Tapi entah kenapa di kelasku hari ini banyak guru yang tidak mengajar, sebuah kebetulan yang aneh sekaligus menguntungkan. Setidaknya aku dan teman-temanku bisa beristirahat sejenak setelah lama berjibaku dengan mata pelajaran kelas 12 yang tidak ada hentinya. Dimulai dari jam ke nol, jam tambahan, tugas yang berjubel, sampai ulangan beruntun. Mumpung kelas kosong dan tugasku juga sudah selesei, aku mau buat perhitungan sama Adiemas, biar dia tidak menggangguku lagi. Boleh boleh saja dia mengajar disini, karena ini merupakan keputusan pihak sekolah yang tidak bisa diganggu gugat. Tapi kenapa dia selalu ganggu aku, selalu berada dimanapun aku berada, jadi nggak terasa bebas. Dia harus pindah dari sini, titik. Nah itu dia. "Adiemas, Adiemas." Panggilku saat melihatnya melintas di koridor sekolah, dan akhirnya dia berhenti. "Ada apa?" Tanyanya saat dia berbalik ke arahku. "Adiemas, kenapa sih kamu mengajar disini nggak di sekolah lain saja, di kota ini kan ada berpuluh-puluh SMA, kamu sengaja ya, pokoknya kamu harus pindah!!" ucapku marah. Adiemas hanya diam saja, matanya menatap tajam ke arahku, dari matanya tersirat beribu kata yang siap terucap kepadaku, tapi bibirnya terkunci rapat. Sebenarnya apa yang ia ingin katakan. Aku bukan seorang peramal yang mampu membaca isi pikirannya aku juga bukan psikolog yang mampu menerka-nerka ekspresi yang tersirat di wajahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik aku menghitung sampai detik ke dua puluh. Tapi Adiemas masih diam saja, dan memandang ke arahku. "Adiemas, ya sudah, kamu boleh ada disini karena itu sudah menjadi keputusan pusat, tapi aku mohon Adiemas jangan ganggu aku lagi" "Adiemas......" Belum selesei aku mengucapkan kata-kataku, Adiemas mendorongku ke tembok, kedua tangannya kini berada di kedua sisi tembok di samping kepalaku. Apa yang dia lakukan. Dia masih memandang ke arahku, dari sorot matanya yang menelurusi setiap lekuk wajah, dan sampailah pandangannya pada hidungku, Oh tidak kini dia memandang ke bibirku yang masih mengunci rapat. Wajah Adiemas perlahan mendekat ke wajahku. Apa yang akan dia lakukan, aku mencoba bergerak, tapi tubuhku sepertinya tidak merespon apa yang aku pikirkan. Hanya diam seperti pasrah pada tindakan Adiemas kepadaku. Satu detik, dua detik dan aku sudah menghitung sampai detik kesepuluh, Adiemas semakin mendekatkan wajahnya kepadaku, kini aku bisa merasakan hembusan nafasnya menerpa wajahku, sangat hangat. "Tettt, tettttt, Saatnya jam ke 5." Mendengar bunyi bel itu, Adiemas langsung menurunkan tangannya. Sebenarnya apa yang akan dia lakukan. "Adiemas....." Belum selesei aku berbicara dia langsung menyahut, "Aku mohon Fanny, sekarang aku adalah gurumu. Jadi panggil aku pak Adiemas di sini, ini bukan di rumah, yang kamu bisa berbuat seenaknya?" "Tapi, "Tolong Fanny, aku ada jam kelas sekarang, aku mohon sekarang kamu kembali ke kelas." Adiemas membentakku, baru kali ini dia berbicara kepadaku dengan keras. Apa yang terjadi kepadanya, jika memang perbuatanku salah, dia tidak perlu membentakku seperti itu, aku sudah kelas 12 SMA, setidaknya aku langsung bisa memperbaiki kesalahanku tanpa dibentak seperti itu. Tanpa berbicara satu patahpun, aku langsung pergi berlari meninggalkannya. Kenapa rasanya sakit sekali, kenapa Adiemas? ***** "Fanny wajahmu kusut gitu, emang tadi di ruang OSIS kenapa?" tanya Ayu saat kami bersiap pulang sekolah. "Habis dimarahin seseorang tahu, dia jahat banget," balasku. Tanganku memasukkan buku pelajaran ke dalam tasku, Ayu masih belum mengerti dengan apa yang aku ucapkan "Cuma dimarahin nggak ada yang lain?" tanya dia penasaran. Ayu sangat antusias dengan keadaanku saat ini, memandang ke arahku dengan wajah penasaran, sepenasaran ekspresinya saat ingin tahu siap bintang tamu di Dies Natalis bulan depan. Aku enggan menjawabnya, tapi dia pasti akan terus membututiku dengan rerntetan pertanyaan yang membuatku seperti di pojokan. Memang aku akui dia memang sedikit berlebihan, tapi Ayu adalah orang yang sangat bisa aku andalkan, dia adalah sahabatku sejak SMP, dan di kelas 11 dan 12 kami beruntung bisa satu kelas lagi. Dia berasal dari keluarga beraada, yang keluarganya sangat fleksibel, tidak banyak aturan sebanyak peraturan yang diberikan ibuku padaku. Sering dia berbicara kepadaku tentang pacarnya yang bersekolah di lain sekolah, tentang jalan bareng, nonton bareng, dan surprise ulang tahun 2 bulan yang lalu. Kadang aku iri dengannya yang bisa dengan bebas keluar tanpa ada banyak ultimatum, tapi kalau lihat dia saat terpuruk dengan pacarnya atau kejadian dia yang hampir kecelakaan karena pulang ngebut larut malam, aku jadi bersyukur, banyaknya rentetan peraturan dari ibuku karena demi kebaikanku bukan demi kebaikan orang lain. "Fanny, ayo cerita?" "Bingung juga menjelaskannya, aku jelasin pakai gambar aja dech", "Ayu, ini, dia...." ***** Apabila cinta tidak berhasil Bebaskan dirimu Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya Dan terbang ke alam bebas lagi Ingatlah bahwa kau mungkin menemukan cinta dan kehilangannya Tapi ketika cinta itu mati Kamu tidak perlu mati bersamanya "Ahhhhh" teriakku keras Sekarang aku sedang duduk di sofa di ruang keluarga tidak ada siapapun disini kecuali aku yang sendiri berada di depan televisi yang terus berganti channel, karena ulahku yang memencet remote dengan asal. Sungguh aku merasa gegana alias gelisah, galau, merana, Gara-gara kejadian tadi siang. Sisi lain hatiku ingin menyangkalnya tapi di sisi lain juga ingin membenarkannya. Ya Tuhan, hapus bayangannya dari benakku. ***** Flashback On "Fanny, kamu yakin tadi seperti ini?" Saat dia melihat sketsa yang aku gambar. "Ya." "Fanny nggak peka atau gimana, sekarang aku tanya sama kamu dimana kamu lihat hal seperti ini?" dia menyerahkan sketsa gambarnya kepadaku "Sebentar-sebentar itu kan, kalau di drama korea, ya kalau di dram korea, dia mau........, haahhhh", Semoga saja tebakanku tidak benar, masa sih. "Dia mau menciummu Fann," ucapnya lirih. Sontak ucapan itu langsung membuatku membelakkan kedua mataku, Oh itu sangat tidak mungkin Flashback Off ***** Aku masih tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Ayu tadi siang. Aku baru sadar, posisi itu, ya posisi itu, posisi wajah kami yang begitu sangat dekat. Jika tidak dihentikan dengan suara pergantian jam, maka Adiemas mungkin akan menciumku. Aaa tidak!!!! apa yang aku pikirkan saat ini, aku tadi terlalu fokus dengan rasa ingin tahuku tentang Adiemas sampai aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Mungkin aku hanya salah paham, tapi kenapa ada rasa aneh yang membuncah dari dadaku. Setelah kesal dengan ucapan Adiemas, lalu setelah aku tahu apa yang akan dia lakukan, wajah Adiemas lalu terngiang ngiang di otakku, seharusnya aku marah, tapi kenapa bibirku tak henti-hentinya tersenyum dan kenapa pikiranku selalu memikirkan hal tadi. Tidak Fanny, kenapa kamu seperti ini. Ya Tuhan aku sekarang bergulat dengan pikiranku. Fanny stoppppp, pintaku pada diriku sendiri. Aku sadar dengan hal bodoh yang aku lakukan, pokoknya aku harus menjelaskannya pada Adiemas. Tapi sekarang Adiemas ada di mana ya? Tanyaku dalam hati. Apa aku temui dia sekarang? Tapi aku sangat enggan beranjak dari sofa ini. Aku kembali fokus dengan acara televisi yang ada di depanku. Entah mengapa acara hari ini tidak ada yang menarik bagiku. Film India yang biasanya aku tunggu kedatangannya menjadi hambar untuk dilihat. Aku tidak bisa terus seperti ini, aku menjelaskan kepadanya. Sempat terlintas di benakku untuk bertanya lewat pesan. Namun kalau lewat pesan, aku takut dia tersinggung. Sangat tidak sopan bukan? Lagipula jarak rumahku ke rumahnya sangat dekat, tinggal ke rumahnya dan jelaskan semuanya beres. Kulangkahkan kaki menuju pintu rumahku. Loh tapi kenapa aku yang harus menjelaskan, dia kan yang mau men. .  . Bahkan aku tidak sanggup melanjutkan kata itu. Akhirnya aku berhenti melangkah dan kembali ke sofa. Hal ini terus kulakukan berulang kali. Setelah menimang-nimang, aku memutuskan untuk mengalah. Ingat peraturan di pertama sekolah, benar atau salah Guru selalu benar. Sungguh doktrin yang sangat menyebalkan. Setelah yakin dengan keputusanku aku akhirnya membuka pintu dan bersiap keluar menemui Adiemas. Saat kubuka pintuku, aku tersentak kaget. Karenan orang yang kupikirkan sudah berdiri tepat di depanku. Aku melihat matanya yang terbelalak melihatku, tapi saat pandangan kami bertemu, ia menurunkan paandangannya. "Adiemas, maksud aku pak Adiemas?" aku mencoba tersenyum, senyum yang bisa aku buat saat ini. "Eh, emm, itu, panggil saja Adiemas kalau tidak di sekolah." "Siap," jawabku canggung. Suasana apa ini? Hardikku dalam hati. Fanny mana suara lantangmu yang biasa kamu lontarkan kepadanya, kenapa kali ini aku hanya diam saja. "Tentang yang tadi," Aku dan Adiemas mengucapakan hal itu secara bersama-sama, dan saat menyadarinya mata kami kembali bertemu pandang. "Tentang yang tadi itu aku minta maaf Fanny, bukan maksud aku, " Belum sempat dia menyeleseikan ucapannya, aku memotongnya. "Yaaa aku, mengerti Adiemas, oh ya minggu depan kan ada ulangan, kamu kan sekarang guruku, boleh ya aku privat, soalnya nilai matematika nggak pernah bagus, hahahaha," ucapku mengalihkan pembicaraan, aku mohon Adiemas jangan mencoba menjelaskan sesuatu, aku ingin melupakannya, atau justru aku ingin menyimpannya baik-baik kenangan itu, "Fanny Stop", ucapku keras "Kenapa Fann?" tanya Adiemas saat dia mendengar teriakanku, hadeh mulai lagi deh kebiasaan buruk, keceplosan lagi. "Eh nggak, gimana Adiemas?" tanyaku penuh harap. Semoga saja dia mau, agar aku bisa lebih lama menghabiskan waktu dengannya. Eh tidak, aksudku agar aku bisa mengerti pelajaran matematika. "Baiklah," jawab dia tersenyum. "Setuju," aku mengatungkan tanganku mengajak bersalaman. Dia lalu menjabat tanganku tanda setuju dan tersenyum lembut. Kenapa perasaan ini kembali muncul, perasaan apa ini, saat aku melihat senyumnya tawanya, sorot matanya yang teduh. "Oke, perjanjian antara murid dan guru", ucapku riang "Tidak bukan itu, tapi perjanjian antara sahabat," ucap Adiemas dan tertawa. Adiemas Bagas Wiyasa sahabat, tetangga, dan musuh terbesarku, kini adalah guruku. Dan semua ini baru dimulai, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, hanya takdir yang bisa menjawabnya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN