Sebuah Ketakutan

1119 Kata
(Pov Jihan) Aku ketiduran ! Buru-buru aku bangkit dari kasur menuju kamar mandi untuk mengambil wuduh. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan aku sudah melewatkan salat dzuhur, ashar dan magrib karena ketiduran. Entah selelah apa tubuhku tadi siang, aku tertidur layaknya mayat. Sama sekali tidak terbangun barang sedetik pun, ditambah tanteku sedang pergi keluar kota, di rumah ini aku sendirian. Setelah selesai melaksanakan semua salat, aku buru-buru mengecek ponsel. Zia pasti cemas karena aku tidak kunjung pulang. "Ya Allah, ponselnya habis baterai." Aku mendesah panjang, baru ingat bahwa sebelum tidur aku menyetel murotal Al-Quran. "Ya Allah ...." Aku buru-buru mengisi daya pada ponselku. Selagi menunggu ponsel itu menyala, aku langsung bersiap-siap untuk kembali ke kosan Zia. Ponselku menyala tepat saat semuanya telah selesai. Begitu data seluler aku aktifkan, notif silih berganti masuk membuat ponselku seketika ngeheng. "Kak Nasim nelepon?" Aku kaget mendapati dua puluh panggilan tidak terjawab dari kontak kakak Nasim, mustahil rasanya jika tidak sengaja tertekan sampai dua puluh kali dan ada sebuah pesan masuk, yang berisi maaf .... "Kenapa?" Belum selesai mencerna semua ini, kini mataku menangkap banyak pesan masuk dari Zia. Tiga puluh pesan masuk dan lima belas panggilan tidak terjawab. Seketika rasa khawatirku bukan hanya ada, tapi merorong memenuhi kepalaku. Jelas telah terjadi sesuatu pada Zia. Dengan tangan gemetar aku membuka semua pesan yang Zia kirimkan. "Jihan, kapan kamu balik ke sini ?" "Jihan, kamu balik ke sini setelah ashar, ya?" "Jihan, kok tumben WA kamu gak aktif." "Jihan, bisa pulang sekarang gak? Jangan pas magrib. Entah kenapa aku ngerasa cemas." "Jihan, kamu pernah lihat tikus di dapur kosanku, gak? Kenapa kayak ada suara berisik di sana ya. Menurut kamu aku periksa atau gak? Aku agak sedikit takut buat keluar kamar." "Jihan, tenyata suara itu bukan suara tikus. Gak ada tikus. Mungkin suara angin yang masuk, soalnya jendela belakang tadi kebuka. Aku kayaknya lupa nutup jendela deh." "Jihan, di sini tiba-tiba mati lampu. Aku parno banget. Kalo kamu pulang, tolong beliin lilin ya." "Duh, aku lupa kalo aku belum buat power poin tugas kita. Terpaksa aku harus beli lilin ke warung xixixixi .... aku gak bisa ngerjain tugas kalo segelap ini. Bisa-bisa aku ketiduran." "Eh, Jihan, masa ternyata cuma kos bilik aku aja yang mati lampu. Pantas aja di luar terang banget. Tadi aku udah nanyai ibu kos, katanya baru bisa diperiksa besok pagi. Ya udahlah aku beli aja lilin di warung." "Jihan, kamu lagi di jalan ya? Kamu ke jebak macet ya?" "Untung tadi siang aku udah ngecas full leptop. Aku mau nugas, tapi kenapa yang di arah dapur berisik banget ? Aku jadi gak fokus." "Fiks sih, kayaknya aku harus cek ke dapur dulu." "Gak ada apa-apa ... Jihan kamu udah sampai mana? Nanti telepon aku aja ya kalo udah sampai, takutnya aku gak kedengeran. Aku pake earphone." "Jihan .... " "Kamu udah sampe mana? Aku kayaknya mau tidur aja deh. Tugas nanti nyambung pas subuh aja." "Jihan ... aku dengar suara langkah kaki dari dapur." "Itu gak mungkin suara langkah tikus, kan? Suaranya jelas banget." "Jihan aku takut ...." "Kayaknya ada orang di dapur kosanku. Aku harus apa? Apa aku telepon bu kos aja ya ? Aku udah kunci kamar aku." "Gak di angkat ! Jihan suara langkahnya makin jelas. Suara langkah kakinya ke kamar aku!" "Jihan, dia manggil aku!" "Jihan ! Orang itu gedor-gedor kamar aku!" "Jihan, tolong aku. Jihan dia berusaha nobrak pintu aku." "Jihan, kamu tahu nomor polisi gak? Aku gak ada paket internet buat sharcing di google." "Jihan, aku harus apa? Jihan aku takut. Aku sembunyi di dalam lemari." "Jihan, dia makin kenceng dobrak pintunya ! Jihan aku takut !" "Jihan, orang itu berhasil dobrak pintunya." "Jihan, tolong angkat panggilan aku." "Jihan, tangan aku gemeter banget. Jihan aku takut." "Jihan, dia mulai nyariin aku." "Jihan, aku takut ...." "Jihan, dia jalan ke arah lemari." "Jihan, dia bawa pistol." "Jihan ....." Saat itu juga rasanya semua darah di tubuhku seketika hilang. Aku tidak bisa berpikir jernih sedikit pun, di dalam kepalaku hanya berpikir untuk segera sampai di kosan Zia, tapi itu mustahil jika aku menggunakan angkot. Aku berusaha untuk mencari ojek online, sialnya sinyalku tidak mendukung. Aku rasanya ingin menangis sekarang! Aku harus minta tolong siapa? "Jihan ... " Tiba-tiba sorot lampu motor berhenti tepat di sebelahku. Mataku yang berkaca-kaca kembali terlihat akan pria yang sekarang tengah turun dari motor dengan wajah cemas. "Kamu kenapa nangis di jalan malam-malam gini ?" tanyanya. Kalo waktu itu aku tangisku langsung hilang saat melihat kak Nasim, kali ini tangisku makin menajdi. Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi otakku terlalu kacau. "Kak, tolong, tolong antar aku ke kosan Zia," pintaku lirih. Aku tidak peduli dari mana dan mau ke mana kak Nasim. Di kepalaku hanya dipenuhi bagaimana caranya agar bisa sampai ke kosan Zia secepatnya. Kak Nasim terlihat bingung, tapi dia tidak bertanya lagi dan mengikuti permintaanku. Sepanjang jalan aku menangis, aku takut terjadi hal buruk pada Zia. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Zia, tapi ponselnya tidak aktif. Aku sama sekali tidak peduli akan keberadaan kak Nasim, yang diam-diam melirikku dari kaca spion motor. Aku tidak peduli, apa yang kak Nasim pikirkan sekarang. "Saya gak tahu apa yang terjadi, tapi kamu tenang aja ya. Kita bakal segera sampai," katanya pelan, sedikit berhasil membuat tangisku mereda. Aku mengangguk lemas, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. "Lewat sini, kan?" tanya kak Nasim, begitu kami sampai di lorong kecil yang akan memakan waktu lebih lama jika memaksa lewat di sana dengan motor. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru turun dari motor kak Nasim. "Hati-hati, Jihan, kamu hampir jatuh," seru kak Nasim kaget lantaran keputusanku yang tiba-tiba dan nyaris jatuh karena terburu-buru turun dari motor kak Nasim yang lumayan tinggi. Namun, aku sama sekali tidak memperdulikan itu, aku malah berlari dengan tubuh yang sedikit oleng. Dari arah belakang aku mendengar kak Nasim ikut berlari mengejarku, entah bagaimana dengan motornya ... "Jihan, hati-hati ...." seru kak Nasim dari arah belakang. Karena lagi-lagi aku hampir jatuh tersungkur. Kak Nasim berhasil menyamai langkahku. Sekarang ia berusaha berlari di sebelahku. Begitu sampai di depan kosan Zia, pupil mataku seketika membesar, banyak orang berdatangan ke sana. Pintu kosan Zia pun terbuka lebar. Aku tidak bisa menggelek, pikiran buruk yang langsung memenuhi kepalaku. Aku ingin segera berlari masuk, tapi seorang pria berseragam putih khas rumah sakit menghentikan langkahku. "Maaf, Mbak, kami butuh jalan untuk mengeluarkan kasur dorong ini." "T-tapi, saya harus menemui teman saya ...." Aku bersikeras untuk masuk. "Jihan, tenang," ujar kak Nasim menyadarkanku untuk tidak keras kepala. Entah apa yang terjadi, tapi semua ini sudah cukup menjawab apa yang ada di kepalaku. Tidak lama kasur dorong itu melintas di hadapanku. Aku tertegun saat melihat siapa orang yang berbaring di sana dengan mata tertutup rapat dan wajah penuh bercak darah. "Zia ...." **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN