Lemon Tea

1061 Kata
(Pov Jihan) "Cie ...." goda Zia dari balik buku yang tengah ia baca, entah sudah keberapa kalinya. "Senyumnya bahagia banget." Setelah pertemuan waktu itu, Zia selalu saja mengodaku setiap kali aku tersenyum melihat layar ponsel. Mungkin Zia berpikir kalo aku tersenyum karena mendapat pesan dari kak Nasim, padahal kenyataannya aku tersenyum hanya karena kisah cinta segitiga kucing. Sesederhana itu. "Kamu mau siap-siap ke mana, Jihan? Ada kajian dadakan ya? Hari ini gak ada mata kuliah, kan?" tanya Zia yang kemudian menutup bukunya. "Iya gak ada mata kuliah. Aku siap-siap mau pulang ke rumah tanteku," sahutku sembari sibuk merapihkan kerudung pink yang sudah kusematkan di atas kepala. "Eh?" Dari pantulan cermin, aku bisa melihat Zia memberengut sedih, meski teror itu tidak datang lagi setelah hari itu, Zia masih belum berani jika di kos sendirian. "Katanya mau nginep di sini selama seminggu? Gak jadi?" tanyanya memastikan. "Iya, aku pulang ke rumah cuma mau ambil buku catatanku yang ketinggalan." "Oh, gitu ...." Zia tersenyum kecil setelahnya. "Kamu gak masalah, kan, aku tinggal bentar? " tanyaku. "Gak kok. Tenang aja," sahut Zia. Gadis itu kini beranjak dari kasur beralih ke kursi belajar. "Atau kamu mau ikut?" tanyaku lagi, sukses memancing gelengan keras Zia. Zia masih kapok untuk ikut ke lebak bulus dengan segala kemacetan dan polusi udaranya. Aku tertawa pelan, sudah menduga reaksi itu dari Zia. "Aku titip salam aja ke tantemu, ya. Kapan-kapan deh kalo lebak bulus udah gak macet, aku main ke sana," elaknya cepat. "Kamu 'kan tahu sendiri, aku paling gak betah duduk lama di angkot." "Ya udah, aku pergi dulu ya. Beneran, kan, kamu gak masalah di kos sendiri?" Zia mengangguk pasti, mencoba memperlihatkan bahwa dia tidak masalah sendirian, tapi tetap saja dia bukan artis yang pandai memainkan ekspresi wajahnya. Aku tahu jelas ada raut cemas di wajahnya. Namun aku juga tidak berdaya sekarang. "Hati-hati di jalan ya," ujar Zia setelahnya. "Kamu juga hati-hati, ya. Kalo ada apa-apa langsung telepon aku, oek?" "Terus apa? Kamu bakal lari-lari ke sini kayak di novel? Ya kali, jauh tahu dari lebak bulus ke sini," kekeh Zia. "Udah, gak ada apa-apa kok. Santai. Udah buruan pergi. Makin siang makin panas, tahu ...." Dengan berat hati aku berusaha untuk mengabaikan kekhawatiranku dan menyakinkan diri kalo semoga semua akan baik-baik saja. Allah 'lah sebaik-baiknya penjaga. Benar apa yang Zia katakan, matahari bersinar dengan sangat terik. Berdiri lima menit di pinggir jalan menunggu angkot terasa sangat lama. "Kalo kata gue mau putus ... ya putus ! Lo gak berhak buat nolak!" Suara lantang gadis yang baru saja turun dengan tergesa-gesa dari motor besar yang di bawa seorang pria menggenakan jaket kulit hitam mengkilap yang langsung menyilaukan diterpa sinar matahari, menarik perhatianku yang sejenak menatap ke arah keduanya. Keduanya berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri menunggu angkot. Dari raut wajah gadis itu, terlihat terjadi cekcok di antara keduanya. "Ya gak bisa gitu dong, Sayang." Pria berjaket hitam itu buru-buru turun dari motornya, menyusul gadis itu dan berdiri tepat di sebelah gadis itu. Pria itu berusaha meraih tangan gadis berambut sebahu itu. Namun, gadis itu dengan kasar menepis tangan berotot pria itu. "Ini kan hubungan kita berdua, bukan hubungan sepihak. Kamu gak bisa mutusin gitu aja. Lagian kita gak ada masalah apa-apa, kenapa tiba-tiba kamu minta putus?" "Kamu gak berhak nanya itu ke gue!" sahut gadis itu ketus. Pria itu tidak berniat menyerah ia berusaha membujuk gadis itu, tapi sepertinya itu sia-sia. Gadis itu sama sekali tidak peduli, sekalipun pria di hadapanya berlutut memohon padanya. Gadis itu membuang wajahnya, dari gelagatnya terlihat dia ingin pergi dari sana. Pria itu lebih cepat menangkap gelagat gadis itu dan langsung menahan keras lengan gadis itu yang membuat gadis itu meringgis kesakitan. "Lepasin!" berontak gadis itu, bukannya melepaskan pria itu malah menarik lengan gadis itu, jika sebelumnya ia berusaha membujuk, kini pria itu memaksa dengan kasar gadis itu untuk kembali duduk di jok motor. "Lo gak akan bisa buang gue kayak mantan lo waktu itu!" "Lepasin gue!" Aku spontan langsung berlari ke arah keduanya. Ini bukan lagi pertengkaran biasa, ini sudah rana kriminal! Bug! Aku terperanjat, spontan langkahku terhenti tepat lima langkah lagi sebelum sampai di hadapan mereka. Semua terjadi begitu cepat. Seorang pria berbadan tegak, tiba-tiba datang, entah dari mana, langsung melayangkan pukulan keras pada pria berjaket hitam itu, berhasil melepaskan gadis itu dari cengkraman pria berjaket hitam yang kini meringgis kesakitan. Pria itu .... Aku tertegun melihat gadis itu tiba-tiba memeluk tubuh pria yang beberapa pekan ini selalu singah dipikiranku. Gadis itu terlihat merasa aman di sana hingga tidak kunjung melepaskan pelukannya, pria itu pun terlihat tidak merasa risih dan membiarkan keadaan itu begitu saja. Sesekali pria itu mengelus pelan pucuk kepala gadis itu. Mereka terlihat sangat dekat, tidak peduli, kalo keduanya sekarang tengah menjadi buah mata semua orang yang ada di sana. Ini salah ! Tanpa sadar langkahnku tertarik mundur, aku tidak percaya apa yang aku lihat sekarang ... "Kamu percayakan kalo tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Pertemuan kita pasti bukan kebetulan semata. Kita sudah berada begitu jauh, tapi kembali bertemu. Apa ini bukan sebuah tanda kalo mungkin kita akan sering dipertemukan?" "Saya harap kamu tidak keberatan untuk itu. Karena saya sangat tidak keberatan. Saya malah sebaliknya." "Saya suka setiap kali bertemu kamu. Saya harap kamu juga." Pria itu orang sama yang lusa lalu mengatakan kalimat semanis ini padaku. Apa itu hanya sepenggal kata biasa? Bukan kata penuh arti yang selama ini aku pikirkan? Apa itu hanya omong kosong semata? Aku kecewa? Marah atau apa? Aku pun tidak paham apa yang sebenarnya terjadi padaku sekarang. Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang pedih di sini, di hatiku ... Aku memang tidak merespon semua chat yang dia kirimkan, tapi perasaanku tidak bisa bohong sedikit pun. Aku tertarik padanya. Aku menyukainya? Semua kulakukan hanya semata-mata karena aku berusaha untuk memegang teguh syariat yang ada. Aku tidak ingin berkhalwat dengan laki-laki ajnabi, meski hanya sebatas chat. Aku berusaha menjadi seorang muslimah yang manjauhi segala perbuatan yang di murkai Allah SWT... lantas kenapa sekarang hatiku terasa seperti lemon yang di peras? Begitu sakit. "Kenapa perasaanku seperti ini, Ya Rabb?" ujarku yang entah kenapa terdengar begitu lirih. Tanpa aku sadari mataku berembun. Aku menangis? Dengan keadaan seperti itu, tiba-tiba kak Nasim menoleh ke arahku. Kak Nasim, menyadari kehadiranku di antara banyak orang yang mendekat. Aku belum sempat menghapus air mataku, bagaimana jika ia melihatnya? Apa yang nanti dia pikirkan? Aku harus pergi dari sini ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN