Syarat Tambahan Mendadak

1117 Kata
Ketiga laki-laki itu terlihat menekan-nekan keyboard komputer mereka, kemudian jari-jari mereka beralih ke CPU komputer yang berada di bawah meja. “Mati!” seru Jody dengan wajah bingung, kepalanya mendongak memandang lampu dispenser yang disediakan korporasi ini. Lampu indikator dispenser yang berada disalah satu sudut ruangan itu terlihat masih menyala. “Hem,” dehem Oscar. “Nggak perlu bingung, supply arus ke komputer ini memang sengaja dimatikan,” lanjut Oscar tenang. Kedua orang itu mendesah lelah, sedangkan Eliz menjulurkan kepala untuk melihat layar komputernya yang ternyata juga bernasib sama. Gadis itu kemudian memandang Harra dengan tatapan penuh selidik. “Apa sabotase dimulai?” ucap penyidik wakil dari kepolisian itu, Harra mengedikkan bahu. “Apa penyelidikan ini bisa dilanjutkan?” imbuhnya sambil tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Harra yang tengah menatap dengan datar. Beberapa langkah terdengar memasuki ruangan dengan dinding kaca itu. “Pertanyaan penyidik wanita ini menarik,” sahut Assad, yang dengan cepat, laki-laki itu telah berdiri di dekat meja Harra dan Eliz. Seisi ruangan itu menatap pemilik korporasi raksasa itu. Bahkan, ketiga laki-laki dalam tim itu berdiri di belakang mejanya masing-masing. “Sepertinya kita akan mendapat penjelasan menarik dari pemilik tempat ini, Eliz, mari kita dengarkan!” seloroh Harra dengan tenang, gadis itu tersenyum simpul. “Jadi, bisa dilanjutkan? Anda nggak akan membatalkan kesepakatan nasional ini ‘kan? Apa pemilik Cosmo Holdings adalah orang yang nggak bisa dipegang ucapannya?” seru Eliz yang tak dapat menyembunyikan kejengkelan. Assad terkekeh, sedangkan dua orang yang berdiri di belakang laki-laki itu diam mematung sambil memandang anggota tim yang ada di ruangan ini. “Tenang, Eliz!” sahut Assad sambil tersenyum menyeringai, satu telapak tangan laki-laki itu terangkat seolah menenangkan penyidik wanita itu. “Aku tidak akan menarik kata-kataku, jadi penyelidikan kalian bisa berlanjut. Em ... hanya saja, aku ingin menambahkan satu syarat mendadak,” ujar Assad sambil tersenyum licik. Harra dan tim menunggu apa yang akan diajukan oleh pemilik tempat ini. “Syarat tambahan? Apa?” timpal Oscar dengan tenang, laki-laki yang paling senior dalam tim itu terlihat berusaha mengimbangi ketenangan laki-laki tinggi tegap dengan pandangan mata tajam itu. Assad tersenyum. “Seperti yang telah menghebohkan seluruh kota New March pagi ini, percobaan pembunuhan beruntun terjadi pada Harra. Untuk menjamin keselamatannya, dan sebagai syarat tambahan, em ... Harra harus tinggal di kediamanku,” jelas Assad dengan nada tenang. “Hah! Nggak masuk akal!” sentak Harra seketika, “yang enggak-enggak yang diminta!” Keempat rekan gadis itu pun bersahutan menyatakan penolakan. “Oke, kalau begitu, kalian bisa menghentikan penyelidikan ini,” sahut Assad, tersenyum licik kemudian hendak berbalik meninggalkan ruangan. Harra mendesah lelah. “Apa sesungguhnya motif dibalik syarat tambahan mendadak itu?” cetus Harra buru-buru. Assad mengurungkan niat dan kembali berbalik, lalu melangkah mendekat ke arah Harra. “Itu untuk memecah opinimu, aku nggak akan membiarkan pikiranmu menuduhku ada dibalik tiga percobaan pembunuhan beruntun itu. Kupikir Kamu bukan jenis gadis yang dapat diyakinkan hanya dengan kata-kata.” Assad yang semula memandang Harra mengalihkan pandangan dengan menatap satu per satu anggota tim yang ada di ruangan itu. “Setelah aku menyetujui penyelidikan ini, tak satu pun perintah kuturunkan untuk mengganggu kalian. Jika kalian mendapatkan gangguan atau ancaman, kalian bisa menghubungiku, fair ‘kan?” lanjut Assad dengan raut wajah serius. Harra berdiri sambil bersedekap, dengan kesal memandang laki-laki atletis di depannya. “Kamu bisa membuat jaminan keamanan sebagai tindakan nyata untuk menghindari tuduhan itu. Tapi, kupikir tak perlu untuk tinggal di kediamanmu,” seru Harra dengan nada kesal. Assad geleng-geleng kepala. “Harra, coba dipikirkan! Apa kira-kira masih ada tempat yang aman untukmu di kota ini? Lihat! Di setiap sudut kota ini p*********n terjadi, bahkan ketika Kamu beristirahat di hotel,” papar Assad mencoba mengungkapkan alasan. “Ah!” desah Harra kesal sambil menundukkan kepala, kalimat Assad memang tak dapat diingkari kebenarannya. “Dengan tinggal di kediamanku, kita bisa lihat siapa yang mengancam hidupmu itu,” imbuh Assad dengan tegas. Semua anggota tim saling pandang dan tak tahu harus melakukan apa tentang syarat tambahan itu. “Oke, jadi, apa jawabanmu, Harra? Apakah penyelidikan tim ini akan dilanjutkan?” tantang Assad dengan lantang. Keempat anggota tim memandang Harra dengan tajam. “Ah ...! menyebalkan sekali!” umpat Harra kesal, wajahnya bersungut-sungut. Wajah-wajah keempat rekannya dan wajah-wajah perwakilan masyarakat yang memintanya bergabung dalam tim ini terbayang. “Ya udah!” putus Harra menyerah. Diujung jawaban Harra, salah satu laki-laki yang berdiri di belakang Assad langsung berbalik dan berjalan ke luar ruangan. “Bagus, aku tahu anggota tim kalian ini akhirnya akan mengucapkan kata itu,” ucap Assad seraya tersenyum menyeringai. Ucapan Assad diikuti dengan bunyi bising processor CPU yang melakukan booting, tanda sebentar lagi komputer-komputer dalam ruangan itu bisa kembali digunakan. Assad berbalik dan keluar dari ruangan itu setelah mengeluarkan seruan kemenangan. Pegawai laki-laki yang masih tersisa dengan patuh mengikuti gerakan bosnya keluar dari ruangan itu. Harra mendaratkan punggung di kursi dengan kasar, di hatinya masih tersimpan rasa kesal. Gadis itu menegakkan punggung dan terlihat merenung. “Apa dia benar-benar peduli? Apa yang dikatakan mafia itu sungguh-sungguh? Apa syarat tambahan itu hanya digunakan untuk melancarkan aksi selanjutnya? Em ... jika aku tinggal di kediamannya, bukannya gerakku makin terbatas?” Harra merenung dalam. “Ah!” Gadis itu tersentak ketika Eliz menyentuh bahunya. Harra kemudian menatap Eliz dengan ekspresi tanya. “Aku khawatir,” ucap Eliz lirih. Harra mengelus pundak Eliz untuk menenangkan rekannya itu, kemudian mereka kembali ke meja masing-masing. Assad keluar dari lift dan berjalan ke ruangannya yang berada di lantai tertinggi bangunan yang menjulang ke langit ini. “Perintahkan Alfa untuk segera ke ruanganku!” seru Assad pada pegawai laki-laki yang mengikutinya. Pegawai itu segera mengiyakan seraya mengangguk. Kemudian berhenti di sebuah meja yang berada di depan ruangan Assad. Beberapa menit kemudian seorang laki-laki paro baya masuk dengan membawa tas kulit hitam. “Aku menunggumu, Alfa,” ucap Assad membuka percakapan. Laki-laki itu mengangguk hormat, kemudian membuka tas kulit hitamnya. Berkas-berkas ditarik paksa dari dalam tas itu. Satu amplop coklat ikut keluar dari tas kulit itu. Assad membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya. Setumpuk foto kini berada dalam genggaman tangannya. “Jelaskan ...!” ujar Assad setelah melihat-lihat tumpukan foto itu. “Gadis itu ...,” lanjut Assad sambil menatap laki-laki yang kini berdiri di samping meja Assad itu. Laki-laki yang dipanggil Alfa itu terlihat menarik napas dalam. “Gadis yang sekarang menjadi detektif swasta itu bukan berasal dari kota Arkton, em ... kami tak menemukan catatan tentang gadis itu di kota itu,” jelas Alfa membuka pemaparan. “Ya?” seru Alfa terkejut, perasaan antara senang dan curiga terbit dalam hati. “Kamu sudah pastikan bahwa detektif swasta itu bukan gadis yang kita cari itu?” lanjut Alfa sambil menekan rasa senangnya yang dirasa terlalu dini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN