"Sistem pengelolaan pegawai apa yang diterapkan di perusahaan besar ini?! Memang jika pegawai gagal melaksanakan perintah, hidupnya bakal berakhir?" Harra memicingkan mata, kemudian menggeleng tak percaya.
“Tolong!” pinta pegawai wanita itu.
“Ah ...,” desah Harra, raut wajah memelas pegawai wanita itu membuatnya menyerah dan akhirnya gadis itu berjalan mengikuti wanita itu.
“Silahkan ...,” ucap pegawai wanita itu ketika sampai di salah satu ruangan yang masih berada di lantai satu gedung raksasa ini.
“Ini ...?” sahut Harra tercengang. Deretan baju dalam berbagai jenis diatur rapi dalam beberapa gantungan baju. Dan beberapa jenis sepatu ditata rapi di atas meja. Tak lupa tas-tas mewah diletakkan di atas meja yang lain.
“Ini buat Nona Harra semua, tapi jika tak mau, bisa dipilih beberapa, atau ... jika ada pilihan lain yang mungkin lebih disukai, bisa diinformasikan,” jelas pegawai wanita itu. Harra memandang pegawai itu sambil ternganga, telunjuknya menunjuk barang-barang yang terlihat mewah dan branded itu dengan wajah tak percaya. Pegawai wanita ini mengangguk.
Harra mengembuskan napas pelan. Sejenak gadis itu memejamkan mata.
“Maaf, saya nggak bisa mengambilnya,” ujar Harra kemudian hendak berbalik bersamaan dengan seruan pegawai wanita itu yang mencegahnya.
“Apa barang-barang ini bukan style-mu?” Sebuah suara yang mulai dikenali Harra membuat gadis itu mengurungkan langkah.
“Maaf, Pak,” sahut pegawai wanita yang berdiri di belakang gadis itu, kemudian pegawai wanita itu mundur dengan kepala menunduk.
“Kurasa ini dekat dengan style-mu. Casual, simple, em ... elegan,” lanjut Assad sambil menatap gadis itu dengan tajam.
Harra tersenyum simpul.
“Pak Assad, kurasa baru kemarin tugas saya dijelaskan, saya dan tim di sini untuk menyelidiki banyak kasus, em ... bukan untuk dimanjakan,” jawab Harra dengan tenang sambil menunjuk pada barang-barang yang berada di ruangan itu. Assad mendengkus pelan.
“Ini bukan ... em ... seperti itu. Ini karena apa yang Kamu alami kemarin. Tentu kejadian itu membuat Kamu kehilangan banyak barang dalam sekejap,” kilah Assad tanpa mengalihkan pandangan. Harra kembali tersenyum simpul.
“Mungkinkah ini untuk menutupi perbuatannya kemarin? Apa benar dia otak dibalik percobaan pembunuhan itu?” cetus batin Harra seketika.
“Itu bagian dari resiko pekerjaan. Senior saya pernah bilang, jika tak ingin mendapatkan resiko seperti itu, aku dipersilahkan berganti profesi. Jadi, kurasa hal itu bukan sesuatu yang harus diprihatinkan, em ... anyway ... rencana sepulang kerja, aku akan beli barang-barang pengganti,” sanggah Harra sambil beranjak meninggalkan Assad.
“Harra!” teriak Assad kencang dan itu membuat langkah gadis itu terhenti. Gadis itu berbalik dan menatap Assad dengan sedikit mendongak.
“Kamu bukan pegawai pemerintah, ini nggak akan terhitung sebagai gratifikasi, Kamu nggak akan ditangkap karena korupsi,” seru Assad dengan geram. Harra tersenyum tipis.
“Berikan itu pada em ... gadis-gadismu yang lain, kurasa mereka akan bahagia.” Harra berbalik dan kembali melangkah.
“Harra!” teriak Assad jengkel. Seketika gadis itu berhenti, lalu sedetik kemudian membalikkan badan, kemudian ia berjalan lurus dan berhenti tepat di depan Assad.
Harra menatap tajam, menantang mata Assad, kedua sudut bibir gadis cantik itu tertarik ke belakang membentuk senyuman manis.
“Kita berada pada hubungan yang tidak bisa menunjukkan keprihatinan sampai seperti itu,” ucap Harra sambil menunjuk barang-barang mewah yang sebenarnya akan membuat para wanita sosialita berteriak heboh.
“Ini bukan untuk menutupi rencana jahat ‘kan?” sindir Harra tanpa memalingkan pandangan. Assad menggerakkan kepala sambil memicingkan mata.
“Kamu mencurigaiku untuk tiga kejadian kemarin?” balas Assad terkejut, manik mata laki-laki dengan pandangan tajam itu terlihat sedikit membesar.
“Kita ada di posisi untuk saling mencurigai,” kilah Harra sambil mengedikkan bahu.
Assad mendengkus lelah, bahunya terlihat sedikit turun. Laki-laki yang kali ini mengenakan stelan jas lengkap itu sesaat mengalihkan pandangan, lalu kembali menatap gadis itu dengan tajam.
“Harra ... aku juga ada di sana ketika penembakan di depan restoran itu terjadi,” sanggah Assad mencoba memecah sangkaan gadis itu. Harra tersenyum.
“Bukannya ... yang seperti itu ... bisa diatur?” serang Harra tetap pada opininya, gadis itu kemudian tersenyum dan segera membalikkan badan.
“Harra!” seru Assad geram.
“Aku sibuk Assad, kita bicarakan lagi nanti, terima kasih atas aksi keprihatinannya, tapi aku nggak bisa terima itu,” jawab Harra sambil berjalan keluar ruangan.
“Harra!” teriak Assad sekali lagi dengan kesal.
“Ah ...! Apa di dunia ini gadis-gadis cantik selalu menyebalkan?” guman Assad pelan.
“Kerjakan perintah selanjutnya?” ucap Assad pada pegawai wanita yang dari tadi berdiri mematung di belakang kedua orang itu. Pegawai itu segera mengangguk dan dengan cekatan membereskan barang-barang mahal yang ditolak Harra.
Harra segera menuju lift dan menekan nomor ke lantai di mana satu ruangan dengan ukuran yang lumayan luas disediakan untuk tim oleh korporasi yang sedang diselidiki ini.
“Harra!” seru seisi ruangan ketika Harra masuk ke dalam ruangan itu. Eliz, akuntan, ahli hukum dan yang paling tua di antara mereka, auditor manajerial mendekat.
“Apa kalian mendapat ancaman yang sama?” seru Harra tanpa kalimat pembuka sebagai sapaan pagi. Keempat orang dalam ruangan itu saling pandang, kemudian menggeleng pelan.
“Ah!” Harra mendesah pelan.
“Atau ... belum?” sahut Eliz sambil mengedarkan pandangan pada ketika rekan yang lain, ketiganya terlihat tegang.
Laki-laki yang bertugas sebagai auditor manajerial itu mengembuskan napas panjang.
“Ingat! Kita sudah menyadari hal-hal seperti itu bakal terjadi jika kita berurusan dengan korporasi ini, apalagi sekarang jadi ujung tombak penyelidikan. Kita berharap bisa terhindar dari kejahatan-kejahatan itu. Tapi, ngomong-ngomong, Harra, harusnya Kamu langsung memberitahu kami tentang ancaman itu. Pagi tadi, hampir saja jantung ini lompat ke dalam mangkok sereal ketika membaca berita yang menggemparkan kota ini,” seru laki-laki itu sambil memegangi dadanya.
“Ya, Oscar, aku juga merasakan hal yang sama. Benar yang dikatakan Oscar, Harra, aku tahu, kejadian kemarin bukan hal asing bagimu, tapi setidaknya Kamu harus memberitahu kami jika ada kejadian di luar normal seperti itu,” saran laki-laki kurus dengan mata cekung sambil membetulkan kaca mata.
Laki-laki yang berperan sebagai ahli hukum dalam tim itu mengangguk.
“Ingat! Kita ini tim, Harra, benar yang yang disampaikan Oscar dan Henry. Memang kita sepertinya berdiri sendiri-sendiri, tapi setidaknya, hati kita tenang jika mengetahui keadaanmu baik-baik saja,” ucap laki-laki dengan rambut cepak ala tentara itu.
“Tuh! Dengerin saran Jody,” seru Eliz sambil menyenggol siku Harra, gadis itu mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol.
“Baik! Akan kudengarkan saran kalian, rekan-rekan,” seloroh Harra sambil duduk di kursinya dan tiga laki-laki itu mengikuti apa yang dilakukan gadis itu di balik mejanya masing-masing. Eliz mendekat ke arah Harra sambil menyeret kursinya.
“Kamu beneran nggak papa, p*********n-p*********n kemarin ...,” ucapan gadis dengan postur tegap itu menggantung.
“Ya, kurasa itu bukan satu kebetulan, p*********n-p*********n itu seperti ancaman atau ... ucapan selamat datang ... atau peringatan karena menjadi tim penyidik di korporasi ini,” bisik Harra lirih sambil mengedikkan bahu.
“Ah!” desah Eliz lelah.
“Eh!” Mendadak tiga laki-laki dalam tim itu secara bersamaan berteriak. Harra dan Eliz menoleh ke arah mereka.
“Kenapa?” seru Harra dan Eliz serempak.