Chapter 14

1707 Kata
Setelah Icha meninggalkan ruangannya, Cella langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Catherine untuk membuat janji temu. “Halo, Cath, bagaimana kabarmu?” Cella berbasa-basi setelah panggilannya dijawab pada dering kedua. “Cath, katanya kemarin kamu datang ke kafe mencariku. Ada apa ya?” tanya Cella usai berbasa-basi. “Aku ada di kafe sampai jam setengah lima sore, Cath,” Cella menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Catherine. “Baiklah, aku akan menunggu kedatanganmu di kafe. Sekalian nanti kita makan siang bersama. Ajak juga pangeran kecilmu, aku kangen sekali dengannya.” Cella menyudahi percakapannya setelah mereka sepakat untuk bertemu dan makan siang bersama. *** Di lain tempat, di sebuah kamar hotel berbintang, seorang wanita baru saja menyelesaikan ritual mandinya setelah bersusah payah melepaskan lengan kekar yang membelit tubuhnya. Wanita tersebut dengan santai memoles wajahnya dengan make up yang dia bawa. Menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh laki-laki yang masih bermalas-malasan di atas ranjang, dia pun sengaja bergerak semakin menggoda saat berias. “Jangan memancingku, Sayang,” tegur laki-laki yang tubuhnya hanya tertutupi sehelai selimut. Bukannya berhenti, gerakan wanita itu semakin sensual saat menyapukan lipsticks merah pada bibirnya, sehingga membuat sang laki-laki tidak tahan melihatnya. Laki-laki tersebut langsung mendekati wanita itu yang terang-terangan tengah menggodanya. “Kamu selalu bisa membangkitkan hasratku, Sayang. Sampai-sampai aku tidak rela beranjak dari kamar ini.” Laki-laki itu dengan cepat mengambil boxer yang berada tidak jauh dari ranjang dan segera memakainya. “Kamu juga selalu memuaskanku, Sayang. Tidak pernah sekali pun mengecewakanku,” balas sang wanita sambil mendesah karena tangan laki-laki tersebut mulai bergerilya di sekitar bukit kembarnya. “Andaikata tidak ada janji, maka dengan senang hati aku akan menghabiskan hari denganmu dan tentunya saling memuaskan,” imbuhnya menggoda. “Tunda saja janjimu dengannya, Sayang. Bila perlu, batalkan saja. Lebih baik kita puaskan hasrat masing-masing.” Laki-laki tersebut mulai mengecup dan menjilati leher yang menjadi titik lemah pasangannya. Wanita itu kembali mendesah karena hasratnya sudah terpancing. Sebelum semakin terlena akan sentuhan memanjakan dari pasangannya, dengan memaksakan tenaganya dia mendorong tubuh yang sudah siap membopongnya dan membaringkannya kembali ke atas ranjang. “Sayang, cepat bersihkan dirimu. Aku tidak mau dia menaruh curiga padaku,” pinta wanita itu dengan tatapan memohon. “Ah!” desah sang laki-laki kecewa karena hasratnya yang sudah di ujung kepala tidak berhasil tersalurkan lagi. “Masih banyak waktu yang kita punya untuk bisa saling memuaskan, Sayang.” Wanita itu mengelus wajah kecewa pasangannya dan sesekali memberikan kecupan pada rahangnya. Dengan sangat terpaksa, akhirnya laki-laki itu pun hanya menuruti. “Baiklah, Sayang. Kali ini aku memberimu toleransi, tapi ingat kamu harus membayarnya nanti berlipat-lipat,” ucapnya sambil menyeringai. “Sebagai gantinya, berikan aku morning kiss dulu, Sayang,” pinta sang laki-laki dan menunjuk bibirnya dengan telunjuknya. Wanita tersebut langsung mengecup bibir menggoda yang selalu membuatnya ketagihan. Setelah memberikan yang diminta oleh laki-laki tersebut, wanita itu pun berbisik, “Setelah yang aku inginkan tercapai, kita tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan ini, Sayang.” Sang laki-laki langsung mengangguk dan membalas ucapan wanita tersebut, “Aku akan selalu menunggu sampai hari itu tiba.” *** Jam makan siang pun tiba, Cathy sudah sampai di depan Glory Cafe dan sedang memarkirkan mobilnya. Hari ini dia mengendarai mobilnya sendiri, setelah terlebih dahulu mendapat izin dari suaminya. Dia membawa masakan dari rumah karena ingin makan siang di ruangan Cella, mengingat sahabat sekaligus adik iparnya tersebut sedang hamil. Tidak lupa, seperti permintaan Cella, dia telah mengajak pangeran kecilnya. “Hai, Cath,” sapa Icha saat melihat sahabatnya sedang membuka pintu mobil. “Hai, Cha. Cha, bisa bantu aku membawa ini?” Cathy memperlihatkan tupperware. Icha segera menghampiri Cathy, tapi bukan untuk menerima tupperware yang baru diperlihatkan padanya. “Aku akan membantumu menggendong yang itu saja,” tunjuknya pada car seat yang ditempati Gerald. Cathy tertawa dan mengangguk akan keantusiasan Icha saat melihat anaknya. “Boleh saja, asal yang digendong mau,” jawabnya seolah sang anak tidak yakin mau digendong oleh Icha. “Aku jamin pangeran kecil ini pasti mau, apalagi aku Aunty-nya yang paling cantik,” Icha menyombongkan diri dan langsung membopong George Kecil. “Setelah Cella tentunya,” Cathy meralat pernyataan Icha dengan cepat. “Terserah kamu sajalah Cath, yang penting George Kecil sudah bersamaku sekarang.” Icha mencium pipi gembil Gerald, sedangkan yang dicium pun cekikikan karena kegelian. Mereka melangkah bersisian menuju ruangan Cella melalui jalan di samping pintu utama, karena siang ini suasana kafe sedang ramai pengunjung. “Semakin banyak yang datang ya, Cha,” ucap Cathy setelah melihat suasana kafe dari luar. “Iya, Cath, mungkin dikarenakan promosi dari mulut ke mulut oleh pengunjung yang datang dan merupakan berkah anak Cella juga.” Jawaban Icha pun langsung disetujui oleh Cathy. *** “Halo, Aunty,” sapa Gerald lucu. Dia menirukan kata yang dibisikkan oleh Icha ketika pintu ruangan Cella dibuka. Cella mengalihkan perhatiannya dari kegiatannya memeriksa laporan keuangan kafe setelah mendengar sapaan khas anak kecil disertai suara cekikikan. “Halo juga, Pangeran Kecilku,” balasnya sambil tersenyum lebar. Gerald mulai berontak dalam gendongan Icha. Tangan mungilnya diulurkan untuk menggapai Cella. “Kalau sudah bertemu Aunty kesayangannya, aku langsung disisihkan.” Icha pura-pura kesal, tapi tetap membawa Gerald mendekati Cella. Cathy yang sedang meletakkan tupperware di atas meja di sudut ruangan hanya tertawa dan menggelengkan kepala mendengar ucapan nelangsa Icha. “Bagaimana keadaanmu dan bayimu, Cell?” Cathy menghampiri meja Cella setelah selesai menata makanannya. “Sehat dan semoga mereka selalu kuat sampai lahir, Cath,” jawab Cella yang kini sudah memangku Gerald. “Mereka?” Cathy memastikan pendengarannya. “Aku mengandung bayi kembar, Cath,” beri tahu Cella bahagia. “Selamat, Cell. Aku sangat senang mendengarnya. Akhirnya Gerald langsung mendapat dua orang sepupu sekaligus.” Cathy langsung memeluk Cella yang masih duduk sambil memangku Gerald. “Sayang, sini sama Mommy, kasihan Aunty berat memangkumu.” Cathy mencoba mengambil Gerald yang sudah asyik memeluk erat leher Cella. Dia takut membuat perut adik iparnya tertekan karena keberadaan Gerald. “Tidak mau, Mom, Gerald masih kangen sama Aunty Cella,” jawab Cella menirukan bahasa anak kecil sambil menciumi kepala keponakannya itu, seolah Gerald yang menjawabnya. “Ya sudah, kalau pangeran Mommy masih kangen sama Aunty Cella.” Cathy pasrah melihat tingkah anaknya. Gerald yang mendengar kepasrahan ibunya dan terkesan merajuk, menolehkan kepala lalu tertawa sehingga memperlihatkan gigi-gigi kecilnya. Mereka semua tertawa melihat tingkah Gerald yang semakin lucu dan menggemaskan. “Cha, panggil Aunty ke sini, kita makan siang bersama. Kebetulan aku cukup banyak membawa makanan,” ucap Cathy yang langsung dituruti Icha. Selama menunggu Keira, Cella masih saling melepas kangen dengan Gerald, sedangkan Cathy duduk di sofa hanya memerhatikan dan kadang-kadang menimpali keseruan sang sahabat bersama anaknya. Tidak lama Icha dan Keira datang, setelah berbasa-basi sedikit mereka langsung menikmati hidangan makan siang dengan lahap yang sudah disajikan oleh Cathy. *** Keira dan Icha keluar setelah mengucapkan terima kasih kepada Cathy atas menu makan siangnya. Mereka akan kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Gerald sudah tidur dan telah dibaringkan di ranjang yang selalu digunakan Cella untuk beristirahat. Kini tinggal Cathy dan Cella yang duduk di sofa. “Cath, apa yang ingin kamu bicarakan?” Cella bertanya setelah beberapa menit mereka terdiam. “Cell, bukannya aku mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Audrey ….” Cathy tidak melanjutkan kalimatnya karena menunggu reaksi Cella. Cella mengangguk. “Lanjutkan, Cath,” pintanya tidak sabar. “Beberapa hari lalu ketika kami menginap di mansion, tanpa sengaja aku mendengar perkataan Audrey dengan seseorang di telepon. Saat itu aku sedang menenangkan Gerald yang rewel di taman belakang.” Sesuai permintaan Cella, Cathy melanjutkan kalimatnya. “Apa yang kamu dengar, Cath?” Cella semakin penasaran mengenai yang dikatakan sepupunya itu. “Audrey berencana membuat orang tuamu lebih cepat meresmikan pengangkatannya sebagai anak kandung di keluarga Christopher,” Cathy memelan saat mengatakannya. “Cell, aku curiga jika dia mempunyai maksud tertentu,” sambungnya. Cella terkejut mendengar kabar yang disampaikan Cathy. Bukan karena semata-mata dia tidak senang jika sepupunya akan menjadi saudaranya, melainkan adanya tujuan lain seperti yang Cathy curigai. “Apakah kamu sudah memberi tahu George?” Cathy menggelengkan kepala setelah mendengar pertanyaan Cella. “Aku belum berani, Cell,” jawabnya jujur. “Kalau memang niat Audrey murni hanya ingin menjadi saudaraku, aku akan sangat senang dan terbuka menerimanya. Namun, kalau dia mempunyai niat terselubung seperti kecurigaanmu dengan menjadi saudaraku, apalagi hal itu sampai menyakiti perasaan orang tuaku, aku sangat-sangat tidak bisa menerimanya, Cath,” ucap Cella sedikit geram. “Cell, kendalikan emosimu. Aku akan mencari tahu mengenai yang sedang direncanakan oleh Audrey.” Cathy mengusap punggung Cella, berharap bisa menenangkannya. “Aku mengakui telah mengecewakan orang tuaku, sehingga mereka kini marah dan sangat membenciku. Bahkan, tidak menganggapku lagi sebagai anaknya dan bagian dari keluarga Christopher. Namun, aku tidak akan membiarkan orang lain menyakiti orang tuaku,” ucap Cella sambil meneteskan air mata. “Semua orang pernah melakukan kesalahan, Cell. Yang membedakan hanya skala besar atau kecilnya saja. Kesalahan itu bukan diratapi terus-menerus, melainkan dicarikan cara untuk memperbaikinya.” Cathy menghapus air mata Cella. Setelah hening beberapa saat, akhirnya Cella kembali bersuara dan mengungkapkan idenya, “Cath, bagaimana kalau kalian kembali tinggal di mansion? Jadi, dengan begitu kamu bisa memantau gerak-gerik Audrey.” “Aku tidak masalah tinggal di mana pun, tapi bagaimana dengan George?” tanya Cathy. Setelah Cathy berpikir sebentar, dia kembali bersuara, “Nanti aku akan coba membujuk George, Cell.” “Saranku, sebaiknya ceritakan saja yang kamu dengar Cath, pasti George langsung menyetujuinya. Kakakku itu akan mengorbankan dirinya untuk keutuhan keluarga, apalagi dia sangat menyayangi dan peduli dengan orang tuaku, terlebih kepada Mommy,” Cella menyarankan dan diangguki Cathy. Cathy mengangguk setelah mencerna saran yang diutarakan oleh Cella. “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan rumah tanggamu dengan Albert?” Dia menyudahi pembicaraannya menyangkut Audrey. Cella hanya mengangkat bahunya. “Begitulah, Cath. Sekarang dia sudah mau memerhatikan keadaan bayi kami,” beri tahunya dengan jujur sambil mengelus perutnya. “Bersabarlah, Cell, semua butuh proses dan waktu. Semua akan indah pada waktunya. Kamu harus selalu mengutamakan kesehatanmu dan para keponakanku ini.” Cathy ikut mengelus perut Cella. “Terima kasih, Aunty,” Cella menjawab mewakili calon bayinya. Sisa siang itu Cella dan Cathy lewati dengan saling bertukar cerita. Cathy juga banyak membagi pengalamannya semasa mengandung, sedangkan Gerald yang sudah bangun dari tidur siangnya sedang diajak jalan-jalan oleh Icha di sekitar kafe.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN