Vania melotot menatap Erwan.
"Iiih Abang mau apa? Kata Bunda Abang nggak boleh masuk kamar Nia!" Vania memukul lengan Erwan yang ada di bahunya.
"Bunda kan tidak tahu kalau kamu hamil, jadi tidak tahu kalau kita harus sering ciuman biar anak kita sempurna," jawab Erwan dengan modus tingkat tinggi.
"Tapi perut Nia kok nggak besar-besar ya Bang." Vania menunduk untuk melihat perutnya.
"Perut Nia nanti pasti tambah besar." Erwan meyakinkan Vania.
"Kalau perut Nia besar, bagaimana sekolah Nia nanti Bang?" Vania menatap Erwan.
"Abang sudah bilang, kalau Nia masih bisa sekolah walaupun hamil, tapi Nia jangan bilang-bilang sama siapapun ya, kalau Nia, dan Abang sudah ciuman." Erwan mengingatkan.
"Heengh," Vania menganggukan kepala.
"Sekarang Nia harus tahu tahap berikutnya." Serangan modus Erwan semakin menjadi saja.
"Tahap berikutnya apa Bang?" Vania bingung dengan maksud Erwan.
Erwan duduk di tepi ranjang lalu menepuk pahanya.
"Sini duduk di pangkuan Abang."
"Buat apa?" Tanya Vania.
"Nanti Abang jelaskan."
Erwan menarik lengan Vania hingga Vania terduduk miring di atas pangkuannya. Begitu pantatnya jatuh di atas pangkuan Erwan, tiba-tiba saja Vania menangis membuat Erwan kebingungan.
"Nia kenapa menangis?"
"Nia ingat Bapak." Air mata Vania berjatuhan.
"Ingat Bapak?"
"Iya."
"Nia bisa telepon kalau kangen."
"Nia sudah telepon tadi siang pakai hp yang baru dibelikan Bunda, tapi Nia kangen dipangku Bapak, Bang."
"Anggap saja sekarang Nia lagi dipangku Bapak ya," Erwan mengusap kepala Vania yang jatuh di atas bahunya.
"Bapak ...." Vania menangis terisak.
"Sudah cup, cup, sekarang Nia tidur saja ya, besok harus sekolah?"
"Tapi Nia masih ingin dipangku, Nia kangen tidur dipangkuan Bapak." Vania terus terisak.
"Ya sudah, Nia boleh tidur di pangkuan Abang malam ini," sahut Erwan, dibelai lembut punggung Vania.
Vania melingkarkan satu lengannya di leher Erwan, tangan yang satunya menyusup di bawah ketiak untuk memegang punggung Erwan. Suara isakannya masih terdengar. Terkadang Vania menggesekkan wajah ke kaos yang dipakai Erwan, untuk menghapus air mata nya.
"Cup, cup, sudah dong nangisnya. Ini sudah Abang pangku," bujuk Erwan.
"Enghhh," Vania menggumam pelan, kepalanya menyusup ke lekukan leher Erwan, hembusan nafas Vania membuat Erwan merinding. Erwan masih mengusap punggung Vania pelan, tapi kali ini usapan itu langsung mengenai kulit Vania.
Kaitan bra Vania sangat menggoda jemarinya untuk membukanya. Sejak masuk SMA, Erwan sudah sering menggerayangi tubuh pacar-pacarnya, tapi hanya sampai menggerayangi, dan mengecup saja. Belum sampai pada tahap belah durennya.
Dengan sangat perlahan, Erwan mengangkat tubuh kecil Vania, dan membaringkan Vania di atas ranjang. Dengan perlahan juga dinaikan atasan, dan bra Vania sampai melewati dadanya.
Sehingga terlihat dengan jelas buah dadanya Vania yang putih, tidak terlalu besar tapi terlihat padat berisi.
"Abang mau apa?" Mata Vania terbuka dengan malas.
Erwan meraba dadanya Vania pelan.
Vania memukul tangan Erwan yang menyentuh dadanya.
Vania bangun dari rebah, tangannya kembali memukul tangan Erwan yang sudah meraba dadanya.
"Jangan dipegang!" Vania cepat membereskan pakaiannya.
Mereka berdua duduk bersila berhadapan di atas ranjang.
"Kenapa?" Tanya Erwan.
"Kata Ibu, kalau dadanya cewek kesenggol cowok, nanti bisa jadi besar seperti kelapa. Hiiiyyy!" Vania bergidik membayangkan buah dadanya sebesar, dan seberat kelapa.
Hampir saja tawa Erwan meledak, tapi Ia menahan tawa demi misinya.
"Justru karena itu Abang pegang dadanya Nia"
"Eeh, apa maksud Abang?" Vania mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Erwan.
"Maksud Abang, Nia kan hamil nih?" Erwan menyentuh perut Vania.
"Ehmm terus." Vania menatap bingung tingkah Erwan.
"Kalau hamil berarti nanti melahirkan, iya kan?" Erwan menatap Vania dengan bibir tersenyum.
"Heeng," Vania menganggukkan kepala.
"Nah kalau anak kita lahir, otomatis Nia harus menyusui kan?"
"Heeum." Kepala Vania mengangguk lagi.
"Kalau dadanya Nia masih kecil begini, mana bisa Nia menyusui anak kita, pasti asinya sedikit, iya kan? Kalau asinya sedikit anak kita nanti tidak kenyang, pasti nangis terus. Kalau nangis terus bisa sakit, iya kan?" Rayu Erwan dengan penjelasannya yang bagi Nia sangat masuk akal.
"Iya, terus bagaimana?" Vania mulai terpengaruh dengan penjelasan Erwan.
"Karena itu, Abang pegang-pegang dadanya Nia, biar dadanya Nia jadi besar, dan nanti asinya bisa muat banyak." Erwan melanjutkan penjelasan beraroma modusnya.
"Ehmm begitu ya Bang?" Kepala Vania mengangguk-angguk.
"Coba lihat gelas sama botol, banyak mana muat airnya?" Erwan menunjuk ke arah botol besar berisi air mineral, dan gelas yang ada di atas meja di dekat pintu kamar mandi.
"Botol, kan botol lebih besar." jawab Nia polos.
"Nah begitu juga dadanya Nia, kalau kecil asinya pasti sedikit, kalau besar muatnya pasti jadi banyak, iya kan?"
Nia menganggukkan kepala .
"Abang pintar ya, kok bisa tahu hal yang seperti itu, padahal Abang cowok."
"Abang ingin jadi ayah yang baik untuk anak kita, jadi Abang harus tahu hal-hal yang seperti itu."
"Oh begitu ya," Vania manggut-manggut.
"Nia ingin jadi Ibu yang baik juga kan?" Tanya Erwan.
"Heumm."
"Kalau begitu ijinkan Abang pegang, dan cium dadanya Nia ya, demi anak kita," nada suaranya dibuat seperti penuh permohonan oleh Erwan.
wajahnya dibuat sememelas mungkin.
"Mau ya, Sayang," rayu Erwan.
"Engh, heum," Vania akhirnya mengangguk juga. Setuju dengan keinginan Erwan.
Erwan bersorak di dalam hati. Matanya langsung berbinar cemerlang.
"Sekarang kita lepas baju Nia dulu." Erwan menggapai ujung atasan yang dipakai Nia.
Nia mengangkat kedua tangannya untuk memberikan jalan agar Erwan bisa melepaskan bajunya.
"Kulit Nia putih banget," puji Erwan sambil menyentuh dadanya Vania. Pujian Erwan membuat pipi Vania memerah.
"Sekarang lepas branya ya," bujuk Erwan lembut.
"Ehmm," Vania mengangguk, dan membiarkan Erwan melepaskan branya, dan menjatuhkan bra itu ke lantai tepat di atas bajunya tadi.
Vania menyilangkan kedua tangan di depan d**a, saat menyadari tatapan Erwan yang tidak mau lepas dari dadanya.
"Jangan ditutupi, Sayang. Ini salah satu keindahan dunia." Erwan melepaskan tangan Vania, dan didorong tubuh Vania agar jatuh ke atas kasur.
Kedua jemari tangan Erwan bertautan dengan kedua jemari tangan Vania. Sedang wajah Erwan sudah berada di atas dadanya Vania.
Erwan mulai menyentuh dadanya Vania dengan lembut. Erwan bisa merasakan tubuh Vania yang bergetar.
"Kenapa, Sayang?" Tanya Erwan.
"Badan Nia rasa meriang, Bang." Jawaban yang membuat Erwan tersenyum. Gadis super polos seperti Vania ternyata bisa meriang karena sentuhannya.
"Itu tandanya dadanya Nia sedang bereaksi, kalau kita sering begini maka dadanyq Nia akan semakin cepat besarnya."
"Oh, begitu ya?"
"Iya, Sayang, jadi rasakan saja ya."
"Heum," kepala Nia mengangguk.
Erwan kembali dengan aksinya di atas dadanya Vania.
Mulut Vania mendesah pelan.
"Baang ...."
"Ehmm .... " Erwan bergumam pelan.
"Nia mau pipis sebentar ya."
"Pipis?" Kepala Erwan terangkat dari dadanya Vania.
"Iya, celana Nia sudah basah."
Bibir Erwan tersenyum senang.
"Coba Abang lihat ya," Erwan ingin menurunkan celana Vania, tapi Vania menahan tangan Erwan.
"kenapa?"
"Dosa!"
"Dosa?"
"Kata Ibu punya Nia yang di dalam celana nggak boleh kelihatan, apa lagi dipegang cowok karena dosa, Nia enggak mau berdosa terus dibakar api neraka. Hiiiyyy ... panas!" Tubuh Vania bergidik ngeri.
Erwan harus menahan tawa.
"Nia, Abang ini suami Nia, kita sudah menikah, jadi tidak dosa kalau Abang melihat, atau memegang bagian manapun dari tubuh Nia." Erwan menjelaskan.
"Masa sih? Nia tanya ibu dulu ya."
"Eh, jangan!"
"Kenapa? Abang bohong ya."
"Tidak. Abang tidak bohong, Nia."
"Kenapa Nia tidak boleh tanya ibu."
"Selain ibu, dan bapak. Nia harus percaya, dan menurut dengan ucapan Abang. Karena Abang suami Nia."
"Oh, begitu ya." Vania masih ragu dengan penjelasan Erwan.
"Iya."
Vania terdiam, belum setuju atas apa yang ingin dilakukan Erwan. Sementara Erwan sedang berpikir, mencari kalimat yang tepat, agar Vania bersedia memenuhi keinginannya, untuk melihat area paling tersembunyi milik Vania.
*