Plaaakk.
Vania memukul jidatnya.
"Iya Abang benar, kata Ibu cuma suami Nia yang boleh melihat, dan pegang-pegang badan Nia. Abangkan suami Nia ya. " Nia tertawa dengan mimik lucu.
"Jadi?" Erwan tersenyum sumringah, berharap melihat anggukkan kepala Vania, sebagai tanda Vania setuju ia sentuh.
"Wan?"
Harapan Erwan langsung terhempas, karena mendengar panggilan Bundanya.
"Bunda, tadi Bunda bilang Abang nggak boleh masuk kamar Nia, bagaimana dong, Bang?" Vania segera memungut baju, dan branya. Ia segera mengenakannya dengan sangat cepat.
"Aduuh untung tadi pintu kamar Abang kunci." Erwan meraba kunci pintu kamar di saku celana.
"Terus bagaimana, Bang?"
"Abang ke luar lewat teras saja, terus lompat ke teras kamar Abang," Erwan menuju pintu teras kamar Vania.
Vania melihat jarak yang cukup jauh antara teras kamarnya, dan kamar Erwan.
"Kalau Abang jatuh bagaimana?" Mata Nia sampai berkaca-kaca saking cemasnya.
Erwan tidak menyahut tapi Ia langsung menaiki pagar pembatas teras kamar Nia, dan berusaha menggapai pagar teras kamarnya.
"Hufff, huuhhh!" Erwan sudah berada di teras kamarnya.
Mereka berdua bernafas lega.
"Selamat tidur, Nia." Erwan memberikan kiss bye nya untuk Vania, membuat Vania tersipu malu.
Setelah Vania masuk ke dalam kamar. Erwan juga masuk ke dalam kamarnya. Saat Erwan membuka pintu kamar, Bundanya sudah ada di dekat tangga.
"Ada apa, Bun?" Tanya Erwan. Ia mendekati Bundanya.
"Kamu dipanggil-panggil dari tadi ...."
"Maaf, Bun, perutku mules, jadi tadi waktu Bunda panggil, aku ada di kamar mandi."
"Mules?"
"Iya, tapi sekarang enggak lagi kok. Ehmm ada apa Bunda cari aku?"
"Bunda cuma mau minta tolong sama kamu, untuk mengantar Vania besok ke sekolah, kamu belum mulai masuk kuliahkan?"
"Belum, Bun."
"Jadi bisa besok antar Vania ke sekolah?"
"Bisa, Bun."
"Ya sudah. kalau begitu, terima kasih ya. Sekarang tidurlah, Vania juga sepertinya sudah tidur ya."
"Iya, Bun." Erwan menganggukkan kepala.
Bu Elma melangkah menuruni anak tangga, sedang Erwan mencoba membuka pintu kamar Vania tapi terkunci.
"Nia, Nia!" panggilnya, tapi tidak ada sahutan.
'Hhhh pasti Dia sudah tidur, gagal lagi karena Bunda. Sabaar Erwan, Vania tidak akan kemana-mana. Dia akan ada di sini, dan masih banyak waktu untuk bersamanya, bahkan kamu akan bersamanya untuk seumur hidupmu,' batinnya.
*
Pagi harinya.
Vania sudah rapi dengan seragam sekolah. Ia keluar dari kamar berbarengan dengan Erwan yang juga baru ke luar dari kamarnya.
"Abang kuliah hari ini?".
"Enggak. Abang diminta Bunda buat nganterin Nia ke sekolah".
"Ooh ...." Vania ingin melangkah lebih dulu, tapi Erwan menahan tangannya.
"Ada apa?" Tanyanya.
Cup.
Ervan mengecup pipi Vania sekilas.
Mata Vania melotot gusar.
"Abang!" sengitnya sambil memukul lengan Erwan.
"Cuma cium sedikit kok," sahut Erwan.
Vania memanyunkan bibirnya.
"Kalau manyun begitu Abang cium lagi nih".
"Enghh nggak mau!" rajuk Vania.
"Kalau enggak mau, senyum dong!" Ervan mengusap bibir Vania dengan jarinya.
Terpaksa Vania mengukir senyum di bibirnya.
"Naah gitu dong kan cantik jadinya"
Cup
Erwan mengecup sekali lagi pipi Vania.
"Iih kok dicium lagi!" Vania memukul lengan Erwan lagi.
"Habisnya Nia cantik sih" puji Erwan melambungkan hati Vania.
"Ayo turun!"
Erwan menggandeng lengan Vania untuk turun ke lantai bawah.
"Eeh mana ponselmu, biar Abang tahu nomer ponselmu."
Vania mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Erwan mengernyitkan kening, melihat ponsel yang diserahkan Vania ke tangannya.
"Ini ponsel yang baru dibelikan Bunda?" Tanya Erwan dengan tatapan tidak percaya .
Tapi dimasukannya juga nomer kontaknya di ponsel Vania, dan nomer kontak Vania di ponselnya.
"Heengh" Vania menganggukkan kepala.
Mereka sampai di bawah.
"Bunda, kenapa Nia dibelikan ponsel jadul begini sih, inikan cuma bisa buat telpon sama sms," kata Erwan sambil mengacungkan ponsel di tangannya.
"Bukan cuma bisa buat sms sama telepon, tapi bisa buat mainan ular-ularan juga kok, Bang," sahut Vania.
"Kamu harus tahu, Wan. Buat beliin ponsel Vania ini, Bunda harus meyakinkan Ibu nya Nia dulu, kalau Nia memang sangat butuh ponsel itu, untuk komunikasi kita dengan Vania," jawab Bu Elma.
"Kamu belum pernah punya ponsel Nia?" Tanya Erwan, Vania menggelengkan kepalanya.
'Hhhh ... pantas saja polosnya minta ampun, ternyata benar-benar suci murni tanpa tambahan apapun,' batin Erwan.
"Ayo sarapan dulu." Bu Elma, dan Bibik sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka.
Saat sarapan terjadi percakapan ringan diantara mereka berempat.
Bu Elma kembali mengulangi pesan yang diucapkannya kepada Vania.
Vania menganggukkan kepala, sebagai tanda Ia akan mematuhi pesan Ibu mertuanya.
*
Erwan memarkir mobil di depan gerbang sekolah Vania, sekolah ini juga sekolahnya.
"Sudah sampai, ayo turun."
"Nia takut, Bang."
"Takut?"
"Heenghh" Vania mengangguk dengan wajah cemas.
"Nia tidak usah takut, bulatkan tekad, kalau Nia ada di sini untuk masa depan Nia, oke!" Erwan menggenggam tangan Vania erat.
"Tapi Nia nggak punya teman di sini, Bang."
"Bukan tidak punya, tapi belum punya, cewek semanis Nia, sebaik Nia pasti bisa cepat punya teman, asal Nia mau menyapa, dan memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi ingat pesan Bunda tadi ya, hati-hati memilih teman," sahut Erwan.
"Heenghh." Vania menganggukan kepalanya.
"Sekarang turun ya, sudah hampir waktunya masuk," bujuk Erwan.
"Heengh." Vania meraih tangan Erwan, lalu dicium punggung tangan Erwan.
Erwan membalas dengan mengecup pipi Vania.
"Abang! Kalau ada yang lihat malu!" rungut Vania dengan wajah cemberut.
"Enggak ada yang lihat kecuali yang di atas."
"Haahh! Di atas ada siapa?" Seru Vania panik sambil mendongakan kepalanya ke atas.
Erwan langsung tergelak mendengar pertanyaan, dan sikap polos istri imutnya.
"Maksud Abang, yang di atas itu Allah, Sayang." Erwan mencubit kedua pipi Vania dengan gemas.
"Sakit, Baang. Abang sih tadi bilangnya yang di atas, Nia pikir di atas mobil."
"Sudah turun sana, belajar yang rajin, dan ingat jangan terlalu dekat sama cowok, karena Nia istri Abang oke!".
"Heengh, eeh Abang nggak ingin turun juga, inikan pernah jadi sekolah Abang?" tanya Vania.
Erwan menggelengkan kepala.
"Abang masih ada yang harus dikerjakan, kalau waktunya Nia pulang, nanti telepon Abang ya, biar Abang jemput kamu."
"Iya. Assalamuallaikum, Bang."
"Walaikum salam."
Vania ke luar dari mobil, dan melangkah dengan ragu untuk melewati pintu gerbang sekolahnya.
"Hay!" seorang cewek mensejajari langkahnya.
"Hay juga," sahut Vania.
"Murid baru juga ya?" Tanya cewek yang tubuhnya lebih tinggi, dan lebih besar sedikit dari Vania.
"Iya."
"Kenalkan namaku Ami." Cewek itu mengulurkan telapak tangan pada Vania.
"Vania, panggil saja Nia." Vania menyambut uluran tangan Ami.
"Semoga kita ditempatkan di satu kelas ya Nia."
"Iya," sahut Vania yang merasa senang karena langsung mendapatkan teman baru di sekolahnya.
Bukan cuma Ami teman yang mulai dekat dengannya, tapi juga ada Kiki, dan Yani.
Mereka di tempatkan dalam satu kelas, dan duduk saling berdekatan.
*