"Kita ke mana lagi, Nona?"
Evan melempar tanya kepada Diana yang saat ini berjalan 1 meter di depannya. Wanita itu tersenyum, tapi belum menempali apa yang ditanyakan oleh sang sopir. Seharian ini, Diana telah menghabiskan banyak uang untuk membeli banyak sekali barang yang tentu saja tidak ia butuhkan. Namun, karena suasana hatinya sedang baik hari ini, jadi yang memutuskan untuk berbelanja sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sanders.
"Kita ke toko sepatu," sahut Diana.
"Baik, Nona."
Evan mengikutinya dengan senang hati. Tadi, ia telah menjelaskan apa yang ia lakukan bersama Talita di kamar wanita itu. Namun, entah mengapa rasanya ada sesuatu yang Diana sembunyikan selama ini. Apa yang mereka lakukan kemarin adalah kunci bagaimana hubungan bos dan sopir itu tampak begitu akrab.
Diana juga merasakan hal yang sama. Wanita itu tidak pernah merasa mendapatkan kasih sayang dari sang suami. Walau begitu, wanita itu tidak mau terburu-buru. Evan hanya seorang sopir dan menemaninya adalah sebuah kewajiban. Apa yang pria itu lakukan kemarin adalah satu titah yang memang harus ia lakukan. Bukan berarti apa-apa.
Sesampainya di toko sepatu, Diana melihat sekeliling. Ia mencari sesuatu yang sesuai untuk sang sopir. Mungkin sepatu baru bisa membuat penampilan Evan menjadi jauh lebih baik. Atau mungkin sebuah jam tangan yang mahal?
"Pilih yang kamu suka. Aku akan membelikannya," kata Diana.
"Tidak perlu, Nona."
"Ini bukan pemberian. Ini perintah," kata Diana seraya menoleh.
Evan tersenyum dengan penuh arti. Baiklah, ia akan memilih salah satu benda yang mungkin bisa membuat sang bos senang. Pria itu melihat-lihat, lantas menunjuk salah satu arloji yang ada di etalase.
"Yang ini," katanya.
Evan tidak mencobanya. Pria itu langsung memilih salah satu dan mengatakan pada Diana bahwa ia mau arloji itu.
"Kamu enggak mau lihat yang lain? Banyak sekali pilihan di sini, Van," kata wanita itu.
"Tidak, Nona. Saya sudah melihat sekilas tadi. Dan ini yang terbaik bagi saya," jawab pria itu.
Diana menatap mata Evan dengan lekat. Entah kenapa, jawaban pria itu membuat Diana jadi bergetar. Evan tidak melihat ataupun mencoba barang-barang yang ada di sini. Melainkan langsung menunjuk salah satunya dan memintanya untuk dibelikan benda itu. Apakah selama ini ia selalu seperti itu? Mungkin itu juga menjadi salah satu daya tarik dari pria beralis tebal tersebut.
"Oke. Bungkus yang itu," kata Diana.
Wanita itu berjalan menuju ke kasir. Sejenak Ia berpikir. Lebih baik ia menggunakan uang cash untuk membayar jam tangan itu daripada menggunakan kartu kredit yang diberikan oleh Sanders. Bukan apa-apa, Diana hanya tak mau jika sang suami berpikir yang tidak tidak. Walau pada kenyataannya Evan memang telah menarik hati Diana, diakui maupun tidak.
Diana kemudian memberikan paper bag berisi jam itu kepada Evan setelah membayarnya. Dengan senyum yang begitu tulus Evan berterima kasih kepada sang Bos. Wanita di depannya adalah sesuatu yang begitu istimewa bagi Evan. Setidaknya setelah kejadian itu. Jadi, apapun yang diberikan oleh Diana adalah benda yang juga istimewa. Maka, Evan akan menjaga arlogi itu sampai kapanpun.
"Terima kasih, Nona," kata Evan.
Diana mengangguk lemah. Ia masih menatap lekat mata pria beriris cokelat itu dengan seksama. Aah ... ini gila. Mengapa makin ke sini Evan makin menawan?
"Setelah ini kita ke mana, Nona?"
"Emh ... kita ke hotel Marbella. Aku mau makan siang di restorannya," ucap Diana.
"Baik, Nona."
Evan kembali menenteng paper bag berisi banyak belanjaan milik Diana. Ia mengekir pada wanita itu menuju ke parkiran dan bergegas mengatur kemudi untuk pergi ke hotel Marbella. Diana ingin makan siang di sana. Jadi, ia harus mengikuti titah dari Diana saat ini.
Sayangnya, Evan lupa jika hotel itu berseberangan dengan hotel Victoria. Oke, mungkin Diana tidak mengetahui mengenai bisnis haram yang dilakukan oleh Sanders. Namun, transaksi itu akan terjadi di sana. jlJadi, akan banyak anggota yang berjaga ataupun menyamar untuk mengintai transaksi itu.
Sesampainya di sana, Evan membuka pintu mobil untuk sang Nona. Diana keluar lantas tersenyum kepada sang sopir yang kemudian membantunya untuk berdiri. Saat itu, Diana mulai membuka suara.
"Kamu juga harus makan," katanya.
"Baik, Nona. Saya akan makan setelah Nona Diana selesai," ucap Evan.
"Kita makan bersama."
Diana langsung menarik dengan Evan tanpa berniat menunggu jawaban dari pria itu. Jadi, mau tak mau Evan mengekor. Wanita itu mengambil duduk di sebuah bangku yang menghadap persis ke jalanan. Saat itu, Evan yang diminta untuk duduk menggeleng lemah.
"Saya akan duduk di kursi lain, Nona," katanya.
"Oke. Jangan jauh-jauh."
Mereka saling berhadapan satu sama lain walaupun berbeda meja. Entah mengapa rasanya seperti seorang yang berpacaran. Namun, dengan diam-diam. Sesekalinya Diana akan tersenyum kepada Evan dan sebaliknya. Sampai akhirnya hidangan mereka diantar oleh waiters. Keduanya menikmati hidangan yang dipesan sampai akhirnya sebuah mobil menepi di lobby.
Diana menoleh dan melihat Sanders turun dari mobil yang berhenti itu. Wanita itu mengernyit. Ia tidak tahu jika suaminya akan datang ke hotel Marbella juga hari ini. Ketika ia hendak menghampiri pria itu, seorang wanita lebih dulu menyahut tangan Sanders. Diana mengernyit lagi. Ia tidak mengenal siapa wanita itu dan juga bukan karyawan dari perusahaan sang suami. Lantas siapa dia?
Evan juga melihatnya dan menyadari bahwa yang sedang bersama Sanders adalah salah satu anggota BIN yang menyamar. Jadi, bagaimana sekarang?
Ketika Diana hendak menghampiri mereka Evan langsung mencegahnya.
"Ada apa, Van?" tanya Diana.
"Tuan sedang berbisnis, Nona. Jadi, lebih baik kita tidak mengganggunya," ucap Evan.
"Tapi, wanita itu? Siapa dia. Berani-beraninya menggandeng Sanders di depan orang banyak begini," kata Diana kesal.
"Tentu saja rekan bisnisnya. Kita pergi saja," ujar Evan.
Sebelum meninggalkan restoran itu, ia merogoh uang di saku celananya demi membayar makanan mereka. Lantas, menarik tangan sang nona untuk bergegas menuju ke parkiran. Saat itu, Sanders melihat mereka sekilas, tapi kemudian tetap fokus pada pertemuan itu.
Mobil yang dikendarai Evan melaju kencang menuju ke luar kota. Saat itu, tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Lebih baik membawa Diana menjauh dari sana sejauh-jauhnya.
"Kita mau ke mana?" tanya Diana.
"Emh ... saya harus membeli kopi, Nona. Saya merasa ngantuk," alibi Evan.
Diana membuang napasnya dengan kasar. Ia bersedekap dan melihat keluar demi meredam rasa penasaran. Ini tentang Sanders. Namun, ketika Evan mulai menepikan kendaraan di depan sebuah kafe, Diana mendadak lupa dengan apa yang ada dalam pikirannya.
"Di sini?" tanya Diana.
"Iya. Apa Nona mau turun?" tanya pria itu.
Tanpa menunggu lagi, Diana mengangguk. Evan turun dan membukakan pintu untuk sang nona yang ternyata begitu antusias. Ketika masuk bersama Diana, Evan langsung disapa sang waiters yang sudah kenal baik dengan pria itu.
"Lama tidak ke sini. Mau duduk di tempat biasa?" tanya sang waiters.
"Iya. Berikan pelayanan yang terbaik untuk istri Bosku," kata Evan.
Sang waiters mengangguk. Lantas, menunjukan tempat yang biasa Evan pesan. Diana tak bisa menahan dirinya ketika melihat suasana tempat itu. Ia menoleh, lalu tersenyum pada Evan yang masih berdiri tak jauh dari sana.
"Amazing. Apa kamu sering membawa seorang gadis ke sini?" tanya Diana kemudian.
Evan tersenyum, lalu mendekati sang nona perlahan.
"Baru Nona, setelah seseorang di masa lalu pergi," sahut Evan.
Wajah Diana memerah, tapi juga penasaran. Apakah seseorang itu spesial? Paham jika sang nona masih diperam tanya, Evan sedikit menjelaskan.
"Bukan siapa-siapa, Nona," katanya.
"Apa aku kelihatan peduli?" ucap Diana kemudian.
Wanita itu menyembunyikan senyumnya, lantas mengambil duduk.
Sementara itu di hotel Marbella, Sanders tampak sedikit kikuk. Sang istri tadi melihatnya bersama wanita lain. Jadi, apakah Diana marah? Namun, untung saja sang sopir bertindak cepat. Evan tahu situasinya dan segera membawa Diana pergi. Sanders berencana memberikan hadiah untuk pikirannya yang cekatan.
Tak lama, ketika Sanders dan para kliennya ngobrol, terdengar sirine polisi. Pria itu menoleh. Ia mengetatkan rahang ketika kemudian sadar bahwa transaksi yang ada di hotel Victoria telah terendus pihak berwajib.
"Sial! Apa ada mata-mata?" batin pria itu.