Bab 7. Menyentuh Dengan Lembut

1459 Kata
"Bagaimana perkembangan misi kita?" Pramono mengumpulkan semua anggota BIN inti yang terlibat dalam misi terkait kartel narkoba yang dijalankan oleh Sanders dan rekan-rekannya. Setiap minggunya mereka akan melaporkan apa yang terjadi juga perkembangan dari kasus itu. Narkoba telah merugikan negara. Termasuk yang dijalankan oleh Sanders. Jadi, Pramono telah mengirim anggota-anggota terbaiknya untuk melakukan penyelidikan. "Sanders sudah percaya kepadaku. Setelah ini, kita akan menyusun rencana lagi jika alur pengiriman barang haram itu telah kita kantongi," kata Selena menjabarkan. Pramono mengangguk lemah. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Evan yang duduk paling belakang dalam ruangan itu. "Evan, bagaimana denganmu?" tanya Pramono. Pria itu membuang napasnya dengan kasar. Lantas menegakkan punggungnya demi menimpali pertanyaan dari atasannya. Sebelumnya, pria itu melirik Selena yang duduk paling depan. Lantas, tersenyum kecil kepada wanita itu. "Semua berjalan baik, Pak. Saya yakin, hanya Sanders yang mengetahui mengenai bisnis haram itu. Semua pegawai di rumah itu tidak ada yang berani buka suara. Mereka memilih bungkam daripada bicara dan berakhir di tangan Sanders," jelas Evan. "Bagus. Terus seperti itu dan berikan kami informasi terbaru ketika kamu tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu," ucap Pramono. Evan mengangguk lemah. Pramono lantas menanyai anggota yang lain juga apa yang dilakukan mereka demi menyelidiki perkembangan kasus ini. Mereka memang tidak berhak untuk menangkap, tapi setidaknya informasi dari mereka jauh lebih valid daripada yang didapat oleh pihak berwajib. Setelah pertemuan itu usai, Evan segera pergi ke parkiran. Ia harus kembali ke kediaman Sanders agar tidak dicurigai. Namun, Selena mengejarnya. Wanita itu tersenyum kecil ketika melihat rekan sesama anggota BiN yang terlibat dalam misi yang sama itu tampak buru-buru. "Kenapa buru-buru, Van?" tanya wanita itu. "Aku harus bekerja. Akan sangat riskan kalau aku pergi terlalu lama," ucap Evan. Selena tersenyum kecil. Wanita itu lantas mengeluarkan rokok putihan dari tasnya yang menyodorkan lintingan tembakau itu kepada Evan agar pria itu mau menemaninya merokok sebentar. Namun, Evan hanya menggeleng lemah. "Aku enggak merokok," sahutnya. "Emmh ... lalu bagaimana istri Sanders. Apakah dia sangat cantik?" tanya Selena membuka percakapan. "Iya." "Jangan sampai kamu tergoda," kata wanita itu. Evan tersenyum kecil. Bukankah yang tergoda adalah Selena? Evan tahu bagaimana cara kerja wanita itu. Orang seperti Sanders tidak mungkin dilewatkan begitu saja oleh Selena. "Kamu yang lebih berpengalaman dalam urusan sy*hwat," tutur Evan. Wanita itu terkekeh. Entah kenapa ia tak mengelak soal itu. Baginya, sedikit bersenang-senang bisa membuat pekerjaannya menjadi lebih lancar. Terlebih mereka selalu ada di antara orang-orang jahat dan kejam. Jadi, s*x dirasa menjadi terapi paling ampuh untuk meredakan ketegangan. "Ha-ha-ha. Dia jarang menyentuh istrinya. Sekali lepas kendali, semuanya keluar tak terkira," celetuk Selena. Evan tidak menampik hal itu. Sanders memang jarang mempunyai waktu bersama Diana. Namun ia yakin pria itu sangat mencintai sang istri. Terbukti ia begitu peduli dengan apa yang terjadi ketika mereka ada di hotel. "Dan kamu menikmatinya?" ucap Evan. "Ya, mau bagaimana? Aku harus profesional ketika menyamar," ujar Selena. Evan hanya tersenyum. Selena memang jauh lebih senior daripada dirinya ketika masuk ke BIN. Cara kerja wanita itu juga cepat dan tepat. Tentu saja, s*ks menjadi salah satu andalan karena dia termasuk wanita yang pandai menggoda. "Lanjutkan! Aku harus kembali," kata Evan menyudahi percakapan mereka. "Tunggu, Van! Aku ada hadiah untukmu." Selena merogoh tas yang ada di tangannya. Ia mengambil sebuah kotak kecil yang kemudian dilempar kepada Evan. Pria itu menangkapnya sempurna, lantas melihat apa yang diberikan oleh wanita itu. "Kond*m?" tanya pria itu. "Mungkin saja kamu butuh," kata Selena lantas berlalu. Evan memperhatikan kotak Itu sejenak. Ingatan pria itu kemudian kembali ke hari di mana ia telah lancang menyentuh organ pribadi milik bosnya. Pria itu masih ingat momen itu dengan sangat jelas. Bahkan ia ingat des*han Diana yang membuat angannya terbang hingga membangkitkan juniornya dengan segera. "Aaah ... sial!" bisiknya. Ia lantas mengantongi benda itu. Kemudian mengambil motor dan melajukan kendaraan itu menuju ke kediaman Sanders. Sebelumnya, ia telah memastikan bahwa tidak akan ada yang curiga kepadanya. Termasuk Diana yang ketika tadi ia pergi, masih dibuai dalam mimpi. Sesampainya di kediaman Sanders, Evan segera masuk ke kamarnya. Namun, ketika melewati lorong menuju dapur yang bersebelahan langsung dengan ruang makan, ia melihat Sanders dan Diana yang sedang bersitegang. "Ini peringatan kematian ayah, apa pekerjaanmu jauh lebih penting?" ucap Diana. “Aku sudah bilang. Aku sibuk hari ini. Evan akan mengantarmu dan kalian bisa menginap di sana jika terlalu lelah melakukan perjalan jauh,” ucap Sanders. “Kamu memang selalu begitu. Untuk apa uang banyak jika tidak waktu untuk beristirahat." Diana membanting sendok dan garpu di tangannya, lantas beranjak menuju ke kamar. Sanders hanya bisa menggeleng lemah melihat sikap sang istri. Sejak awal menikah, ia sudah bilang jika pekerjaannya akan memakan banyak waktu. Dan Diana mengiakan saat itu. Walau awalnya memang sang mertua yang lebih ngebet ingin menikahkan anak pertamanya dengan Sanders. Alasannya mungkin karena kedudukan dan harta Sanders. Walau bisa dibilang jika ayah dari Diana juga bukan orang miskin. Mereka punya perkebunan yang luas dan itu cukup untuk membuat mereka jadi terpandang. Tak lama, Diana turun. Masih dengan wajah kesalnya, wanita itu membawa tas dan kacamata hitam. Ia melewati Sanders begitu saja. Namun, pria itu menahan lengannya dengan cepat. “Hati-hati di jalan,” katanya. Diana tak menyahut. Ia malah memalingkan wajahnya dan segera menghampiri Evan yang sejak tadi berada di lorong rumah itu. “Kita pergi,” kata Diana ketika berada di depan pria itu. “Iya, Nona. Tapi, saya ganti baju dulu.” “Enggak perlu,” sahut Diana kemudian. Evan membuang napasnya dengan kasar. Baiklah, wanita itu sedang kesal. Ia lantas menoleh ke arah Sanders yang kemudian mengangguk lemah. Artinya, Evan dipersilakan pergi bersama sang istri saat itu juga. Tanpa basa-basi, Evan mengekor pada sang nona. Ia membukakan pintu mobil dan mengambil tempat di belakang kemudi. Lantas, menginjak pedal gas demi melajukan kendaraan roda empat itu keluar dari kediaman Sanders yang mewah. Selama beberapa menit perjalanan, Evan tak berani membuka percakapan. Ia melirik Diana beberapa kali dari spion dalam tanpa berniat bertanya ke mana mereka akan pergi. Wajah wanita itu masih tampak begitu kesal. Ia mengurut kening dan memilih melihat kelebat rumah dan pepohonan yang mereka lewati. Sampai akhirnya, mereka sampai di persimpangan. Evan yang tak tahu ke mana sang nona ingin pergi akhirnya membuka suara. “Ke arah mana selanjutnya, Nona?” tanyanya. Diana tersadar. Ia menoleh ke arah depan kemudian menyebutkan ke mana tujuan mereka. “Baik, Nona.” Saat itu, dengan keahliannya mengemudi Evan membelokan kendaraan itu dengan cepat ke arah kiri. Kendati sedikit terkejut, tapi Diana tidak memberi atensi lebih pada apa yang dilakukan sang sopir. Sampai ia menyadari ada kotak yang terjatuh dari saku jaket pria itu. Diana mengambilnya. Ia mengernyit, lantas melempar tatapan nyalang pada Evan. “Untuk apa ini?” tanya Diana. Evan menoleh ke belakang sejenak ketika sang bos membuka suara. Ia melihat benda yang kini ada di tangan Diana dengan nyalang. Astaga … kenapa benda itu bisa jatuh? “Emh … itu … oleh-oleh dari teman, Nona. Dia baru datang dari Singapura,” jelas Evan. Diana masih mengernyit. Ia menatap sang sopir demi mencari kebenaran dari ucapannya. Namun, sepertinya Evan tidak bohong. “Terus?” “Terus a—apa, Nona?” tanya Evan terbata-bata. “Kamu mau menggunakannya?” tanya Diana balik. “Tidak, Nona. Tidak sama sekali,” sahut Diana cepat. Evan tampak ketakutan ketika sang nona bertanya demikian. Tentu saja, Evan tidak berniat menggunakannya. Lagi pula, dengan siapa ia akan melakukan hal itu. Ketika kemudian, terdengar Diana tertawa keras. Evan sontak menoleh. Sang nona bahkan sampai memegangi perutnya karena saking kerasnya tertawa. Evan lantas menepikan kendaraannya. “A—da apa, Nona?” tanya pria itu. “Kenapa kamu menjawab dengan ketakutan, Van. Apa pertanyaanku aneh. Bukankah pria sepertimu sangat wajar jika melakukan itu. Terlebih kamu masih muda dan tampan,” kata Diana kemudian. Evan tak segera menjawab. Pria itu masih menikmati pemandangan indah di depan matanya. Diana yang masih tertawa hingga matanya menyipit indah. Entah sejak kapan wanita itu menjadi objek paling menarik dalam pandangan Evan. Yang jelas, ia sama sekali tak pernah bosan memandanginya. “Tidak, Nona. Saya hanya akan melakukannya dengan wanita yang telah menggetarkan hati saya. Seperti … waktu itu,” sahut pria itu. Tawa Diana seketika lindap. Waktu itu? Apakah yang waktu itu sangat berkesan untuk Evan? Diana menunduk dalam. Wajahnya memerah karena ucapan sang sopir. Sementara Evan masih menatap lekat wanita yang kini hanya bisa terdiam. Apakah kejujurannya berlebihan? “Kenapa kamu tidak melupakan kejadian itu?” tanya Diana lirih. “Bahkan saya masih terbayang ketika memejamkan mata. Maaf atas kelancangan ini, Nona,” ucap Evan kemudian. Diana kemudian mengangsuran kotak berisi kond*m itu kepada Evan. Lantas, mendongak. “Simpanlah. Siapa tahu kamu membutuhkannya nanti,” ucap Diana. Evan menerimanya. Namun, dengan nekat ia menyentuh telapak tangan Diana hingga darah wanita itu berdesir. Aah .. apakah akan terulang lagi yang waktu itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN