Sebuah kenyataan - Bagian Satu

2130 Kata
Reiner tetap menemui Rei sesuai rencananya. Reiner kembali menunggu gadis kecil itu keesokkan harinya dan menahan gadis kecil itu sebelum pergi setelah melihat dirinya. Reiner benar-benar ingin tau alasan Rei bersikap seperti itu padanya. Perubahan sikap Rei benar-benar menganggu dirinya. "Om rasa kita tidak memiliki salah apapun sehingga kamu pergi menghindari Om seperti ini," Reiner berucap sambil bersedekap menghalangi gadis kecil itu pergi. Ya, Rei kembali pergi setelah melihat Reiner namun sebelum gadis kecil itu benar-benar pergi, Reiner sudah menghalanginya. Rei sendiri memandang pria dewasa itu dengan pandangan sengit. Rei pun tidak mau kalah dengan melakukan sikap yang sama. Rei pun bersedekap memandang pria dewasa itu. "Apa yang Om inginkan?" Reiner mengerutkan alisnya, "Bukankah kita sudah sepakat berteman?" "Untuk apa Om berteman dengan anak kecil?" Rei balik bertanya pada Reiner dengan nada sengit. Reiner mengerutkan alisnya semakin dalam mendengar pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lain oleh Rei, "Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan itu bukan sikap yang sopan, Rei. Bukankah kita sudah sepakat untuk berteman? Kenapa kamu jadi bersikap seperti ini lagi? Om benar-benar merasa om tidak melakukan kesalahan apapun sama kamu." Rei menghela nafas panjang, "Sikap Om ini berlebihan. Om bikin aku mikir kalo Om punya maksud lain temenan sama aku." "Jadi kita kembali membahas mengenai berita soal predattorr anak itu? Jadi karena itu kamu bersikap aneh?" Reiner bertanya pada Rei. Rei memutar bola matanya dan berucap ketus,"Aku cuma gak mau punya temen Om-Om." Reiner terdiam mendengar ucapan terakhir Rei. Rei bersikap semakin dingin dan entah kenapa rasanya menyebalkan mendengar kalimat ketus itu ketika ingat Rei tersenyum bersama Giska. Reiner hendak bertanya mengenai hubungan Rei dengan Giska namun anak itu sudah kembali pergi meninggalkannya. Reiner pun spontan mengikuti Rei. "Kenapa kamu masuk ke dalam tower apartemen ini? Bukannya kamu tinggal di tower apartemen seberang?" Rei menatap lurus ke arah lift menunggu lift itu terbuka, "Aku emang tinggal di tower ini. Kemarin aku sengaja karena aku gak mungkin jujur sama orang asing." Diam-diam Reiner memuji kepintaran Rei. Rei bisa menjaga dirinya dengan baik. Namun kata 'orang asing' yang dilontarkan Rei jelas-jelas mengganggu dirinya. Saat sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri, Reiner tersentak saat tiba-tiba pintu lift terbuka, Rei masuk ke dalam lift dan Reiner spontan mengikuti Rei. Reiner menegang ketika melihat nomer lantai yang dituju oleh Rei, "Kamu di sini tinggal sama mama dan papa kamu?" Rei menoleh menatap datar Reiner. "Buat apa Om tanya itu? Kenapa Om pengen tau soal papa aku? Aku tidak menjawab pertanyaan orang asing." Reiner terdiam. Pertanyaan balik Rei membuat bibirnya seakan kelu terlebih mendengar nada datar dan melihat wajah datar yang diberikan oleh Rei. Terlebih lagi-lagi Rei menyebut kata 'orang asing'. Reiner sungguh terganggu dengan kata itu. Di dalam lift keduanya hanya diam. Hati Reiner merasa sangat amat terusik dengan sikap dingin Rei namun Reiner sendiri bingung harus berbuat apa. Ia tidak memiliki pengalaman mengatasi seorang anak perempuan yang marah. Rei keluar dari dalam lift dan Reiner spontan mengikuti langkah gadis kecil itu. Reiner hanya membiarkan kakinya melangkah mengikuti Rei. Sementara itu Rei juga terlihat tidak keberatan diikuti oleh pria dewasa dibelakangnya. Rei berhenti disebuah unit apartemen yang jelas sangat Reiner kenal... Unit apartemen Giska. Reiner berdiri beberapa langkah dari Rei. Tubuh Reiner menegang sempurna ketika mendengar suara Giska. Ternyata Rei adalah anak Giska. "Rei? Kenapa gak masuk? Ayo, mama udah bikin sup jagung yang kamu minta." Rei memberikan kode melalui matanya pada Giska. Giska yang berada di dalam apartemen pun mengerutkan alisnya dan beranjak keluar dari dalam unit apartemennya dan melihat ke arah yang putri kecilnya maksud. Tubuh Giska menegang sempurna. Bagaimana Reiner bisa bersama Reika? *** Setelah kejadian yang seolah membuat jantung Giska berpindah posisi ke perut, Giska kini sedang duduk bersebrangan dengan Rei di dalam kamarnya. Keduanya duduk diatas tempat tidurnya. Giska menatap Reika sama lekatnya seperti Reika menatap Giska. Giska menghela nafas panjang terlebih dahulu. "Kamu.. apa kamu sudah ketemu papa kamu sebelum tanya soal foto kemarin?" Giska bertanya dengan nada hati-hati pada Reika. Reika menghela nafas panjang dan mengangguk. Giska spontan mengepalkan tangannya berusaha menahan kedua telapak tangannya untuk tidak gemetar. "Bagaimana kalian bertemu? Kenapa gak cerita sama mama pas kamu liat foto kemarin?" Giska pun memasang telinganya lebar-lebar mendengar cerita Reika. Reika menceritakan bagaimana dirinya dan Reiner bertemu. Di sisi lain Reika menceritakan semua yang terjadi tanpa ditambahi atau dikurangi. Reika mengakui semuanya bahkan mengenai dirinya yang meminta Neni untuk tidak melaporakan pertemuan mereka itu pada Giska. Reika berbicara jujur apa adanya, karena memang begitulah Reika diajarkan oleh Giska. Giska membeku mendengarkan penuturan Reika. Bahkan Reika menceritakan dengan jujur bagaimana isi kepalanya mengenai Rei. Diam-diam Giska bersyukur dengan apa yang Reika pilih. Reika bisa menjaga dirinya sendiri dari orang asing namun kini ada hal lain yang membuat Giska khawatir. Bagaimana pendapat Reika mengenai hubungannya dengan Reiner. Giska tidak ingin Reika terluka karena mengetahui kenyataan sebenarnya. "Rei, soal papa kamu.." Giska bertanya dengan hati-hati. Reika menatap mamanya dan memotong ucapan mamanya mengeluarkan isi kepalanya, "Papa sepertinya gak sadar kalau Rei ini anaknya, papa tadi juga ketemu mama tapi cuma diam aja." "Mungkin papa kaget ketemu mama, Rei." Giska menanggapi sambil memperhatikan reaksi Reika. "Apa papa punya keluarga lain?" Reika bertanya dengan wajah menatap Giska serius. Giska terdiam mendengar pertanyaan Reika dan ia menggendikkan bahunya. "Mama gak tau soal itu, Rei. Mama tidak pernah mencari tau apapun soal papa kamu semenjak kami berpisah. Mama pikir, kami memiliki pemikiran yang berbeda jadi mencari tau tentang kehidupan papa kamu setelah berpisah tidak ada gunanya untuk mama." "Lalu apa yang akan mama lakukan setelah bertemu dengan papa?" Reika bertanya pada Giska dengan wajah serius. Giska menatap Reika lekat-lekat. "Kamu sudah tau kalau papa kamu masih hidup, apa kamu mau mama bicara sama papa soal keberadaan kamu?" Reika menggendikkan bahunya. "Rei sendiri masih bingung, Ma." Giska mengerti bagaimana perasaan Reika saat ini. Jelas gadis kecilnya kebingungan. Selama sepuluh tahun ini yang Reika tau, papanya sudah meninggal. Beberapa hari yang lalu Reika tau kalau papanya masih hidup. Giska yakin bukan hal yang mudah diterima oleh Reika. *** Di tempat lain ada Reiner yang duduk di dalam apartemennya. Dokumen yang berada dihadapannya ini adalah dokumen yang dikirimkan oleh Reno. Reno sudah mengatur sebuah jadwal agar Reiner bisa mendengarkan sendiri penjelasan sang detektif bernama Hamish yang di sewa oleh Reno. Namun Reiner meminta Reno untuk tidak menganggunya dulu. Reiner butuh waktu sendiri. Ia hanya memandangi amplop tebal itu tanpa berani membukanya. Reiner sudah diam beberapa saat hingga bunyi ketukkan menyadarkannya. Reiner mengerutkan alisnya mendengar ketukan di pintu unit apartemennya. Reiner bingung namun kakinya tetap melangkah ke arah pintu. Reiner membuka pintu dan terkejut, "Kok elo ada di sini Ghan?" Ghandi Alfarezi, sahabatnya kini berada dihadapannya. Reiner kaget namun ia tetap mempersilahkan sahabatnya itu masuk. "Gue kesini karena gue denger dari Reno elo makin gak karuan disini," Ghandi berucap dengan nada santai sambil duduk di sofa. Reiner bersedekap memandang Ghandi sambil memutar bola matanya, "Gue yakin bukan Reno yang laporan tapi elo yang kepo, Ghan." Kini Ghandi menatap Reiner pandangan serius. "Gue denger elo ketemu sama Giska dan anaknya." Ghandi tidak pernah membuang waktu percuma. Reiner menghela nafas panjang dan bersandar di tembok menghadap Ghandi yang duduk di sofa. Reiner mengangguk pada Ghandi. "Elo kembali menggila karena ketemu sama Giska? Come on, Rei. Semua udah berlalu. Pernikahan elo dan Eliza juga udah selesai. Buat apa elo masih aja berkutat sama dendam elo itu," Ghandi berucap dengan nada gemas pada Reiner. Wajah Reiner mengeras. "Elo gak tau rasanya kehilangan anak saat elo hampir aja punya anak, Ghan." Ucapan Reiner yang ini selalu berhasil membungkam Ghandi. Ghandi pun hanya bisa menghela nafas panjang tanpa bisa membalas ucapan Reiner. Gandhi memang belum pernah merasakannya dan berharap tidak akan pernah merasakkannya. "Dia sekarang punya anak perempuan, Ghan. Dulu gue hampir punya anak. Entah anak perempuan atau anak laki-laki tapi anak gue harus gugur karena kejahatan Giska, Ghan!" Reiner mulai emosi, nada suaranya mulai meninggi. "Kalo elo kesini cuma buat ngehentiin niat gue bales Giska, mending elo balik, Ghan. Reins lebih penting elo urusin dari pada soal wanita sialan itu." Ghandi bersedekap menatap Reiner yang mulai tersulut emosi masa lalunya, Ghandi menatap Reiner lekat-lekat. "Lo pernah mikir gak motif Giska ngelakuin itu ke Eliza? Gue pernah mikirin tapi gue gak dapet motif dari perbuatannya dan anehnya dia lolos dari tuntutan yang elo buat. Gue udah cari tau soal kasus ini dan pengakuan Giska masuk akal. Giska tidak memiliki motif apapun karena dia gak kenal sama elo dan mantan lo. Dia juga dokter baru saat itu. Sesuai ucapannya yang tercatat, dia gak mungkin kasih sesuatu ke pasien tanpa sepengetahuan seniornya dan seniornya pun membenarkan hal itu. Itu adalah sebuah hal biasa di rumah sakit. Jadi disini ada kejanggalan. Terlebih dia gak kenal elo atau pun mantan lo. Ini semakin janggal karena apa motif dia lenyapin bayi dalam kandungan mantan lo? Lo gak kepikiran sampe ke situ, Rei?" Reiner mendengarkan ucapan panjang lebar Ghandi dan ia baru mulai berpikir. "Diliat dari diemnya elo, gue yakin elo gak kepikiran sama sekali. Hati dan pikiran elo udah ditutupin dendam, Rei." Reiner menghela nafas panjang. Ucapan Ghandi memang benar. Reiner terlalu membenci Giska karena wanita itu ia kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Giska menjadi awal hancurnya kehidupannya. "Gue cuma pengen dia ngerasain apa yang gue rasain, Ghan." Ghandi menghela nafas panjang menatap Reiner lekat-lekat. "Dari awal lo ngerencanain balas dendam ini gue udah gak yakin. Ngeliat Giska divonis gak bersalah bikin gue mikir mungkin jalan elo salah tapi elo itu gak pernah bisa denger ucapan siapapun saat elo udah mutusin sesuatu. Dari dulu gue cuma berharap elo gak salah jalan dan elo gak bakal nyesel dikemudian hari, Rei." Percakapan menguras emosi itu pun selesai. Reiner mengajak Ghandi makan diluar. Tujuan Ghandi datang ke Indonesia untuk melihat apartemen model apa yang Reiner beli. Tidak ada angin atau hujan apa lagi badai, seorang Reiner Algantara membeli sebuah gedung apartemen dari sebuah developer dengan harga yang cukup fantastis. Jelas hal ini sangat-sangat menarik perhatian Ghandi Alfarezi. Reiner dan Ghandi makan makanan siap saji yang teradapat di sebuah mini market yang terletak di apartemen. Keduanya makan sambil sesekali membicarakan tentang apartemen dengan santai. Keduanya fokus dengan makan dan pembahasan mereka hingga sebuah suara membuat Reiner menoleh dengan cepat lalu diikuti Ghandi. "Aku gak mau yang rasa strawberry, Mbak! Aku alergi." Ghandi menatap ke arah pandangan Reiner. Ghandi menegang. "Rei, anak itu..." Melihat keterdiaman Reiner, Ghandi semakin merasa ada yang tidak beres disini. Anak itu mirip dengan Reiner. Apa pria bodoh itu tidak menyadarinya? Ghandi pun kembali memandang ke araha anak perempuan dan pengasuhnya yang sedang Setelah kejadian tadi Reiner lebih banyak diam dan Ghandi tidak henti-hentinya memperhatikan sahabatnya itu. Sesampainya di dalam unit apartemen milik Reiner, barulah Ghandi mulai mengeluarkan isi kepalanya, "Lo gak pengen cerita sama gue, Rei? Anak tadi itu.." "Anaknya Giska." Reiner dengan cepat memotong ucapan Ghandi. Ghandi pun membulatkan matanya dengan sempurna. Jika anak itu adalah anak Giska maka tidak perlu orang pintar, Ghandi bisa langsung menebak kalau anak itu juga anak Reiner. Dilihat dari kemiripan mereka dari wajah sampai alergi yang mereka miliki. Ghandi yakin anak perempuan tadi adalah anak Reiner. "Lo dalam masalah besar, Man. A very big shiittt." Ghandi berucap dengan nada kasihan. Reiner pun memutar bola matanya mendengar ucapan Ghandi. Ia masih tidak paham kenapa Ghandi berucap demikian namun ingatannya beralih pada berkas dokumen yang belum ia buka. Berkas yang ia abaikan karena kedatangan Ghandi. Reiner pun mengambil berkas itu dan meletakkannya diatas meja. Ghandi pun mengerutkan alisnya menatap dokumen tebal yang Reiner letakan barusan. Pria itu menatap Reiner, "Dokumen apa itu? Kok tebel banget?" "Gue suruh Reno buat sewa detektif untuk cari tau tentang kehidupan Giska selama ini. Kali ini gue suruh Reno cari orang yang bener-bener biasa ngelakuin pekerjaan ini supaya hasilnya akurat dan detail dan dalam amplop itu adalah hasil penyelidikan si detektif yang Reno sewa,"Reiner menjelaskan mengenai amplop itu pada Ghandi. Ghandi berdecak kagum, "Biar elo jauh dari keluarga elo dari lama, gen mereka yang royal emang gak ilang dari darah lo ya, Rei. Lo bisa dengan mudah bayar orang buat cari tau." Reiner memandang datar Ghandi. "Gak usah lebay, Ghan. Reins sekarang maju, kita masing-masing punya pundi-pundi lebih. Lagi pula ini indonesia. Nilai mata uang dollar lebih tinggi dari mata uang rupiah. Dimana letak masalahnya?" Ghandi berdecak. "Terus kapan elo mau buka itu amplop? Gue pengen tau isinya." Reiner berdecak. Ghandi memang minus dengan kata sabar. "Nanti setelah pria bernama Hamish datang kesini sama Reno. Gue udah kirim pesen ke Reno buat kesini sama si Hamish. Kita buka dokumennya sekalian dengerin penjelasan si Hamish. Menurut Reno, Hamish ini kenalannya Ryandra." Ghandi hanya membulatkan mulutnya dan keduanya menunggu kedatangan Reno dan Hamish. Tepat saat keduanya datang. Reiner duduk bersebelahan dengan Ghandi sementara Hamis duduk di sofa single dan Reno berdiri di sisi Ghandi. Wajah Reiner, Ghandi dan Reno tegang menunggu penjelasan Hamish. Hamish menatap ketiga pria yang kini sedang bersamanya, "Bisa kita mulai sekarang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN