“Happy birthday, Mom!”
Giska yang baru bangun tersenyum lebar mendapati Reika berdiri diujung tempat tidurnya membawa sepiring kue kecil dengan lilin ulang tahun kecil bersama dengan Neni yang ikut ada disebelahnya. Reika mendekati Giska dan mendekatkan piring kue yang ia bawa. Giska berdoa sejenak sebelum meniup lilin kecil itu. Neni dengan sigap mengambil piring kue dan membiarkan Majikannya memeluk anaknya dan tersenyum hangat melihat pemandangan itu.
Setelah perayaan ulang tahun sederhana itu, kehidupan Giska dan Reika kembali berjalan seperti biasa. Giska memasak sarapan dan bekal untuk Reika lalu bersiap ke rumah sakit sementara Reika bersiap sekolah dibantu Neni. Giska mengantara Reika dan Neni ke sekolah lalu pergi ke rumah sakit. Seperti biasa Giska ada jadwal praktek dan visite beberapa pasiennya yang dirawat dirumah sakit.
Jadwal Giska cukup padat karena semenjak pindah ke Global banyak pasien yang memilih berkonsultasi dan berobat padanya. Bukan tanpa alasan, selain karena kemampuan dan pengalamannya, wanita itu pun sangat ramah membuat para pasiennya dari mulut ke mulut mulai merekomendasikan Giska.
Giska baru saja selesai melakukan jadwal prakteknya ketika seorang suster menghubungi ponselnya memberi kabar bahwa seorang pasien VVIP mengalami serangan jantung. Giska dengan cepat berlari menuju ruangan rawat pasien tersebut dan memeriksa kondisi pasien. Seorang wanita paruh baya dengan kondisi cukup memprihatinkan pasca kecelakaan. Giska menggantikan seorang suster yang memberikan pertolongan pertama dan beruntung kondisi pasien kembali normal. Giska pun meminta suster untuk melakukan rontgen.
“Nanti setelah keluar hasil rontgen langsung kasih ke saya ya, Sus. Wali pasiennya ada?” Giska bertanya pada Suster yang berada didekatnya.
“Baik, Dok. Sepertinya walinya sedang keluar, Dok. Nanti saya info supaya dateng ke tempat dokter saja bagaimana?”
Giska menggelengkan kepala, “Gak usah, Sus. Saya mau langsung pulang setelah ini jadi saya tunggu di nurse station saja.”
Suster itu mengangguk dan Giska meninggalkan ruangan VVIP itu. Giska menuju di nurse station dan duduk di kursi khusus dokter yang berada di nurse station sambil menonton video Reika yang dikirimkan oleh Neni. Neni memang ditugaskan Giska untuk selalu berada disekolah untuk menemani Reika. Reika sering menjadi bahan bully karena aksen bicaranya. Reika memang lebih terbiasa berbicara bahasa inggris karena ia sejak lahir tinggal di Amerika namun walau demikian Giska sedikit-sedikit mengenalkan bahasa Indonesia pada Reika. Walau tidak pandai mengucapkannya, Reika mengerti saat seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia.
Giska fokus dengan ponselnya, menonton video sambil sesekali membalas pesan Neni. Giska fokus dengan kegiatannya sehingga tidak sadar bahwa ia sudah menunggu cukup lama.
“Dok, wali pasien Nyonya Fina sudah ada...”
Giska yang sedang melihat ponselnya pun dengan segera mengangkat wajahnya dan menatap seorang pria yang berdiri dihadapannya. Tubuhnya menegang melihat wajah yang amat sangat ia kenal itu.
“Dok, hasil rontgennya sudah keluar,” Seorang Suster lain datang dan memberi informasi pada Giska sambil menyodorkan sebuah tablet.
Giska dengan cepat mengendalikan diri dan bersikap profesional. Ia memasukan ponselnya ke saku jas dokternya dan mempersilahkan pria itu duduk lalu mengangguk pada suster yang memberi informasi soal hasil rontgen sambil mengambil tablet tersebut dan mulai fokus pada layar tablet membaca hasil rontgen tersebut.
“Pasien tadi mengalami serangan jantung. Dari hasil rontgen yang saya lihat disini ada gumpalan darah sehingga menghalangi aliran darah ke jantung. Saya akan coba dengan pemberian obat dulu sambil dipantau nanti kalau memang tidak bisa juga baru akan dilakukan tindakan bedah,” Giska menerangkan kondisi pasien sambil fokus melihat hasil rontgen di tablet yang berada ditangannya.
“Ada yang ingin Bapak tanyakan mengenai kondisi pasien?”
Pria itu hanya diam tidak mengeluarkan suara. Giska sadar kalau pria itu sedang menatapnya lekat-lekat dan Giska menolak menatap mata pria itu. Giska tahu kalau ia akan tenggelam ke masa kesakitannya jika ia menatap mata itu.
“Jika tidak ada, saya akan meresepkan beberapa obat untuk pasien dan merujuk pasien ke Profesor Albert. Beliau lebih senior disini dan melihat pasien belum lama ini mengalami kecelakaan, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Profesor Albert.”
Pria itu masih tetap diam tidak memberikan tanggapan apapun. Giska semakin gugup dan takut.
Giska memberanikan diri menatap mata dengan iris gelap itu, “Kalau tidak ada pertanyaan, saya permisi.” Giska dengan cepat pergi mendekati Suster yang menjadi head nurse hari itu mengembalikan tablet yang ia pegang tadi dan menyampaikan beberapa pesan. Giska dengan secepat kilat berusaha pergi dari tempat itu.
Layaknya orang yang bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Giska berusaha menjauh sejauh mungkin. Giska melangkah dengan cepat namun tangannya ditahan seseorang membuatnya tertahan. Matanya membulat saat melihat siapa yang kini sedang menahan dirinya dan dengan cepat memberikan pandangan datar pada pria itu.
“Lepas,” Giska berucap dengan nada dingin. Wanita itu berusaha keras menyembunyikan ketakutannya.
Pria itu menatap Giska lekat-lekat mengabaikan ucapan Giska. “Jadi selama ini kamu bersembunyi disini?”
Giska menghela nafas panjang dan berusaha memasang wajah datar namun tidak dapat dipungkiri ia ketakutan saat ini. Giska masih mempertahankan sikap dinginnya, “Lepaskan tangan saya.”
Pria itu melepaskan tangan Giska dan bersedekap lalu menatap Giska dari ujung kepala hingga ujung kaki seakan menilai. “Bukankah kamu perlu menjelaskan sesuatu? Kamu tidak merasa perlu menjelaskan sesuatu?”
Giska mengabaikan pertanyaan pria itu dan memutar tubuhnya untuk melanjutkan langkahnya menjauh dari pria yang menjadi sumber kesakitannya itu. Namun langkah Giska terhenti saat mendengar ucapan pria itu.
“Kamu harus menjelaskan alasan kamu menghilang dulu..”
Giska mematung. Giska menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. Pria itu mendekati Giska dan berdiri dihadapan Giska sambil bersedekap, “Sudah sepuluh tahun lebih berlalu, wajar kamu lupa. Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Termasuk alasan kamu menghilang dulu.”
Giska berusaha menguasai dirinya. Giska bersedekap membalas tatapan pria itu. “Apapun yang terjadi dimasa lalu itu sudah berlalu. Tidak ada yang perlu dibahas lagi karena semua sudah berlalu.”
Pria itu tersenyum miring menatap Giska. “Sayangnya aku ingin membahasnya. Karena aku ingin tau alasan kamu tiba-tiba menghilang dulu. Kalau sampai kamu menyembunyikan sesuatu. Aku pasti akan segera mengetahui semuanya Giska. Semuanya.”
Giska menghela nafas panjang. “Tidak ada alasan khusus dan tidak ada yang disembunyikan. Hanya saja semua sudah berlalu. Sudah sepuluh tahun lebih. Bukankah lebih baik melupakan semuanya? Toh kita sudah punya kehidupan masing-masing.”
Senyum miring pria itu menghilang berganti tatapan tajam. “Salah. Melupakan apa yang sudah terjadi tidak semudah itu dan kamu berhutang penjelasan soal kepergian kamu dulu.”
Giska menghela nafas panjang. “Kalau begitu itu bukan urusan saya. Saya sudah selesai dengan apapun yang terjadi dimasa lalu dan saya tidak memiliki niat untuk kembali membahas apapun soal masa lalu.”
Selesai dengan ucapannya Giska berjalan melalui pria itu. Giska berjalan lurus kedepan tanpa menoleh kebelakang lagi. Giska tidak akan pernah menoleh ke belakang. Masa lalu sudah menjadi masa lalu. Tekad Giska sudah bulat. Ia tidak akan lagi membahas mengenai masa lalunya apa lagi masa lalunya dengan pria itu.
Giska tidak menyangka bahwa hari ini tepat dihari ulang tahunnya, semesta malah mempertemukannya kembali dengan pria itu. Pria yang menjadi sumber kesakitannya. Kini ia harus menyembunyikan Reika. Pria itu tidak boleh mengetahui soal Reika. Ia harus menjauhkan Reika dari monster itu. Monster yang tidak menginginkan keberadaan anaknya.
***
Malam semakin larut dan seorang pria kini sedang fokus mengejar kepuasannya. Pria itu menggila diatas seorang wanita yang dengan pasrah menerima dan menikmati perlakuan pria itu. Pria itu adalah Reiner Algantara. Reiner tidak henti-hentinya mengejar kepuasannya untuk menyalurkan rasa frustrasinya. Hari ini ia bertemu dengan wanita yang menjadi sumber dari segala kehancurannya dan seperti biasanya Reiner perlu menyalurkan semua perasaan buruknya dengan pergi ke klub malam dan menjalankan kehidupan bebasnya.
Reiner memang sudah terbiasa dengan kehidupan bebas itu semenjak di Amerika. Ia sudah terbiasa mengisi satu malam ke malam lainnya diisinya dengan wanita yang berbeda setiap malam. Di Amerika, Reiner memiliki sebuah member khusus di club malam ternama. Di sana Reiner cukup terkenal karena itu banyak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya pada pria itu karena sang pria memang terkenal karena ketampanan dan kesempurnaan fisiknya. Terlebih lagi pria itu akan memberikan tip yang besar jika ia merasa puas dan ia adalah pria normal yang memiliki keinginan menyalurkan kepuasannya.
Reiner kembali ke Indonesia karena menerima kabar bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Reiner dikabari oleh Lukman, sekertaris adiknya. Reiner memiliki seorang adik bernama Ryandra Algantara yang kini membantu orang tuanya menjalankan perusahaan turun temurun milik keluarga Algantara. Menerima kabar tersebut, Reiner pun langsung mencari penerbangan terdekat untuk menemui kedua orang tuanya dan membantu adiknya yang kerepotan dengan segala yang terjadi di Jakarta.
Kini sudah satu minggu ia berada di Jakarta. Ia melupakan kehidupan bebasnya dan fokus menjaga kedua orang tuanya karena kondisi orang tuanya cukup memprihatinkan dan perlu mendapat penanganan khusus. Sementara Gandhi, sahabatnya itu tetap di Boston mengurusi Reins.
Reins Company adalah perusahaan milik Reiner yang ia bangun sendiri dan sahabatnya ikut membantu mengelolanya. Kini Reins semakin maju dan berkembang berkat usahanya dan Ghandi. Namun karena apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, Reiner mengesampingan Reins dan fokus menjaga kedua orang tuanya bersama Reno.
Tapi tidak pernah ada yang menyangka bahwa hari ini seorang Reiner Algantara kembali bertemu dengan wanita itu. Wanita yang berhasil menghancurkan hidup Reiner. Reiner merasa tidak pernah membenci seseorang sebesar itu. Dulu wanita itu menghilang tanpa jejak. Dulu ia belum sesukses saat ini. Ia mencari wanita itu dengan kemampuan terbatasnya. Namun kini sepuluh tahun sudah berlalu, kehidupannya sudah berubah. Ia sudah berhasil menjadi pengusaha sukses yang bisa melakukan apapun yang ia mau.
Ingatan akan masa-masa kelamnya dan wanita itu menenggelamkan bara api dalam dirinya. Ia sudah tidak memiliki keinginan untuk mengejar kepuasannya. Reiner mengumpat dan meninggalkan sang wanita yang kebingungan itu masuk ke dalam kamar mandi. Reiner menyalakan shower. Ia membersihkan dirinya sambil terus mengumpat. Ingatan akan masa lalunya seakan tidak mau meninggalkan kepalanya.
Reiner keluar dari kamar mandi dan mendapati wanita tadi sudah tidak ada. Reiner yakin Reno sudah mengurusnya. Reno adalah tangan kanan Reiner. Reno sudah bekerja untuk Reiner semenjak pria itu baru lulus kuliah dan masuk ke perusahaan milik keluarganya. Reno satu-satunya orang kepercayaan Reiner yang ikut bekerja bersama Reiner sudah hampir lima belas tahun.
Reiner mangambil rokok yang terletak diatas meja. Reiner bukan perokok aktif tapi semenjak sebelas tahun yang lalu, Reiner mulai mengenal rokok dan alkohol. Disaat ia teringat akan masa-masa kelam dan segala kebodohannya maka Reiner akan mengambil rokoknya tau mengambil persediaan alkohol yang ia miliki.
Reiner menghisap dalam-dalam rokok yang sedang ia nikmati itu. Asap rokok mengepul di udara. Dari kamar hotel yang ia sewa, ia memandang langit malam yang begitu kelam. Ingatannya kembali pada masa lalunya. Hari terakhir ia bertemu dengan wanita yang selalu menjadi objek balas dendamnya. Wanita itu berwajah lemas karena kelelahan katanya. Sialnya hari itu ternyata adalah hari terakhir ia bertemu dengan wanita itu padahal rencananya belum selesai dengan sempurna.
Sebelas tahun Reiner berhasil menahan diri untuk tidak mencari tau mengenai wanita itu. Ghandi bilang tanpa Reiner sadari, pria itu sudah berhasil menghancurkaan wanita itu. Reiner sudah mendapatkan mahkota yang seharusnya wanita itu jaga dan wanita itu sudah tidak memiliki apapun yang ia bisa banggakan dihadapan suaminya nanti. Ucapan Ghandi sedikit banyak meredam keinginannya untuk melanjutkan misi balas dendamnya. Terlebih saat itu Reiner harus fokus mengembangkan usahanya. Kini usahanya tidak sia-sia. Perusahaan miliknya semakin maju. Walau perusahaannya belum sebesar Algantara Group milik keluarganya di Indonesia namun Reins Company kini mulai dikenal.
Reiner bukannya tidak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahun wanita itu. Reiner ingat betul karena ia pernah merayakan hari ulang tahun wanita itu bersama-sama secara luar biasa panas di apartemen miliknya dulu di Amerika. Hari ini di masa silam adalah hari pertama gerbang keduanya kecanduan akan aktivitas panas itu atau lebih tepatnya ia kecanduan dengan rasa yang Giska berikan setiap aktivitas panas mereka. Semenjak itu Reiner sering mencari kesempatan untuk mengulangi aktivitas mereka selain karena kecanduan, Reiner ingin rencananya cepat terwujud. Reiner ingin membalaskan dendamnya pada Giska.
Siapa yang menyangka kalau hari ini tepat di hari ulang tahun wanita itu mereka bertemu kembali dan kali ini Reiner akan melakukan apa yang dulu tidak ia bisa lakukan karena keterbatasannya saat itu. Reiner akan mencari tau apa yang sudah terjadi saat itu dan bagaimana dengan kehidupan Giska saat ini.