"Ayo lakukan!" Dua orang gadis itu mendorong Aurora agar maju ke depan.
"Apa? Kalian ingin aku melakukan apa?" tanya Aurora seraya menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Heh! Kamu jangan pura-pura bodoh. Ini istana barat. Kamu tahu apa artinya?" tanya Althea dengan nada meninggi.
"Sungguh, Rora tidak mengerti, Kak." Gadis itu bingung dengan keinginan kakaknya. Ia tidak tahu misi apa yang mereka berikan kepadanya malam itu. Hanya saja, Aurora mengerti bahwa tempat itu tidak boleh ia kunjungi. Area itu terlarang bagi semua orang.
"Kamu tahu apa yang tersimpan di sini?" tanya Amayra dengan suara setengah berbisik.
"Itu ... itu ... berbagai benda pusaka kerajaan tersimpan di tempat ini. Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Aurora dengan polosnya.
Amayra dan Althea tertawa dengan suara tertahan karena mereka tidak boleh bersuara agar tidak ketahuan. "Bukan kita, tapi Kamu. Kan ini misi untukmu agar mendapatkan pengampunan dari kami semua."
"Lalu apa yang harus Rora lakukan?" Aurora memiliki firasat yang tidak enak akan hal ini. Namun, ia masih berusaha bersabar mendengarkan ucapan para saudarinya.
"Kamu harus mencuri lotus keabadian untuk kami," perintah Amayra dengan begitu mudahnya. Seolah-olah hal itu sangat mudah dan tidak berpengaruh apa-apa.
"Tidak! Aku tidak mau!" Aurora menolak secara langsung. Mustahil baginya menyelesaikan misi terkutuk itu. Bukan hanya raja, seluruh negeri akan mengutuknya jika ia berani melakukan perbuatan tak terpuji itu. Bahkan, ancaman hukumannya sangat menakutkan.
"Kamu sudah menyetujuinya, jadi tidak ada yang namanya mundur atau menyerah," ucap Althea seraya menekan lengan Aurora kuat-kuat. Gadis itu marah akan penolakan adik bungsunya.
"Tidak! Aku tidak akan melakukannya. Aku bukan seorang pengkhianat. Aku tidak mau!" tolak Aurora seraya meronta-ronta. "Aku tidak peduli, kalian mau memusuhi aku atau bagaimana. Yang pasti aku akan tidak akan pernah melakukannya."
"Dasar gadis kurang ajar! Ayo lakukan apa yang kami suruh. Lihatlah, semua penjaga telah tertidur karena obat bius yang aku sebarkan. Lalu apa susahnya saat Kamu tinggal mengambilnya?" paksa Althea.
"Tidak! Tidak mau!" tolak Aurora dengan teriakan. Gadis itu kehilangan kesabarannya karena terus didesak oleh kedua saudaranya.
"Hei! Kamu sudah gila, ya?" Amayra marah karena Aurora berteriak dengan cukup kencang.
"Ayo, Kak. Kita harus pergi secepatnya sebelum kita terkena masalah," ajak Althea. "Aku yakin sebentar lagi banyak pengawal yang akan datang ke tempat ini."
"Kamu benar, Thea. Dasar gadis sialan! Baiklah, mari kita pergi saja, Thea."
"Ingat! Kamu pergi ke tempat ini sendirian. Tanpa aku, tanpa Kak Amayra. Kamu juga membuat rencana sendirian. Jangan bawa-bawa aku dan kakak atau kita akan terkena masalah bersama-sama. Kamu tahu kan maksudnya? Jika kita bertiga tertangkap, maka bunda akan sangat sedih. Camkan itu!" ucap Althea.
Setelah berbicara demikian, Amayra dan Althea bergegas pergi dari tempat itu meninggalkan Lovi di sana. Kedua gadis itu bekerja sama hingga akhirnya berhasil selamat dengan melompati pagar istana yang besar dan tinggi itu.
Drap drap drap.
Benar saja, suara derap langkah kaki terdengar semakin mendekat. Aurora panik, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Aku harus sembunyi," ucap gadis itu.
"Jangan bergerak!" Puluhan pedang tajam nan mengkilap mengacung mengelilingi lehernya.
"Kamu pasti penyusup, kan?" tanya pengawal kerajaan.
"Bukan, saya bukan penyusup. Saya adalah ...."
"Lapor, Tuan. Sepertinya gadis ini memang sangat berbahaya. Semua penjaga di istana barat bahkan dibuat pingsan olehnya." Seorang pengawal yang sepertinya adalah anak buah dari pria itu memberikan laporan.
"Benarkah? Tapi tubuhnya kecil begini. Mana mungkin ...."
"Itu kenyataannya, Tuan. Wanita ini mampu melumpuhkan puluhan penjaga. Jangan tertipu dengan penampilannya."
"Katakan apa yang Kamu lakukan di tempat terlarang ini?" Aurora masih di interogasi lagi.
"Saya tersesat, Tuan." Dengan tubuh gemetar gadis itu berbohong. Aurora merasa sangat berdosa, ini adalah pertama kalinya ia berdusta. Di dalam hidupnya, kejujuran adalah yang utama.
Pemimpin pasukan itu saling mengirimkan kode. Lalu secepat kilat mereka menangkap Aurora. Memaksa gadis itu untuk ikut bersama mereka.
"Tolong, dengarkan saya dulu," pinta Aurora.
"Ikut Kami! Kamu bisa menjelaskan nanti saat sidang kerajaan."
'Sidang kerajaan? Bertambah ngeri Aurora membayangkannya. Ia sangat takut jika harus pergi ke balai sidang yang terkenal kejam dan tegas. Yang hanya diperuntukkan untuk pelaku kejahatan kasus berat. Ada banyak sekali pelaku kejahatan yang berakhir dengan kematian di tempat itu.
'Kak, kenapa Kalian begitu tega padaku? Ya Tuhan apa setelah ini aku akan mati? batin gadis itu merasa sangat sedih.
****
"Argh!" Kai mengerang saat lengannya terkena sabetan pedang lawan. Untung saja bukan luka yang serius. Hanya sedikit berdarah karena luka sayatan itu.
"Putra mahkota!" Seorang pria yang bergerak lincah langsung membantu Kairos menghadapi musuh.
"Kea! Bagaimana Kamu bisa sampai di tempat ini? Bagaimana keadaan ayah mertua?" tanya Kairos yang tertutupi oleh tubuh Keanos.
"Beliau baik-baik saja. Beliau juga yang memintaku datang membantumu di sini," ucap Keanos seraya mengayunkan pedang menebas lawan.
"Yang Mulia, mundurlah. Obati lukamu, aku yang akan menghadapi mereka," ucap Keanos.
Kairos segera mundur seraya memegangi lengannya yang terluka. Ia harus pergi ke barak pengobatan untuk mengobati lukanya.
'Entah mengapa, sejak tadi hatiku tidak bisa tenang. Apakah terjadi sesuatu yang buruk? Atau aku hanya terlalu sensitif? Kairos bicara pada dirinya sendiri saat lengannya mendapatkan pengobatan.
Tiba-tiba saja, wajah gadis itu bermunculan di kepalanya. Bayangan-bayangan akan kepolosannya, kebaikan hatinya, juga tingkah-tingkah menggemaskannya yang selalu membuat Kairos mabuk kepayang.
'Astaga! Apa yang aku pikirkan? Berhenti memikirkannya, Kai. Kamu harus fokus dengan peperangan kali ini. Bawa kemenangan agar dia semakin bangga, batin pria itu seraya mengusap wajahnya.
"Apakah sangat sakit, Tuan?" tanya tabib itu yang diam-diam memperhatikan ekspresi aneh Kai sejak tadi.
"Ehem! Tidak apa-apa, lakukan saja pekerjaanmu dengan baik. Aku benar-benar tidak apa-apa.".
Tabib itu terdiam lalu melanjutkan pekerjaannya mengobati Kairos. Sementara pria itu masih saja kepikiran tentang Aurora. Sungguh, pikiran Kai tidak bisa tenang sedikit pun. Ingin sekali ia kembali ke istana demi menemui kekasih hatinya. Namun sayang, ia tidak bisa meninggalkan tempat itu. Tanah airnya, rakyatnya masih membutuhkan perlindungan darinya.
***
"Hiks! Kenapa aku harus mempercayai kalian lagi? Dasar Aurora bodoh!" gumam gadis yang duduk di dalam jeruji besi seraya memeluk lututnya itu.
"Lagi ... aku hanya akan mempermalukan Kai dan ayahanda. Maafkan Rora, ayahanda ... maafkan Rora, Kai," ucap gadis itu lirih.
Mungkin setelah ini, Aurora tidak akan punya nyali untuk menemui Kai lagi. Aurora benar-benar merasa seperti seorang pengkhianat.